Bab 6 : Keberadaan Yang Tidak Diharapkan

1486 Words
Salsa tersentak ketika mendengar suara pintu terbuka. Matanya langsung terbuka, menatap Raivan yang melangkah masuk ke kamar. “Sayang, aku mengganggu tidurmu?” tanya Raivan, cepat menghampiri istrinya. “Kamu menangis? Mimpi buruk?” Salsa mengangguk pelan. Matanya sembab, bekas air mata masih terlihat jelas. Raivan duduk di tepi ranjang, mengusap lembut pipi istrinya, lalu menariknya ke dalam pelukan. “Semua akan baik-baik saja, Sayang,” lirih Raivan. Salsa tidak berani menceritakan mimpinya. Sakit itu masih terasa—meski hanya mimpi, tapi begitu nyata. Ternyata, Salsa tidak sekuat yang selama ini ia kira. *** Sejak Salsa harus bedrest, Raivan tak lagi menyentuh dapur. Seluruh fokusnya tercurah pada sang istri, sementara urusan rumah sepenuhnya ditangani oleh Bi Seri. Namun belakangan, Raivan mengetahui kalau Nayla yang menyiapkan semua bahan makanan, sementara Bi Seri hanya tinggal mengolahnya. Gerak-gerik Nayla tak pernah lepas dari perhatian Raivan. Meski sudah berkali-kali ia larang, wanita itu tetap saja menyiapkan banyak hal kecil untuknya. Tapi perhatian Nayla tak hanya tertuju padanya—Salsa pun ikut diperhatikannya. Pagi ini, Raivan kembali masuk kantor. Kondisi Salsa sudah jauh membaik, membuatnya merasa tenang meninggalkan rumah. Hari ini, Raivan bangun lebih awal dari biasanya—matahari bahkan belum sepenuhnya muncul. Ada jadwal sarapan bersama klien sebelum rapat dimulai. “Aargh...” Raivan menggerutu kesal. Sudah berkali-kali mencoba, tetap saja ia tak berhasil memasang dasinya dengan rapi. Biasanya, Salsa yang membantunya setiap pagi. Tapi hari ini masih terlalu dini untuk membangunkannya. Yang terpikir hanya satu nama—Fadlan. Asisten serba bisa itu tentu bisa mengurus hal sepele seperti ini. “Au ah,” gumam Raivan kesal, akhirnya mengalungkan dasi sembarangan ke lehernya. Ia meneguk air di kitchen island, bersiap untuk berangkat. Namun saat ia berbalik, langkahnya terhenti. Nayla berdiri di ambang pintu, mengenakan piyama yang dilapisi kimono tipis. Wajahnya masih terlihat mengantuk, tapi matanya dalam menatap Raivan. “Apa yang kamu—” Raivan baru hendak memprotes saat Nayla maju, mengulurkan tangan. “Biar aku pasangkan,” potong Nayla cepat. Raivan refleks menepis pelan tangannya. Tapi wanita itu tidak mengindahkannya. “Sebentar saja,” ucap Nayla lirih, nyaris seperti bisikan. “Van, sepulang mengajar nanti aku ada rencana dengan beberapa rekan guru. Mungkin pulangnya agak malam,” ucap Nayla di sela jari-jarinya cekatan membenahi simpul dasi di leher pria itu. “Katakan saja pada Fadlan,” sahut Raivan dingin tanpa menoleh. Nayla menghentikan kegiatannya, mengangkat pandangannya menatap Raivan yang tampak acuh. “Katakan apa pun pada Fadlan soal aktivitasmu, supaya dia bisa mencocokkan jadwal kerjanya dengan mengantar atau menjemputmu. Ada atau tidaknya kamu di rumah ini tidak penting bagiku.” Nayla terdiam, membeku di tempat. Perkataannya seperti kabut dingin yang membungkus tubuhnya. Sementara itu, Raivan sudah lebih dulu melangkah pergi, meninggalkannya tanpa menoleh. Siang harinya … Saat jam pelajaran usai, seperti biasa Fadlan sudah menunggu di gerbang sekolah. Ia menyambut Nayla dengan senyum ramah. Mereka sudah saling mengenal cukup lama. Fadlan tahu betul siapa saja orang-orang penting dalam hidup atasannya. Tapi belakangan, ia juga cukup peka—melihat perubahan sikap Raivan terhadap Nayla sejak resmi menjadi suami istri. Ada sesuatu yang berbeda di antara keduanya. “Pasti kamu nggak lihat pesanku, ya?” ucap Nayla pelan, membuat Fadlan buru-buru merogoh ponselnya. Begitu melihat pesan yang terlewat, lelaki itu memejamkan mata sesaat, menyesal. “Maaf, Mbak. Saya nggak memperhatikannya,” ucapnya jujur. Nayla memang sempat mengirim pesan agar Fadlan tidak perlu menjemputnya hari ini—rencananya, ia akan menghabiskan waktu bersama rekan-rekan guru sepulang sekolah. “Raivan nggak bilang apa-apa ke kamu?” tanyanya kemudian, dengan nada lirih. Fadlan terdiam. Tak sekalipun sang atasan pernah menyebut nama Nayla atau membahas perihal istri keduanya. Setiap laporan yang ia berikan tentang Nayla selalu ditanggapi datar atau diabaikan sama sekali. “Saya antar saja, ya, Mbak Nayla? Rencananya mau ke mana?” Fadlan mencoba mengalihkan suasana, menawarkan bantuan sebagaimana tugasnya sebagai sopir pribadi. Nayla menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis—sadar kalau Fadlan mengalihkan pembicaraan. “Tunggu sebentar ya, aku diskusi dulu sama mereka.” Fadlan mengangguk, sementara Nayla melangkah menuju sekelompok guru yang masih berdiri tak jauh dari gerbang, berusaha menyembunyikan gundah yang sempat mengendap di matanya. Setelah berdiskusi sebentar dengan teman-temannya, Nayla akhirnya setuju. Ia kembali menghampiri Fadlan dan menyampaikan tujuan mereka. “Tolong antar kami ke restoran ini, ya,” ucapnya sambil menunjukkan alamat di ponselnya. “Nanti malam aku pulang sendiri saja.” “Malam?” Fadlan mengernyit. “Jam berapa, Mbak? Mbak sudah kasih tahu Pak Raivan?” Nayla mengangguk pelan, berbohong. Tidak sepenuhnya berbohong karena tadi dia sudah izin pulang malam, tapi, toh, Raivan tak peduli. Percuma berharap ada reaksi. Yang penting, ia sudah memberi tahu Salsa kalau dia akan pulang terlambat. Fadlan menatap Nayla sejenak, ragu untuk berkata lebih, tapi akhirnya hanya mengangguk dan bersiap mengantar mereka. *** Pukul delapan lewat tiga puluh malam, Raivan baru tiba di rumah. Suasana sunyi menyambutnya, hanya ada desau angin yang sesekali terdengar dari sela-sela jendela. Ia melangkah pelan, melihat ke kamar Salsa. Sang istri sudah tertidur, wajahnya tenang di bawah cahaya lampu temaram. Sekilas, pandangannya beralih ke arah kamar Nayla—tertutup rapat. Tanpa berhenti, Raivan memilih naik ke lantai dua. “Den,” sapa Bi Seri yang baru keluar dari dapur saat melihat Raivan di tangga. “Bibi buatkan wedang jahe, ya?” Raivan hanya mengangguk. “Antar ke kamar atas saja, Bi,” pintanya singkat. Setelah membersihkan diri, ia menyesap minuman hangat itu perlahan, duduk di meja kerja sambil memeriksa sisa-sisa laporan yang belum sempat disentuh. Lelah mulai merayap diam-diam hingga akhirnya ia tertidur di kursinya. Ketika terbangun, jam sudah menunjukkan setengah sebelas malam. Ia mengusap wajahnya, bergegas turun ke kamar bawah untuk beristirahat. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara tawa kecil—lelaki dan perempuan, samar-samar terdengar dari arah luar rumah. Ia baru menyadari satu hal, jendela kamarnya belum ditutup. Perlahan, Raivan mendekat ke jendela itu. Angin malam menyusup masuk, membawa serta suara yang terasa asing namun akrab dan mengganggu. “Kamu jadi basah, Nay,” ujar seorang lelaki sambil melepaskan helm dari kepala Nayla. Raivan memperhatikan dari balik jendela, ia tidak dapat melihat wajah pria itu. “Lain kali aku bawa mobil, deh. Biar kamu nggak kehujanan dan kepanasan,” tambah pria itu, menggoda ringan. ‘Lain kali?’ Raivan menyeringai. Tawa mereka pecah, ringan dan hangat. Keduanya terlihat menikmati kebersamaan itu—terlalu nyaman untuk dua orang teman. Berbeda dengan ekspresi Raivan yang kini berdiri kaku, menatap datar ke arah mereka berdua. Raivan memilih pergi, rasanya tidak ada masa untuk memperhatikan keduanya. Tak lama kemudian, suara Nayla terdengar dari arah depan rumah. “Maaf merepotkan ya, Bi,” katanya pelan. Rupanya ia menghubungi Bi Seri untuk membukakan pintu karena tak memiliki kunci rumah. “Iya, iya, Neng Nayla segera mandi ya. Tubuh Neng basah kuyup begitu,” sahut Bi Seri dari balik pintu, membukakan jalan masuk. Setelah memastikan pintu terkunci kembali, Bi Seri berbalik hendak menuju kamarnya—lalu menoleh, mendapati Raivan sudah berdiri di anak tangga, menatap tajam. Wanita paruh baya itu hanya mengangguk pelan, lalu berlalu tanpa suara. Raivan turun dengan langkah tenang tapi tatapannya dingin. Begitu Nayla hendak melewati ruang tengah, ia akhirnya bersuara. “Saya izinkan kamu pergi bukan berarti kamu bisa pulang sesuka hati, tanpa kenal waktu.” Nayla menghentikan langkahnya. Suara itu tak keras, tapi cukup untuk menusuk. “Maaf, Van. Tadi setelah dari—” Belum sempat Nayla menyelesaikan kalimatnya, Raivan hanya melirik sekilas, jengah. Tanpa sepatah kata pun, ia langsung berlalu, meninggalkannya berdiri di ambang ruang tengah. Nayla menghela napas pelan lalu masuk ke kamar untuk membersihkan diri. Diabaikan sudah menjadi makanan Nayla sehari-hari. Beberapa saat kemudian, ia keluar untuk mengambil minum. Saat melewati lorong, pandangannya menangkap pintu kamar Salsa yang sedikit terbuka. “Kenapa bangun, hmm?” tanya Raivan pada Salsa. “Nayla udah pulang, Mas?” Suara lembut Salsa terdengar dari dalam. “Tadi katanya setelah dari mal mau ke panti.” Raivan yang baru saja duduk di sisi ranjang, menoleh. “Sayang... saat kita berdua, boleh nggak jangan bahas orang lain?” ‘Orang lain?’ Nayla tersenyum getir mendengarnya. Sementara, Salsa mengerutkan kening. “Orang lain?” ucapnya pelan. “Nayla itu bukan orang lain, Mas. Dia istri kamu juga.” Raivan diam sejenak. Ada jeda sunyi yang menggantung di antara mereka sebelum ia berkata, “Sayang, Mas capek. Pengen dipeluk.” Salsa mengembuskan napas pelan, merentangkan kedua tangannya dan Raivan masuk ke dalam pelukan sang istri. “Sangat menenangkan, I love you, Sayang.,” ujar Raivan. “Ih, Mas ngapain sih. Mas, aku geli tahu... Mas, kita masih belum boleh—” Kalimatnya terputus ketika Raivan menjatuhkan tubuh kedua ke kasur dan menutup tubuh mereka dengan selimut. Sekalipun tidak melihat, senda gurau keduanya seolah menyayat hati Nayla. “Mas Raivan... kamu nakal banget,” gumam Salsa, setengah tertawa. Terdengar desahan kecil lolos dari mulut Salsa. “Mas ….” Sialnya kaki Nayla terasa berat untuk melangkah. Dia tidak bermaksud menguping, tapi semua terdengar cukup jelas. Dan itu cukup… menyakitkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD