Nayla terbangun samar-samar mendengar suara tawa dari arah luar. Sinar matahari sudah menembus celah jendela—ia tersadar kalau matahari mendahuluinya. Untung hari ini akhir pekan.
Rasanya terlalu berat untuk bangkit, terlebih setelah mendengar tawa renyah itu. Ia tahu, kehadirannya hanya akan menjadi jeda dari kebahagiaan itu ‘kan?
Nayla menarik selimut kembali, mencoba memejamkan mata. Ia berguling ke kiri dan ke kanan, tapi kantuk tak juga datang. Akhirnya, ia menyerah dan memutuskan untuk bangun serta membersihkan diri.
Pagi ini, Nayla tampil manis dalam balutan midi dress berwarna biru muda. Siang nanti, ia akan pergi ke panti—rutinitas yang selalu mengisi akhir pekannya.
Namun, saat melangkah keluar, langkah Nayla terhenti. Matanya membeku pada pemandangan di depannya—Raivan duduk di kursi terbalik, tubuhnya condong ke depan, kedua tangan menyanggah kamera, mencari sudut paling presisi untuk memotret dua wanita yang tengah bergelut dengan tepung di dapur.
Tawa mereka renyah, sesekali terdengar celetukan kecil yang membuat suasana terasa begitu hangat. Dan entah sejak kapan Bunda Zara sudah ada di sana.
“Mas, kamu nggak membantu sama sekali,” protes Salsa.
Nayla terdiam menatap ke arah mereka. Tatapannya terpaku pada sosok Raivan yang tertawa lepas, lalu mendekat ke arah Salsa, mencolek tepung dan menempelkannya ke hidung sang istri—kemudian dengan sigap mengabadikan momen itu lewat kameranya.
Raivan benar. Dongengnya memang begitu indah dan sempurna.
Hanya saja, bukan Nayla yang menjadi tokoh utamanya.
“Nayla?” panggil Bunda Zara sambil tersenyum lebar, melambai pelan, mengajaknya bergabung.
Sejenak, tawa riang itu terjeda—persis seperti yang Nayla bayangkan akan terjadi saat dirinya muncul. Masih ada senyum di wajah Bunda Zara dan Salsa, tapi tak ada sisa senyum di wajah Raivan.
Ia hanya menatap sekilas, lalu kembali menunduk pada kameranya.
Nayla melangkah pelan, lalu mendekat ke sisi Bunda Zara dan memeluknya dari belakang.
“Katanya mau keluar sejak pagi?” rajuk Nayla manja, kepalanya bersandar di pundak sang bunda.
Semalam, setelah dari mal, Nayla tetap melanjutkan jadwalnya ke panti untuk mengajar. Ia bahkan berada di sana hingga larut malam karena ada acara santunan.
“Loh, ini kan keluar, toh. Bunda ke sini, makanya nggak bilang—surprise!” sahut Bunda Zara riang, matanya berbinar.
Nayla mengeratkan pelukannya, lalu mencium pipi Bunda bertubi-tubi.
Keduanya begitu dekat—bagaimana tidak? Sejak kecil, Bunda-lah yang merawat Nayla. Bagi Nayla, Bunda adalah dunianya. Dan dunia akan baik-baik saja selagi ada Bunda di dalamnya.
Raivan terdiam menyaksikan interaksi hangat antara Nayla dan Bunda. Pemandangan itu bukan hal baru baginya, ia sudah terbiasa menyaksikan momen itu.
“Mau buat apa?” tanya Nayla sambil melangkah ke wastafel, mencuci tangan, berniat membantu.
“Roti prata, permintaan Bumil,” jawab Bunda Zara dengan senyum hangat.
Nayla terdiam sesaat. Ia menoleh dan matanya menangkap Salsa yang kini tengah bergelayut manja pada Bunda. Sementara Raivan kembali tersenyum, memotret Salsa.
Nayla menarik napas, menahan rasa yang tiba-tiba menyesakkan d**a.
“Kalau Nayla buatkan kari-nya... Salsa mau?” tanyanya pelan.
Salsa langsung menjawab cepat, dia sangat mau. Masak Bunda atau Nayla sama saja, keduanya Salsa sukai. Mungkin karena lama bersama Bunda, masakan keduanya rasanya serupa.
Nayla tersenyum seraya mengangguk. Dia akan menyibukkan diri sendiri. Tetap ada di antara mereka, tapi berupa bayangan. Harusnya tidak akan mengganggu dongeng yang sedang Raivan buat pagi ini.
Salsa, Bunda, dan Raivan di kitchen island—sementara Nayla memilih menggunakan dapur kotor di belakang.
“Neng, kenapa masak di sini?” tegur Bi Seri, yang baru saja selesai menjemur pakaian.
“Di sini enak, dapurnya terbuka. Kurang kayu bakar, suasananya sama dengan dapur Bunda jaman dulu,” kekehnya, mencoba menghibur diri.
Bukan berarti Bi Seri tidak tahu apa yang sedang Nayla tahan di dalam dirinya. Wanita paruh baya itu perlahan mendekat dan ikut membantu.
“Loh, Bi. Nggak usah... siapkan saja pekerjaan Bibi yang lain,” tolak Nayla lembut.
“Pekerjaan Bibi udah selesai, Neng. Malah cepet selesai gara-gara dibantu Neng Nayla bikin... food pre-pre apa itu yang suka muncul di sosial media?”
Nayla tertawa kecil, mengangguk. “Food preparation, Bi?”
“Nah, itu dia!” seru Bi Seri senang. “Menu-nya beragam, enak pula. Sok, Neng, pisahin bumbunya, biar Bibi yang kupas. Habis itu Neng sarapan, ya? Sebentar, Bibi ambilkan dulu sarapannya—”
“Bi, nggak usah repot-repot, aku—”
Terlambat. Bi Seri sudah lebih dulu berbalik dan melangkah menjauh. Nayla hanya bisa menggeleng pelan, senyum tipis mengambang di bibirnya.
***
Sejak kemarin, Salsa selalu berusaha agar mereka bisa sarapan dan makan malam bersama. Tapi, nyatanya tak selalu utuh. Kadang Raivan pulang terlalu malam, kadang Nayla yang tiba-tiba sibuk—atau lebih tepatnya, mencari-cari alasan agar tak perlu duduk semeja dengan Raivan.
Seperti pagi ini. Nayla sudah berniat menghindar dengan bangun terlambat, tapi justru berakhir duduk kembali satu meja. Bedanya, kali ini tak begitu sunyi—ada Bunda Zara yang ikut menemani.
Salsa tampak bersemangat menikmati prata buatan bundanya, duduk manja di samping Raivan. Sementara Nayla duduk berhadapan dengan suaminya, dan Bunda Zara di sisi kanannya.
“Masakan Bunda dan Nayla kolaborasi terbaik,” ujar Salsa, Raivan menoleh ke arah istri pertamanya mengulurkan tangannya mengusap sudut bibir Salsa yang belepotan. Cepat Salsa mengusap sendiri tersenyum pada suaminya.
Pemandangan ini dulu terasa biasa saja bagi Nayla. Tapi makin ke sini, makin meresahkan. Dadanya terus sesak tiap kali melihat kemesraan keduanya. Apa Nayla cemburu? Kalau sebelumnya tidak ada alasan untuk cumburu karena Raivan bukan miliknya. Apa sekarang Nayla boleh mengakui perasaan itu karna sekarang Raivan juga miliknya?
Nayla tersentak saat merasakan usapan lembut pada punggung belakangnya. Ia menoleh melihat Bunda tersenyum seolah menenangkannya.
Siang itu, rumah diliputi keheningan. Setelah meneguk obatnya, Salsa tertidur di kamarnya. Begitu pula dengan Nayla—berbaring tenang di kasurnya, ditemani Bunda Zara di sisinya. Ini adalah kali pertama Bunda datang ke rumah setelah pernikahan Raivan dan Nayla. Hatinya sempat menghangat melihat Raivan menyiapkan ruang terbaik untuk anak menantu keduanya. Sedikit lega, berharap Raivan perlahan bisa menerima Nayla. Tidak tahu saja kalau yang menyiapkan semua itu bukan Raivan, tapi Salsa.
“Bunda pulang jam berapa? Kita ke panti bareng, yuk,” ajak Nayla, duduk sigap dengan mata berbinar menanti jawaban. Ia tidak ingin melewatkan jadwal rutinnya. “Eh, tapi kalau Bunda masih ingin di sini, Nayla duluan saja.”
Bunda menepuk lembut tangan Nayla. “Nay, istirahatlah, Nak. Kamu sudah menambah jam mengajar di panti. Dulu hanya akhir pekan. Kapan Nayla istirahatnya?”
“Nayla senang, Bun,” jawabnya, mengeratkan pelukan. “Nayla senang berada di antara mereka.”
Bunda menatapnya lama. “Bukan karena ingin menghindar?”
Pertanyaan itu membuat Nayla terdiam sejenak. Senyum tipis mengembang di bibirnya—ia menggeleng perlahan.
“Sakit, Nak?” tanya Bunda lembut. “Sebelah mana? Sini?” Tangan beliau terulur, mengusap d**a Nayla yang mulai sesak. Nayla menunduk. Matanya mulai buram oleh genangan yang tertahan. “Maafkan Bunda, Nay, karena tak cukup baik mendidik Raivan.”
Nayla segera memeluk sang Bunda erat seraya menggeleng. “Jalan yang Nayla pilih ini, Nayla sudah siap dengan segala ujiannya. Tapi janjikan satu hal, Bunda. Temani Nayla, iringi langkah Nayla, sampai akhir.”
***
Bunda Zara memandang Nayla yang tertidur di sampingnya—mengusap sayang puncak kepalanya. Meskipun Nayla sudah dewasa, di mata Bunda, ia tetaplah peri kecil. Perempuan kecil malang yang kini tumbuh dengan hati yang begitu mulia.
Bunda melangkah keluar, ia melihat Raivan di ruang tengah sedang sibuk memeriksa pekerjaannya. Beliau ikut duduk di sampingnya. Raivan menoleh, tersenyum, dan meraih tangan Bundanya, mengecup punggung tangannya sebelum kembali fokus pada layar laptopnya.
"Bunda pulang sore ini dengan Nayla, Van. Dia tidak mau melewatkan waktu mengajarnya," ujar Bunda dengan suara lembut.
"Hmm," sahut Raivan singkat. "Kalau Nayla mau ke panti duluan, biarkan saja, Bun. Ada Fadlan yang mengantar dan menjemputnya. Bunda di sini dulu, nanti Raivan antar pulangnya."
Raivan kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Tidak ada tanggapan dari Bunda, membuat Raivan akhirnya menoleh lagi ke arah Bunda.
"Kamu tidak lupa kalau Nayla istrimu juga, 'kan?" tanya Bunda. Mendengar topik pembahasan dan nada suara Bunda yang berubah, Raivan menghembuskan napas pelan. "Jangan bilang kamu tidak menyentuh Nayla?" lanjut Bunda dengan sedikit penekanan, tepat sasaran.
"Pernikahan Raivan dengan Nayla atas keterpaksaan. Raivan tidak bisa menyentuh Nayla."
Saat itu, Nayla terbangun dari tidurnya. Menyadari ranjangnya kosong, ia beranjak untuk mengambil air, tapi langkahnya terhenti begitu mendengar suara Raivan.
Bunda Zara saja sampai membulatkan matanya mengetahui keadaan yang sebenarnya. "Raivan, kamu mengabaikan istri keduamu? Pernikahan kalian sudah berjalan dua bulan. Nayla juga berhak atas kebahagiaannya, termasuk batinnya."
"Di antara Raivan dan Nayla tidak ada ketertarikan. Pernikahan ini bukan atas dasar suka sama suka—"
Bunda Zara menggelengkan kepala, matanya tajam menatap Raivan. "Bagaimana kalau ada? Bagaimana kalau selama ini Nayla juga memiliki perasaan terhadapmu?"
Raivan terdiam, sementara air mata Nayla sudah jatuh. Ia melipat bibirnya agar isak tangisnya tidak terdengar. Nayla menggeleng pelan berharap Bunda tidak melanjutkan lagi pembicaraan mereka.