Bab 17 : Kotak Musik

1216 Words
Flashback "Aku lihat belakangan ini kamu sering senyum-senyum sendiri. Jangan-jangan lagi jatuh cinta, ya?" goda Salsa, memicingkan mata penuh selidik. "Sepertinya begitu," jawab Nayla, tersenyum kecil. "Ah, cerita dong! Aku juga mau cerita, tapi kamu duluan," pinta Salsa penuh semangat. "Kamu dulu saja," balas Nayla pelan. Salsa mengangguk antusias. Keduanya duduk saling berhadapan, tak sabar untuk saling membuka cerita. "Aku dan Raivan jadian," ucap Salsa sambil menutup wajah dengan kedua tangan, malu-malu. Senyum Nayla perlahan memudar. Darahnya berdesir. Tubuhnya kaku seketika. "Kamu nggak pernah bilang kalau kamu suka sama Raivan," lirih Nayla, nyaris berbisik. "Namanya juga malu. Aku pikir cinta bertepuk sebelah tangan, ternyata... gayung bersambut," jawab Salsa dengan binar di mata. Bahagia. Salsa tampak begitu bahagia—kontras dengan hati Nayla yang remuk tak bersisa. Satu tahun kemudian "Sampai kapan kamu mau sembunyikan semua ini dari Raivan, Sa?" tanya Nayla tanpa menoleh, sibuk dengan ponsel di tangannya. Sejak SD hingga SMA, Nayla dan Salsa selalu bersama. Nayla disekolahkan oleh orang tua Salsa. Nayla mendapat beasiswa prestasi dari sekolah, tapi sekolah itu pun milik keluarga Salsa—papanya menjadi donatur tetap. Kini saat kuliah, orang tua Salsa kembali menawarkan bantuan. Mimpi Nayla untuk kuliah di universitas negeri dalam negeri pupus, digantikan oleh tawaran tak terduga— mendampingi Salsa berobat sekaligus kuliah di Malaysia. Semua biayanya ditanggung, ini sungguh tidak pernah ia bayangkan—kuliah di kampus ternama di Malaysia. "Nay, kamu aja deh yang pegang ponselku. Biar cepat bales chat dari Raivan. Aku takut dia curiga kalau aku lama balesnya. Kamu tahu kan, dia gampang panik," kata Salsa. "Heh, enak aja! Dua hari ini aku yang balesin chat dia, tahu!" tolak Nayla dengan nada kesal. "Please, please, pleaaseee... cuma selama aku terapi aja," bujuk Salsa manja. Nayla tak pernah menyangka akan terjebak di antara hubungan Salsa dan Raivan. Ketika Salsa sibuk menjalani pengobatan, Naylalah yang menggantikan peran Salsa—tanpa sepengetahuan Raivan. Mereka jarang melakukan video call—jarang bukan tidak pernah karena Salsa mengaku sibuk. Semua yang Nayla bagikan bukan lagi tentang Salsa, tapi semua kegiatannya. Semua tawa dan bahagia Raivan, Nayla yang ciptakan. Di mana Raivan jatuh, Nayla pula yang membuatnya bangkit. Sementara Salsa berjuang untuk kesembuhannya. Siapa sangka hal tersebut berlangsung sampai empat tahun terakhir hingga …. Raivan: Yang, aku nyusul kamu ke Malaysia, ya? Aku rindu. Panik, Nayla membaca pesan singkat itu. Ia pun berbohong—sebagai Salsa, mengaku sedang mengikuti program pertukaran mahasiswa. Ia menolak video call berkali-kali, membuat alasan demi alasan. Salsa baru saja menjalani operasi dan masih dirawat—tidak mungkin menampakkan diri. Namun akhirnya, satu pesan pengertian masuk, membuat Nayla bernapas lega. Raivan: It’s okay, Sayang. Aku ingin menyampaikan sesuatu, Sayang. Salsa (ditulis oleh Nayla): Apa itu? Raivan: Will you marry me? Aku sudah punya kerjaan tetap, sudah punya rumah. Tapi belum punya Nyonya. Cepat pulang, ya, Nyonya-ku. Jawab aku, Sayang. Will you? Darah Nayla berdesir. Matanya berkaca. Ia tahu betapa keras perjuangan Raivan selama ini. Ia tahu semua jatuh bangunnya. Ia saksinya. Air mata mengalir, tapi sayang, semua ini bukan untuk dirinya. Permintaan itu untuk Salsa—yang kini masih terbaring lemah. Dan Nayla tahu, Salsa pasti akan menjawab seperti ini, “Yes, I’ll,” tulisnya dengan hati yang patah. Perasaan yang ia miliki untuk Raivan hancur bersama dengan hatinya yang tidak lagi berbentuk. Flashback off Raivan mendengar alunan senandung merdu dari arah walk-in closet. Seketika ia mendekat, pelan-pelan. Di dalamnya, Nayla baru saja melepas handuk dari kepalanya. Rambut panjangnya tergerai basah, tubuhnya hanya terbalut handuk putih. Ia tampak begitu alami, larut dalam nyanyiannya, tanpa sadar akan keberadaan Raivan. Ketika matanya bertemu dengan tatapan Raivan di pantulan cermin, Nayla terkejut. Wajahnya pucat, panik—dalam keadaan seperti ini. Tanpa pikir panjang, ia membalikkan badan, berniat kembali ke kamar mandi. Namun, Raivan salah menangkap maksud dari keterkejutannya. Ia mengira Nayla ketakutan karena benda kecil di tangannya—sebuah kotak musik. Saat Nayla berbalik hendak kabur, Raivan dengan cepat menahan pinggangnya, memutar tubuh Nayla hingga saling berhadapan. Jarak mereka terlampau dekat. Nafas mereka saling bersentuhan. Raivan terlalu terbawa emosi untuk menyadari bahaya dari kedekatan ini. “Va–van,” bisik Nayla gugup, napasnya tercekat. “Kenapa kotak musik ini ada padamu, Nay?” tanya Raivan, suaranya dalam dan penuh tekanan. Nayla memalingkan wajah, pandangannya jatuh pada kotak musik kecil di tangan Raivan. Flashback “Aku boleh nggak kasih Raivan sweater rajut buatanku?” tanya Nayla ragu, melirik ke arah Salsa. Mereka tengah duduk di ruang tunggu rumah sakit, menanti obat untuk Salsa. “Boleh,” jawab Salsa ringan. “Tapi bilangnya dari aku? Atau gimana?” “Ya, dari kamulah. Ya kali dari aku. Siapa aku?” sahut Nayla, menjeling geli. Salsa langsung memeluk Nayla dengan manja. “Adik ketemu gede-nya pacar akuh,” ujarnya gemas. Nayla hanya tersenyum tipis. Hatinya hangat sekaligus perih. “Terus… kotak musik itu boleh buatku?” tanya Nayla lagi, pelan. Kemarin adalah anniversary kedua hubungan Salsa dan Raivan. Raivan mengirim paket dari Indonesia—berisi makanan kesukaan Salsa hingga hadiah spesial, sebuah kotak musik yang menampilkan pasangan menari saat musik diputar. Hadiah yang manis. Nayla juga berinisiatif memberi Raivan hadiah. Ia sangat mendalami perannya, tapi salsa sama sekali tidak menaruh curiga. “Kotak musik itu? Silakan,” jawab Salsa ringan, tanpa pikir panjang. “Thank youuu…,” seru Nayla, memeluk Salsa erat. Sejak saat itu—dari tahun ke tahun—Nayla selalu mengirimkan balasan untuk setiap hadiah Raivan. Kadang berupa selimut rajut, gantungan kunci handmade, atau benda couple lainnya. Semua ia buat dan pilih sendiri. Flashback off “Kenapa diam? Jawab!” tanya Raivan penuh penekanan. Nayla tersentak, matanya membulat. “Nay...!” Suara Salsa terdengar dari luar kamar, membuat Raivan refleks menarik Nayla masuk ke kamar mandi. Dan benar saja, karena tak mendapat jawaban, Salsa melangkah masuk. “Nay—” “Aku... mandi, Sa!” sahut Nayla tergesa dari balik pintu kamar mandi. “Aku tunggu di belakang, ya. Buruan, aku mau tunjukin kamu sesuatu,” balas Salsa. “Oke, sebentar,” jawab Nayla cepat. Begitu langkah Salsa menjauh, Raivan mengembuskan napas panjang. Tanpa sadar, dagunya bertumpu di puncak kepala Nayla. Tangannya masih melingkari tubuh wanita itu. Mereka diam. Hening dan dingin. Tapi perlahan, hening itu berubah jadi kehangatan yang aneh. Nayla tak bergerak. Ia pasrah dalam pelukan itu—tanpa membalas. Raivan pun tak segera melepaskan. Namun ketika tubuh mereka bersentuhan semakin hangat, seketika kesadaran menamparnya. Ia terkejut, lalu buru-buru menjauh—tersadar penampilan Nayla seperti ini. Posisi handuk Nayla yang sedikit melorot, memperlihatkan lekuk yang seharusnya tak terlihat—dua bongkahan itu menyembul tanpa malu. “Nay...,” lirih Raivan. Tenggorokannya naik turun menelan salivanya, panik dan bingung. Nayla mendorong tubuh Raivan pelan hingga lelaki itu bersandar di tepi wastafel. Entah dari mana keberanian itu datang, Nayla mengangkat tangannya, meraih kerah baju Raivan dan menautkan kening mereka. Raivan tidak suka posisi ini, dia dapat melihat belahan yang membuat dirinya remang sebadan. “Aku cuma minta satu benda itu dari Salsa dan dia mengizinkannya,” bisik Nayla lirih. “Izinkan aku memiliki satu itu saja, Van.” Nayla menjauh sedikit, mendongak menatap mata Raivan. Wajahnya penuh harap, memohon agar keinginannya terpenuhi. Keduanya saling menatap begitu dalam. Aroma wangi dari tubuh Nayla menghipnotis Raivan hingga tanpa sadar tangannya terulur menarik dagu Nayla—membuat wanita itu semakin terdongak dan mereka berdua refleks menutup mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD