Bab 13 : Tidak Peduli

1518 Words
Nayla menatap selimut rajut di tangannya, senyum tipis merekah di wajahnya. Matanya menyapu isi kotak lainnya—gantungan kunci dari manik-manik, beberapa barang couple, dan kenangan yang tiba-tiba menyeruak. Tangannya terulur, meraih beberapa barang yang menarik perhatiannya. Tak menyangka masih bisa melihat semua ini. Suara Raivan memecah lamunannya—melarangnya menyentuhnya. Lelaki itu mengulurkan tangan, meminta selimut yang sedang Nayla pegang. Nayla menatap Raivan—terpaku, begitu juga Raivan. Sesaat kemudian, lelaki itu mengangkat alis, menyadarkannya. Nayla buru-buru menyerahkan selimut itu. “Kenapa belum tidur?” tanya Raivan, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. “Mau ambil minum,” jawab Nayla, singkat. “Bukan habis sleepcall?” sindir Raivan, acuh memasukkan kembali semua barang ke dalam kotak. Entah kenapa nada bicara Raivan seperti orang yang sedang cemburu, penuh sindiran. Tapi Nayla suka. “Nggak bisa jawab kamu ‘kan?” “Aku mau ikut pelatihan pengajar anak usia dini—” “Kalau keluar kota, nggak boleh.” Raivan langsung memotong, nadanya tegas. “Dengar dulu, boleh?” tanya Nayla. Raivan mengangguk kecil, memberi isyarat dengan anggukan kepala—meminta Nayla duduk—kemudian dia menyusul duduk di sofa yang sama, meski tetap menjaga jarak. Pelatihan berlangsung selama seminggu di salah satu hotel di kota Bandung. Nayla menyebutkan waktu dan nama hotelnya—menjelas sedikit seputar kegiatan pelatihan nanti, sementara yang diajak bicara menatapnya tajam. “Ngapain aja tiga sampai enam jam?” tanya Raivan curiga. “Ya pelatihan, pembinaan,” jawab Nayla. Bicara berdua seperti ini anehnya terasa menyenangkan, meski lawan bicaranya judes bukan main. “Beri tahu Fadlan.” Nayla mengangguk dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. “Dan … Kamis sampai Minggu-nya, aku tetap mengajar di panti—” “Nay ….” Suara Raivan terdengar seperti protes. Tapi Nayla justru senang mendengarnya. “Aku tetap makan malam di rumah. Tapi—” “Masuk kamarmu,” potong Raivan, nada perintahnya tegas. “Dengar dulu, boleh?” “Masuk!” Raivan mengulang, tidak ingin dibantah. Nayla bangkit dengan bibir manyun, tapi tetap menurut. Langkahnya pelan menuju kamar. Raivan menoleh, memutar kepalanya untuk memastikan Nayla masuk. *** “Malam Minggu ini aku sudah janji makan malam bareng Derin,” ucap Nayla pelan, mencoba membujuk Raivan. Saat itu, mereka sedang dalam perjalanan menuju sekolah tempat Nayla mengajar. “Semua pengajar?” tanya Raivan tanpa menoleh, matanya tetap fokus pada jalan. “Mana ada pengajar lain,” jawab Nayla sambil berpikir sejenak. Jawabannya membuat Raivan melirik sekilas, terdengar ambigu, membuatnya tampak tidak puas dengan jawaban Nayla. “Sudah sampai. Terima kasih, ya,” ujar Nayla cepat, lalu turun dari mobil. Baik Nayla maupun Raivan sama-sama merasa tidak puas dengan percakapan barusan. Nayla belum tahu apakah ia diizinkan atau tidak, sementara Raivan masih belum yakin siapa saja yang akan ikut makan malam di panti asuhan. Siang harinya, saat Fadlan datang menjemput, Nayla sempat bertanya apakah ada pesan dari Raivan untuknya. Fadlan mengernyit seraya menggeleng, tampak bingung. Pasalnya atasannya tidak pernah membicarakan istri keduanya. *** Karena rasa penasarannya, malam hari usai makan malam—saat Raivan berada di lantai dua, Nayla menyusul naik dengan langkah ragu. Dia harus mendapat jawaban malam ini juga karena besok sudah jadwal rencana makan bersama Derin. Salah Nayla sendiri sudah berjanji lebih dulu padahal belum meminta izin. Ia mengetuk pintu pelan, tapi tidak ada sahutan. Saat hendak berbalik, suara samar terdengar dari dalam. Dorongan ingin tahu membuat Nayla memutar kenop pintu dan melangkah masuk. Pintu menutup otomatis di belakangnya, membuat Nayla terkejut. Ia refleks menoleh, lalu kembali membalikkan badan saat mendengar suara berat Raivan. “Ngapain ke sini?” suara itu terdengar datar. Nayla membeku di tempat. Kakinya berat melangkah dan lidahnya kelu untuk bersuara. Dia terhipnotis oleh Raivan saat ini. Bagaimana tidak, ia sedang menatap tubuh atletis itu. Bagian bawah tubuh Raivan hanya berbalut handuk melingkar di pinggangnya. Rambutnya yang basah dan bulir sisa air masih membasahi tubuhnya. Raivan melangkah mendekat, membuat Nayla tersadar dan mengerjap. d**a bidang lelaki itu kini tepat di depan wajahnya. Aroma sabun menyeruak membuatnya gugup. Nayla mundur pelan—saat Raivan maju—sampai akhirnya terduduk di tepi ranjang. “Kenapa kamu masuk ke sini?” ulang Raivan. “Mau... mau tanya, apa besok aku diizinkan makan malam di panti?” jawab Nayla terbata. Raivan menyilangkan tangan di depan d**a. Tatapannya tajam membuat Nayla tak berani menatap balik. “Pergi saja. Apa peduliku?” Nayla mengangkat pandangan sejenak, lalu cepat-cepat mengalihkan mata ke arah lain. “Ka-kalau begitu, aku permisi,” katanya lirih, saat bangkit dari tempat duduk. Raivan melangkah mendekat, menghadang langkahnya. Nayla merutuki dirinya yang lancang karena tergoda oleh pemandangan di hadapannya. “Permisi,” katanya lagi, tapi Raivan tidak bergeming. “Raivan,” protes Nayla, terpaksa menyentuh d**a bidang itu, mendorong tubuh Raivan agar sedikit menjauh. Nayla tersentak saat lelaki itu menahan tangannya membuat pandangan Nayla terangkat. Nayla refleks memejamkan matanya saat Raivan mendekat ke arah telinganya. “Nay, aku tidak pernah peduli padamu,” katanya, berbisik di dekat telinga Nayla. Napas Nayla tercekat. Dadanya terasa sesak. Ia langsung melangkah keluar—menarik paksa tangannya dari genggaman Raivan—meninggalkan Raivan yang masih berdiri diam menatap punggungnya. Raivan hanya mengungkapkan apa yang dia rasakan. Dia tidak mungkin semudah itu menerima orang lain selain Salsa ‘kan? Pikirnya. Sesampainya di luar kamar, Nayla berdiri sejenak, merapikan penampilan. Tangannya menyentuh d**a, seolah ingin menenangkan detak jantung yang masih berdegup kencang. Sakit. Raivan terlalu jujur dengan perasaannya. Setiap katanya selalu sukses menambah luka di hati Nayla. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tanpa ia sadari, dari lantai bawah, Salsa melihatnya keluar dari kamar utama. Ia terperangah –tanpa berkata apa-apa, Salsa segera pergi. Kamu kuat, Sa. Kamu bisa, batinnya. Keesokan harinya Nayla membalas lambaian tangan Fadlan yang menjemputnya siang itu. “Kita langsung ke panti, Mbak?” tanya Fadlan dan Nayla mengangguk. “Tapi mampir ke supermarket dulu, ya. Malam ini mau makan malam di panti. Kamu ikut aja, yuk!” ajaknya. “Sebenarnya mau, tapi saya masih ada kerjaan. Besok pagi Pak Raivan ada jadwal golf dengan klien, saya harus menyiapkan beberapa materi yang akan dibahas saat pertemuan.” Nayla mengangguk memahami, lalu mereka meluncur ke supermarket. Fadlan menawarkan diri untuk ikut masuk dan membantu, tentu saja Nayla tidak keberatan. Saat keduanya sedang asyik memilih belanjaan, suara seseorang menyapa—mengejutkan Nayla. “Mas Tsabit?” “Ketemu di sini, Nay. Jangan bilang ini belanjaan buat makan malam nanti?” “Cenayang, ya?” balas Nayla sambil tertawa. Keduanya tertawa ringan. Nayla kemudian memperkenalkan Fadlan sebagai saudaranya—membuat ekspresi Fadlan sempat berubah, seolah tidak terima. Lelaki di hadapannya ini seharusnya tahu kalau dirinya asisten dari suami Nayla, pikirnya. Tsabit mengulurkan tangan, berjabat dengan Fadlan, lalu kembali berusaha mencuri perhatian Nayla. Ia mengatakan bahwa dirinya juga akan ke panti setelah membeli makanan untuk dibawa ke sana dan menawarkan diri untuk menemani Nayla. Awalnya Nayla menolak, tapi Tsabit bersikeras dengan caranya, membuat Fadlan hanya tersenyum tipis. Fadlan membiarkan mereka pergi lebih dulu, lalu secara diam-diam memotret kebersamaan mereka dan mengirimnya kepada atasannya. Raivan yang menerima foto itu hanya menyeringai, tidak peduli. Seperti apa yang dia sampaikan pada Nayla. Dia tidak peduli dengan wanita itu. Bukankah lebih baik jika Nayla benar-benar menemukan pria lain dan akhirnya mundur dari pernikahan ini? Raivan meletakkan ponsel, lalu mengangkatnya kembali—menelepon Salsa. Baru dering pertama, panggilan sudah tersambung. “Mas?” “Sayang, kangen,” ujar Raivan, membuat Salsa terkekeh. “Sayang, malam ini kita makan di luar, mau?” “Eh… Nayla?” “Kamu siap-siap aja, nanti aku jemput. Oke?” Salsa setuju dengan semangat setelah Raivan menyebutkan tempat tujuan mereka malam nanti. Raivan pun menghela napas lega. *** “Om Tsabit… sini duduk di samping Bunda,” panggil Derin, melihat Tsabit yang masih sibuk membantu anak-anak lain mengambil makanan dan minuman di meja prasmanan. Tsabit pun akhirnya mendekat, membawa dua gelas minuman untuk Nayla dan Derin. Ia duduk tak terlalu jauh—dengan Derin berada di antara mereka. Kebersamaan mereka bak bingkai keluarga kecil yang hangat. Tanpa mereka sadari, seseorang sedang menatap tajam ke arah mereka. “Halo…,” sapa Salsa dengan ceria. Semua menoleh ke arah suara itu dan langsung bersorak membalasnya. “Tante Salsaaa!” “Stop! Tetap di tempat,” ujar Salsa memberi peringatan. “Makan dulu, ya. Tante Salsa bawain dessert, nanti dimakan setelah nasinya habis.” Anak-anak pun mengangguk patuh. Nayla melambaikan tangan, memanggil Salsa yang langsung mendekat. Salsa sempat menoleh ke arah Raivan, mengajaknya ikut duduk, tapi lelaki itu hanya menggeleng dan mempersilakan Salsa duduk di dekat Nayla. Dari kejauhan, Raivan berdiri diam menatap wanita yang ‘katanya’ tak ia pedulikan. Namun langkahnya tetap membawanya ke tempat ini. Tak lama, Bunda datang membawa potongan buah. Ekspresinya terkejut sekaligus senang melihat menantunya yang menyusul datang, keduanya terlibat percakapan seru. Nayla melihat Raivan berdiri di kejauhan sendiri. Untuk itu, dia mendekati lelaki itu. “Van, mau aku ambilkan makan—” Kalimat itu terhenti saat Raivan tiba-tiba mendekat, menunduk sedikit agar wajahnya sejajar dengan Nayla. “Aku ke sini bukan untuk menemuimu,” katanya pelan tapi penuh penekanan, “tapi untuk mengantar Salsa. Aku hanya ingin melihat senyumnya malam ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD