Bab 10 : Luapan Emosi

1217 Words
Hasil kontrol hari itu sangat baik. Ibu baik, bayi pun sehat, membuat dua pasangan itu bahagia luar biasa. Sesampainya di rumah, langit sudah mulai gelap. Rumah tampak sepi, membuat Raivan menelisik sekitar, seolah mencari sesuatu. Sementara itu, Salsa masih asyik memandangi hasil USG, dengan senyum yang terukir indah di wajahnya. "Kira-kira anak kita mirip aku atau kamu, ya, Mas?" tanya Salsa. Tidak mendapat tanggapan, ia menoleh. Raivan rupanya sibuk dengan ponselnya. "Mas?" panggilnya lagi. "Ah, iya, Sayang? Maaf, aku tadi hubungi Fadlan. Ada apa, Yang?" sahut Raivan, lalu memeluk istrinya dari belakang dan Salsa mengulang pertanyaannya. "Tentu saja cantik seperti mamanya. Dan kalau laki-laki, pasti tampan seperti aku," jawab Raivan dengan nada sombong, membuat Salsa terkekeh geli. "Apa aku bisa melihat anak kita lahir dan melihat dia tumbuh besar, Mas?" tanya Salsa pelan. Raivan mengeratkan pelukannya. "Tentu, Sayang. Kita akan melihat dia tumbuh bersama. Dia tidak akan kekurangan kasih sayang, dari Mama dan Papanya," katanya meyakinkan. Salsa mengangguk sambil tersenyum. Tapi entah mengapa, hatinya berbisik lain bahwa angan Raivan tak akan seindah kenyataan. "Bi, Nayla belum pulang?" tanya Salsa saat melihat Bi Seri lewat. "Belum, Non, Den," jawab Bi Seri sopan, membuat Raivan melirik ART itu karena padahal dia tidak bertanya apa pun tentang Nayla. Salsa hanya mengangguk paham. "Mas, aku istirahat dulu, ya," pamitnya. Raivan mengangguk, mengecup setiap inci wajah istrinya sebelum membiarkannya pergi ke kamar. Tak lama setelah Salsa menghilang ke dalam kamar, ponsel Raivan berdenting. Sebuah pesan dari Fadlan masuk—membalas pesan sebelumnya, mengatakan bahwa ia masih di kantor. Raivan mengerutkan kening, menimbang sesuatu. Akhirnya ia memutuskan menghubungi bundanya. "Van? Ada apa?" tanya Bunda Zara saat mengangkat telepon. "Bunda lagi sibuk mengajar anak-anak, ya?" tanya Raivan, suaranya terdengar ambigu. "Loh, nggak. Sejak Nayla menambah hari mengajar, Bunda sudah nggak ngajar lagi, kan? Nayla yang ngajar. Tapi hari ini libur, kok. Hari Kamis... eh, Kamis apa Jumat, ya? Bunda jadi lupa," jawab Bunda Zara sambil berpikir keras. "Yang jelas, Nayla sekarang bukan cuma weekend di sini, Van. Ada apa memangnya?" Raivan terbata-bata, lalu cepat-cepat mengatakan bahwa ia hanya ingin tahu apa yang Bundanya lakukan. Ia menyudahi telepon itu begitu saja, membuat Bunda Zara mengernyitkan dahi, heran. Sejak tadi Raivan tampak gelisah, hingga Salsa bisa menebak bahwa suaminya itu tengah menunggu madunya. "Kok Nayla belum pulang, ya, Mas?" tanya Salsa. Raivan hanya mengedikkan bahu acuh, walau pikirannya mendadak bising sejak sore tadi. Usai makan malam, Salsa langsung masuk ke kamar untuk kembali menggambar. Sudah lama ia tidak ke butik, tapi pekerjaannya tetap berjalan lancar berkat asistennya yang cekatan dan bisa diandalkan. "Sayang, waktunya minum obat dan tidur," kata Raivan. Salsa mengangguk, menurut. Ia masuk ke dalam selimut, merentangkan tangan—meminta Raivan untuk masuk ke dalam pelukannya. "Nayla belum pulang, Mas?" tanyanya lagi. Raivan menggeleng. "Mas telepon, gih. Tadi Nayla bilang mau ke toko buku, tapi masa selama ini?" desaknya. "Biarkan saja—" balas Raivan malas. "Mas, Nayla itu tanggung jawab kamu juga," potong Salsa lembut tapi tegas. Rahang Raivan mengeras. Ia hanya mengangguk paham, lalu pamit naik ke lantai atas untuk zoom meeting dengan Fadlan, membahas pekerjaan yang ia tinggalkan setengah hari tadi demi menemani Salsa ke dokter. Namun, Raivan tidak menghubungi Nayla. Ia langsung membuka laptop dan memulai Zoom meeting dengan Fadlan, walau pikirannya sama sekali tidak fokus. Kata-kata Salsa tadi terngiang di telinganya "Mas, Nayla itu tanggung jawab kamu juga." "Apa Nayla meminta kamu untuk tidak menjemputnya di rumah sakit, Fadlan?" Fadlan membeku, butuh waktu untuk memastikan bahwa atasannya benar-benar baru saja bertanya tentang istri keduanya, untuk pertama kalinya. "Benar, Pak. Katanya Mbak Nayla mau ke toko buku dan belum tahu pasti kapan pulang." Tiba-tiba terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Raivan langsung mengakhiri rapatnya, lalu melangkah ke jendela. Dari celah gorden, ia melihat Nayla turun dari ojek online. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Raivan pun segera turun. Saat itu bersamaan dengan Bi Seri sudah berjalan ke arah pintu depan, tapi Raivan menahannya. "Jangan buka," titahnya. "Tapi, Den—" Bi Seri ragu. "Sudah, kembali saja ke kamar Bibi. Abaikan panggilan dari Nayla," ucap Raivan tegas. Bi Seri pun menurut, meski gelisah. Ponsel Bi Seri kemudian berdering. Nayla menelpon, tapi wanita paruh baya itu tak berani mengangkatnya. Sampai akhirnya, tepat saat panggilan itu terputus, pintu depan dibuka dari dalam. Nayla mendongak. Senyum kecil di wajahnya seketika memudar saat melihat Raivan berdiri di ambang pintu, bukan Bi Seri. "Terima kasih," gumam Nayla lirih sambil melewati Raivan. "Darimana?" tanya Raivan ketus. Nayla tidak menjawab, terus melangkah masuk. Melihat sikap Nayla, Raivan mengembuskan napas kasar. "Nayla!" panggilnya keras. "Aku sedang bicara—" Suara pintu dibanting memecah malam. Raivan memejamkan matanya sejenak, menahan emosi yang bergolak di dadanya. Saat ia membuka mata kembali, pintu kamar Salsa sedikit terbuka. Dari sana, Salsa keluar dengan ragu membawa botol minum kosong di tangannya. Raivan mendesah panjang, lalu berjalan mendekatinya. Tanpa banyak kata, ia mengambil botol itu dari tangan Salsa dan membawanya ke dapur. Tak lama, ia kembali, menyerahkan botol yang telah terisi. Salsa menerimanya, lalu berkata lirih, “Mas, jangan kasar pada Nayla.” Raivan mengatupkan rahangnya, menahan luapan kemarahan yang hendak meluncur. “Sebaiknya kamu masuk, Yang. Istirahatlah.” Salsa mengangguk mengerti, perlahan menutup pintu kamarnya kembali. Raivan berbalik, berjalan menuju kamar Nayla. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu. “Raivan,” pekik Nayla tertahan. Gadis itu baru saja melepas pakaiannya, terkejut setengah mati. Dengan gerakan cepat, Nayla menutup tubuhnya dengan baju yang sudah terlepas, menutupi bagian dadanya yang hanya mengenakan dalam berwarna hitam. Raivan diam, matanya gelap menatap Nayla, menyelam dalam. "Kenapa kamu mengabaikanku? Sengaja?" Suaranya berat, bergetar ada amarah dan kekecewaan dalam nadanya. "Kamu pikir semudah itu meluluhkanku dengan cara menarik ulur?" Nayla mengerutkan kening, tidak mengerti arah kemarahan Raivan. "Mulai besok," tekan Raivan, nadanya tajam dan dalam, "kita akan makan satu meja. Kita akan melakukan banyak hal bersama. Berhenti membuat Salsa sedih hanya karena kamu terus menghindar dari kami." Napasnya terdengar berat saat ia melangkah lebih dekat. “Tidakkah kamu lupa keberadaankamu di sini karena Salsa? Kamu sudah masuk terlalu dalam, Nayla. Duduklah diam di sudut. Ikuti saja alurnya. Tanpa mengusik semua orang di rumah ini dengan membuat drama baru,” tekan Raivan. “Aku akan turuti apa semua maumu asal kamu bicara dengan bersungguh-sungguh layaknya seorang kepala rumah tangga. Apa itu pernah? Kamu selalu menekanku seolah aku ini antagonis dalam ceritamu. Kamu tidak lupa siapa menyeretku masuk ke dalam dongeng indahmu itu, hah?” ujar Nayla dengan suaranya yang mulai tinggi, tapi bergetar penuh luka. “Stop, Nayla. Pelankan suaramu.” “Apa aku yang datang mengemis cintamu untuk dibagi? Apa aku bisa menolak menjadi istri keduamu?” Tangis Nayla tumpah. Dengan tangan gemetar, ia memukul d**a Raivan, bertubi-tubi—tidak peduli dengan tubuh bagian atasnya yang tidak lagi ia halangi dengan bajunya sebelumnya. “Seumur hidup itu lama, Raivan. Dua bulan ini saja aku rasanya tidak sanggup. Sekuat apa aku menahan dan bersikap acuh, aku tetap tidak baik-baik saja. Kalau bukan karena Salsa, kamu kira aku mau menjadi madu?” Raivan terdiam, seperti membeku di tempatnya. Lalu dengan suara yang dingin, hampir tidak berperasaan, ia berkata, “Menyesal? Harusnya hari itu kamu menolak, bukan menerima dengan suka rela semua ini. Sampaikan saja sendiri keberatanmu. Karena penerimaanku terhadap pernikahan ini hanya demi istri tercintaku." Dan di detik itu, sesuatu di dalam diri Nayla runtuh. Benar-benar runtuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD