“Ada yang salah dengan penampilanku?” tanya Nayla akhirnya, setelah beberapa kali mendapati Raivan menatapnya. Ini adalah puncak dari rasa tidak nyamannya. Salsa sedang menjauh—berkutat di dapur. Nayla memanfaatkan momen itu untuk menyuarakan kegusarannya.
Nihil, Raivan tidak menjawab. Tatapannya menjeling sinis–kembali menikmati sarapannya, membuat Nayla keheranan. Sudah beberapa hari ini mereka rutin sarapan dan makan malam bersama. Semua tampak berusaha konsisten. Tapi pagi ini ....
“Hari ini, setelah mengajar di sekolah, aku lanjut mengajar ke panti. Mungkin pulangnya agak malam—”
“Jam tujuh sudah di rumah,” potong Raivan, nada suaranya ketus.
“Biasanya aku sekalian makan malam di sana—”
“Apa kalimatku tidak cukup jelas?” Raivan mengangkat pandangannya, dingin. Nayla langsung membungkam bibirnya, lalu mengangguk pelan.
Ketegangan kecil itu buyar seketika saat Salsa kembali ke meja makan.
“Nah, saladnya sudah jadi,” ujarnya ceria sambil duduk di samping Raivan. “Salad sayur buat snack time,” lanjutnya, memamerkan senyum manisnya. “Mas harus makan sayur. Ini enak, lho. Emang sih nggak seenak masakannya Nayla, tapi masih layak dimakan kok,” canda Salsa sambil terkekeh sendiri.
“Apapun buatan kamu pasti aku makan, Sayang,” balas Raivan, membuat Salsa tersenyum senang. Tapi senyum itu segera memudar saat matanya menangkap Nayla yang tengah menunduk.
“Nay, mau kubawain salad juga?”
Nayla menggeleng lembut. “Nggak usah, Sa. Terima kasih.”
Tatapan Raivan seketika berubah—tidak bersahabat, seolah keberatan dengan penolakan Nayla.
“Okay,” balas Salsa dengan nada ceria.
Seperti hari-hari sebelumnya, Nayla berangkat mengajar diantar oleh Raivan. Seperti biasa pula, dia menunggu hingga pasangan itu keluar lebih dulu, demi tidak mengusik kemesraan mereka.
“Mas, udah service mobil belum? Seatbelt-nya suka nyangkut ‘kan?” tanya Salsa saat Raivan hendak pamit.
“Belum. Weekend ini, ya. Temani aku,” jawab Raivan.
Salsa hanya mengangguk, meski ragu.
“Cium, Sayang,” pinta Raivan.
“Mas! Sstt…! Ih.” Salsa menggeleng, terkekeh geli, saat Raivan mencuri kecupan di bibirnya.
“I love you,” bisik Raivan, mengecup kening Salsa.
Ada gejolak dalam dadaa Nayla saat mendengar kalimat itu diucapkan dengan nada yang lembut, tapi ia berusaha tegar.
Nayla menyusul kemudian saat Raivan sudah menunggu di depan mobil. Tanpa berkata apa-apa, begitu masuk ke dalam mobil, Raivan menarik seatbelt untuk Nayla. Gerakan kecil yang seharusnya biasa, tapi cukup membuat jantung Nayla berdegup tak menentu, hampir setiap hari.
“Ke panti sama Fadlan,” ujar Raivan, saat mobilnya terparkir di halaman sekolah, memecah sunyi. “Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Malam tetap makan di rumah. Nanti aku yang bilang ke Bunda kalau kamu segan menolak.”
“Nggak perlu. Aku bisa bilang sendiri ke Bunda,” potong Nayla cepat.
Raivan meliriknya sekilas. Tidak menanggapi lagi.
Mobil yang dikendarai Raivan sudah menjauh. Tadi, lelaki itu sempat mempersilakan Nayla masuk lebih dulu, tapi Nayla menolak—mempersilakan Raivan pergi lebih dulu. Lama menatap mobil yang kian menjauh itu, hati Nayla sudah merindu.
Ia buru-buru menggeleng. Perasaan apa ini? Sekalipun sudah bersama, tapi Nayla tetap tidak bisa memiliki Raivan. Fungsinya dalam pernikahan ini apa? Entah apa, sebanyak apa Nayla berpikir, dia tidak menemukan jawabannya.
Raivan memang lebih banyak bicara akhir-akhir ini. Namun semuanya berbentuk titah yang tak bisa dibantah.
***
Sore harinya
“Sayang sekali Bunda nggak makan malam bareng Derin,” rajuk Derin, bocah manja berusia empat tahun yang begitu lengket pada Nayla.
“Malam Minggu nanti, ya. Bunda masakin ayam goreng kesukaan Derin,” bujuk Nayla lembut. Anak itu berada dalam gendongan Tsabit, tampak enggan berpisah. “Malam ini makan sama Om Tsabit dulu, ya?”
Derin memajukan bibirnya, ekspresi kecewa itu sukses membuat Nayla merasa bersalah.
“Malam ini boleh, deh, makan burger sama kentang goreng?” tawar Nayla akhirnya. Mata Derin langsung membulat, berbinar.
“Benar, Bunda?” tanyanya penuh harap. Nayla sempat ragu, menyesal telah mengiyakan sesuatu yang biasanya dia batasi.
“Malam ini aja, ya. Setelah makan nasi,” katanya cepat, sambil merogoh dompet dari dalam tas. Tapi Tsabit menahan pergelangan tangannya.
“Biar aku saja yang belikan nanti.”
“Eh, jangan, Mas—”
Saat kembali menolak, tangan mereka bersentuhan. Tsabit menggeleng, seolah menyuruh Nayla percaya dan mengikuti saja kata-katanya.
“Ehem!”
Suara deheman dari belakang membuat mereka sama-sama menoleh. Nayla mengernyit. Bukan Fadlan seperti yang ia duga, melainkan Raivan yang kini berdiri beberapa langkah dari mereka.
“Sudah siap? Ayo pulang,” ucapnya singkat. Nada datar tapi cukup penuh tekanan. Nayla terpaku, tidak menyangka lelaki itu akan datang sendiri hanya untuk menjemputnya. “Nay,” panggil Raivan lagi, membuatnya tersentak.
“I—Iya, Mas.”
Nayla menoleh pada Tsabit, memastikan benar lelaki itu tidak keberatan membeku makanan tambahan untuk anak-anak panti. Tsabit hanya mengangguk pelan, menyanggupi.
“Bunda pulang dulu, ya. Derin yang baik, ya, sama Om Tsabit.” Mata Nayla menyipit lalu Derin mengangkat satu tangan, memberi hormat ala tentara. Tsabit menahan senyum melihatnya, sementara Raivan memalingkan wajah ke arah lain, jengah.
“Sampai ketemu besok, Bunda,” seru Derin sambil merentangkan tangan. Nayla langsung masuk ke dalam pelukan kecil itu.
Bisa bayangkan sedekat apa jarak Nayla dan Tsabit saat itu—karena anak kecil itu masih berada dalam gendongan Tsabit.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Rahang Raivan menegang. Meski pelukan itu telah usai. Nayla melangkah menjauh dan melambaikan tangan, sedangkan Raivan telah melangkah lebih dulu menuju mobil.
“Aku pamit dulu, Mas,” ucapnya.
Di dalam mobil, Nayla membuka percakapan.
“Fadlan ke mana?” tanyanya, saat Raivan sedang memasangkan seatbelt untuknya, tapi nihil. Hening. Tidak ada jawaban. Nayla pun memilih diam setelah itu, membiarkan sunyi mengisi sisa perjalanan.
Mobil berhenti di halaman rumah. Tanpa sepatah kata, mereka masuk. Salsa sudah menunggu di ruang makan, menatap meja yang telah ia siapkan.
“Hi, sudah pada pulang?”
Raivan langsung menghampiri dan memeluk istrinya.
“I’m home,” ucapnya ceria, mengecup puncak kepala dan kening Salsa. Gerakan manis yang sederhana, tapi cukup untuk membuat d**a Nayla terasa sesak. Ia segera berlalu, masuk ke kamarnya tanpa berkata apa-apa.
Raivan melirik sekilas ke arah punggung Nayla yang menjauh, lalu menyeringai tipis sesaat sebelum pintu kamar itu tertutup.
***
“Mas beneran aku boleh ikutan?” tanya Nayla melalui sambungan telepon.
“Boleeehh… aku kirim link form-nya kamu isi untuk webminar-nya,” ujar Tsabit dari seberang telepon.
“Aduh, jalur orang dalam ini sih namanya. But, thank you ya, Mas.”
Obrolan mereka diakhiri oleh Nayla, mengingat malam semakin larut dan tak ada lagi yang perlu dibahas.
Ia bergegas keluar untuk mengambil minum. Namun, saat hendak kembali ke kamar, langkahnya terhenti. Matanya tertuju pada dua kotak dan beberapa barang yang berserakan di atas meja ruang tengah.
Pandangan Nayla jatuh pada sebuah selimut rajut yang menjuntai ke lantai.
Ia mendekat– tersenyum tipis saat menyentuhnya, jari-jarinya mengusap lembut tulisan di ujung selimut itu ‘RaivaN’.
“Jangan sentuh itu!”