Bab 11 : Bayangan Semu

1396 Words
Pergi? Marah? Menjadikan Salsa kambing hitam? Tidak. Nayla sudah berjanji akan siap menghadapi badai yang datang dalam pernikahan ini. Karena itu, pagi ini ia membuka hari dengan semangat baru, bertekad melupakan apa yang terjadi kemarin. Seperti keinginan Raivan, Nayla akan menghabiskan waktu bersama mereka. “Nayla?” panggil Salsa sambil tersenyum, melihat Nayla di dapur bersama Bi Seri. “Pagi, Sa,” balas Nayla dengan senyum tipis. “Wangi sekali. Sarapan apa kita pagi ini?—aaa... mie goreng?” seru Salsa riang saat menoleh—lalu melihat Raivan turun dari tangga sambil berusaha memasang dasi sendiri, meski nihil, ia gagal. “Mas, aku boleh makan mie?” tanyanya antusias, mendekat Raivan. Raivan tersenyum seraya mengangguk. Nayla sudah memastikan sebelumnya bahwa Salsa diperbolehkan makan mie, asalkan tidak terlalu sering. Salsa berlonjak senang, mengecup pipi Raivan. Nayla sempat melirik, tanpa sengaja pandangannya bertemu dengan Raivan. Lelaki itu pun tidak ragu menarik Salsa mendekat dan mengecup kening istrinya. Cepat-cepat Nayla mengalihkan pandangannya. Darahnya berdesir melihat pemandangan itu. Salsa menawarkan diri untuk mengikat dasi Raivan, sementara lelaki itu sudah duduk di kursi makan—mendongak—merapikan rambut sang istri. Bukan Nayla tidak menyadari keintiman keduanya. Gejolak dalam hatinya semakin menyesakkan, tapi ia menahan diri untuk tetap bersikap biasa. “Biar Bibi bawa ya, Neng,” ujar Bi Seri sambil mengambil hasil olahan Nayla pagi ini. Sedikit banyak asisten rumah tangga Raivan itu tahu tindak tanduk majikannya dengan istri keduanya. Tanpa disuruh, Nayla ikut duduk di meja makan, duduk berhadapan langsung dengan Raivan. Tidak ada yang berubah dari sikap Raivan terhadap Nayla, bahkan tatapannya tetap sama seperti biasa. Salsa dengan riang mengambilkan makanan untuk Raivan, lalu untuk dirinya sendiri. Ia berseru senang menikmati masakan buatan Nayla. “Mas, enakkan masakan Nayla?” tanya Salsa dan Raivan mengangguk setuju. Di tengah-tengah sarapan, Nayla sempat meraih ponselnya untuk memastikan sesuatu. Namun, suara berat Raivan mengejutkannya. “Kamu berangkat denganku, Nay,” ujar Raivan tiba-tiba, membuat Nayla membeku. Nayla menoleh ke arah Salsa. Sahabatnya itu hanya mengangguk sambil tersenyum, seolah memberi restu. Usai sarapan, Salsa mendorong tubuh Raivan dari belakang menuju pintu. Melihat interaksi keduanya, Nayla memilih bersembunyi di balik dinding, enggan menyaksikan lebih jauh kemesraan itu. Benar saja, setiba di ambang pintu Raivan menangkup kedua pipi Salsa dan mengecup seluruh wajah istrinya. “Aku berangkat, Yang,” ucap Raivan lembut. Ia lalu menunduk, hingga wajahnya sejajar dengan perut Salsa. “Papa kerja dulu, ya, Sayang. Kamu baik-baik di rumah dengan Mama, ya,” katanya, suaranya terasa begitu menyesakkan di d**a Nayla. “Oke, Papa,” jawab Salsa riang. “Sebentar, aku panggil Nayla—” Belum sempat Salsa melangkah, Nayla sudah keluar dari persembunyiannya dengan senyum tipis. “Nah, ini Nayla. Kalian berdua hati-hati, ya,” seru Salsa ceria. Raivan masuk lebih dulu ke dalam mobil, disusul Nayla beberapa detik kemudian. Raivan langsung mendekat, membuat Nayla membeku—lelaki itu membantu memasangkan seatbelt untuknya. Nayla melempar asal pandangannya. Sialnya, saat itu Nayla sempat melirik ke arah Salsa yang masih berdiri di depan pintu rumah. Ia bisa melihat dan merasakan kesedihan yang jelas di mata sahabatnya itu. Hatinya kembali diremuk rasa bersalah atas keberadaannya di antara mereka. *** Entah sudah kali keberapa mereka berada berdua di mobil seperti ini, tapi sejak menikah, hanya keheningan yang selalu menemani sepanjang perjalanan. Mobil akhirnya terparkir sempurna di depan sekolah. Baru saja Nayla hendak mengulurkan tangannya untuk menyalami suaminya, Raivan sudah lebih dulu sibuk dengan ponselnya. "Siang nanti Fadlan yang jemput kamu. Langsung pulang. Kalau ada rencana mau keluar, kabari Salsa," ujar Raivan tanpa menoleh, matanya tetap terpaku pada layar ponsel. "Libatkan Fadlan setiap kali kamu akan pergi atau pulang dari suatu tempat." "Iya," jawab Nayla singkat. "Hati-hati di jalan." "Mm," balas Raivan tak kalah singkat. Nayla menghela napas kecil. "Oh, ya," ucap Nayla, ia lalu merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah kotak makan kecil. "Ini snack box. Untuk coffee break atau camilan siang." Baru saja Nayla hendak meletakkannya ke kursi belakang, Raivan menahan gerakan itu dengan satu tangan. "Untuk apa? Tidak perlu. Fadlan menyiapkan yang lebih baik dari ini." Nayla menahan desakan di dadanya. Ia tersenyum kecil, meski pahit. "Terima saja. Ini salah satu bentuk baktiku pada suami. Kalau tidak suka, jangan dibuang. Berikan saja pada yang lebih pantas menerimanya." Tanpa menunggu jawaban, Nayla turun dari mobil. Raivan tidak langsung pergi. Ia masih terdiam, memperhatikan langkah kecil Nayla. "Miss Nayla!" sapa seorang murid kecil. Raut wajah Nayla berubah drastis. Senyum lebar langsung menghiasi wajahnya, membuatnya tampak jauh lebih berseri. Dengan penuh kelembutan, Nayla berjongkok, mengusap lengan muridnya, menularkan senyum yang sama indahnya entah membicarakan apa. Setelah itu, Nayla berdiri dan menggenggam tangan kecil itu, mengayunkannya riang saat berjalan. Setiap sapaan yang datang, Nayla balas dengan lambaian tangan dan senyuman hangat. Raivan tersentak sadar. Terlalu lama ia membiarkan matanya menatap Nayla—senyum itu, tawa itu. Ia buru-buru menggeleng, seolah ingin membuang semua bayangan yang baru saja ia rekam. Dengan cepat, ia menginjak gas dan melajukan mobilnya pergi. Sesampainya di kantor, Raivan berjalan masuk tanpa banyak bicara—meletakkan snack box pemberian Nayla begitu saja di atas meja Fadlan. "Untuk saya, Pak?" tanya Fadlan heran. "Hmm," balas Raivan pendek, lalu melanjutkan langkahnya tanpa menoleh sedikit pun. *** "Siang, Mbak Nayla," sapa Fadlan sambil mengangkat paperbag di tangannya, memamerkannya pada Nayla yang langsung mengerutkan kening heran. "Siang. Apa itu?" tanyanya. "Buy one get one—toast smoke beef with extra cheese," jawab Fadlan sambil membukakan pintu mobil untuk Nayla. Nayla tersenyum kecil dan menggeleng pelan. Setelah memastikan Nayla masuk lebih dulu, Fadlan menyusul di belakang. "Satu untuk saya, satu lagi untuk Mbak Nayla," kata Fadlan, menyerahkan satu toast padanya. Senyum di wajah Nayla merekah. Ia menerima toast itu dan mengucapkan terima kasih. Fadlan menyarankan agar segera dimakan saja dan ia sendiri langsung melahap toast miliknya. Begitu paperbag kosong, Fadlan mengambil kotak snack dari kursi samping yang kosong dan memasukkannya perlahan ke dalam paperbag. Nayla sempat terdiam, melirik Fadlan. "Kamu bawa bekal, Fadlan?" tanyanya sambil kembali menikmati toast di tangannya. "Nggak, Mbak. Dikasih Pak Raivan salad buah," jawab Fadlan polos. Nayla mengunyah toast-nya dengan sedikit ragu, senyum getir perlahan merekah di sudut bibirnya. Malam harinya ... Raivan, Salsa, dan Nayla kembali makan malam bersama. Melihat Raivan sudah berada di rumah saat jam makan malam, Salsa begitu bahagia—sampai matanya berkilat gembira. Inilah yang Raivan upayakan yaitu kebahagiaan Salsa. Bukankah seorang ibu hamil harus bahagia, tanpa beban pikiran berlebihan? Nayla mengangkat pandangannya saat tangan Raivan terulur untuk menyuapi Salsa. Tapi begitu tatapan dirinya dengan Salsa bertemu, Nayla buru-buru menunduk lagi, pura-pura sibuk dengan piringnya. Salsa menggeleng halus, menolak perlakuan manja itu. Kalau pagi tadi ia berani membalas kemesraan suaminya, itu karena ada jarak—karena Nayla tidak ada di antara mereka. Tapi sekarang Nayla ada di hadapan mereka. Salsa tidak ingin membuat madunya merasa tak nyaman, hal itu terlihat jelas sekali di mata Nayla saat ini. Raivan, sebaliknya, sama sekali tidak menahan diri seperti biasanya. Kali ini, dia terlihat sedikit berbeda. Ia bicara santai, menceritakan kegiatan seharian, menanyakan kabar Salsa, sesekali menggoda sang istri, seolah tidak ada orang lain selain mereka berdua. Tidak ada satu pun pertanyaan, tidak ada satu pun lirikan untuk Nayla yang duduk di hadapannya. Sebelumnya, meja makan ini hanya diisi suara manja Salsa, tapi kini Raivan yang lebih mendominasi. Ia menyuap, mengusap kepala Salsa, mencubit pipinya, menarik dan mengecup punggung tangannya. Semua dilakukan terang-terangan tanpa merasa canggung atau bersalah. Salsa mulai merasa tidak enak hati. Sadar betul betapa sikap Raivan—yang hanya mengajak dirinya berbicara, bercanda, dan tertawa—seakan mengabaikan Nayla sepenuhnya. Salsa bahkan sempat beberapa kali melirik Nayla, berharap Raivan memahami kode, tapi lelaki itu tampak acuh. Meski ada, Nayla tidak lebih dari sekedar bayangan. Ah, iya, Nayla ingat bahwa kehadirannya di rumah ini tak lebih dari sekadar pajangan di sudut ruangan 'kan? Deringan dari ponsel Nayla memecahkan kehangatan pasangan di hadapannya, membuat Raivan dan Salsa kompak menoleh. Gugup, Nayla buru-buru mengecilkan volume ponselnya. Padahal ia sudah sempat melirik nama yang tertera di layar, tapi ia memilih mengabaikannya karena tatapan sinis Raivan. “Kenapa tidak diangkat, Nay?” tanya Salsa. “Nggak apa-apa, Sa. Aku habiskan makan malamku dulu, nanti aku bisa telepon balik,” jawab Nayla, memaksakan senyum kecil. “Memangnya siapa?” tanya Salsa, penasaran, mewakili rasa penasaran lelaki di sampingnya. “Rekan mengajar di panti.” Mendengar jawaban Nayla, Raivan sekilas mengernyit. Otaknya langsung bekerja, berpikir keras. Sepertinya dia tidak tahu banyak soal panti belakangan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD