“Om Raivan juga suka sop buah?” tanya Derin, melihat Raivan menyantap sop buah buatan Bunda Zara.
“Suka, dong. Om suka buah-buahan,” balas Raivan.
Percayalah, Raivan adalah pribadi yang supel, easy going, dan lembut. Tutur katanya hampir selalu sopan dan santun kepada siapa pun. Namun, kekecewaannya atas keputusan Nayla—yang kini menjadi madu pahit dalam rumah tangganya—membuatnya sulit menatap Nayla seperti dulu.
“Bunda Nayla juga suka buah-buahan. Sama, ya,” goda Derin, membuat keduanya melirik saling beradu pandang.
Salsa yang berada sedikit lebih jauh, ikut menoleh saat mendengar celetukan Derin.
“Kalau Derin suka buah-buahan juga, nggak?” tanya Nayla sambil mencubit gemas pipi bocah kecil yang duduk di pangkuan Tsabit—di sampingnya.
“Suka dong, sama kayak Bunda,” jawab Derin riang sambil merentangkan tangan—meminta Nayla masuk ke dalam pelukannya.
Baru saja Nayla hendak menyambut pelukan itu, ia tersentak dan menoleh saat lengannya tiba-tiba ditahan oleh Raivan.
“Ini terlalu banyak. Aku nggak habis, kamu saja yang habiskan,” ucap Raivan datar sambil menyerahkan gelas miliknya yang berisi sisa potongan buah. Nayla menatapnya bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba ini.
Raivan lantas malah meraih sepotong bolu dan melahapnya tanpa rasa bersalah. Tindak-tanduknya terpantau jelas oleh Salsa, meski pria itu tak menyadarinya.
Sementara yang lain asik bermain dan bersenda gurau, Nayla menyempatkan diri memeriksa ponselnya.
“Nanti pulang dengan aku dan Salsa,” ujar Raivan tiba-tiba. Kalimat itu membuat Nayla mengangkat wajahnya dan mengangguk pelan, tak membantah.
Baru saja Raivan selesai berbicara, Tsabit datang membawa sebotol air mineral dan menyodorkannya pada Nayla.
“Kamu dari tadi kebanyakan minum yang manis. Aku perhatikan belum banyak minum air putih,” ucapnya dengan nada lembut, Nayla membeku sesaat lalu menerima pemberian Tsabit. Ada rasa terharu karena diperhatikan, juga bersalah. Ya pada Tsabit, ya pada Raivan, yang pasti mendengar kalimat Tsabit.
“Terima kasih, ya, Mas,” jawab Nayla lirih.
Tsabit sempat menawarkan agar Nayla pulang bersamanya, tapi Nayla langsung menolak dengan halus. Percakapan singkat itu tak luput dari perhatian Raivan, yang sejak tadi memperhatikan dalam diam.
Hingga kini, Tsabit belum tahu bahwa Nayla sudah menikah dan istri kedua dari lelaki yang diam-diam sedang menguping di dekat mereka.
Hari sudah semakin malam, waktunya berpisah. Raivan berjalan menuju mobil, membukakan pintu untuk Salsa yang langsung duduk di kursi depan, di samping kemudi. Tanpa menoleh pada Nayla, ia masuk ke sisi pengemudi dan menyalakan mesin.
Tindak tanduk ketiganya menarik perhatian Tsabit dari kejauhan.
“Seru banget, ya, tadi,” ujar Salsa memecah kesunyian di dalam mobil.
Raivan menoleh dan mengusap lembut puncak kepala istrinya yang dicintai.
“Happy, Sayang?” tanyanya dengan senyum hangat.
Salsa mengangguk pelan. Tak bisa dipungkiri, dari sudut matanya, Raivan menangkap pandangan Nayla yang sedang menatapnya dalam diam.
“Aku boleh tidur sebentar, nggak? Badanku rasanya capek banget,” ujar Salsa lelah.
“Tentu, Sayang,” jawab Raivan lembut.
Suasana kembali hening. Hanya lantunan musik pelan yang mengalun menemani perjalanan. Tapi bagi Nayla perjalanan ini terlalu panjang dan berat. Waktu seakan berjalan lambat sampai akhirnya mobil berhenti sempurna di halaman rumah.
Raivan menoleh, membangunkan Salsa. “Sayang...,” panggilnya, lembut. Namun wanita itu tetap terlelap. Nayla yang hendak membuka pintu belakang pun menoleh dan pandangan mereka saling bertaut sejenak karena Salsa tidak merespon dalam beberapa kali panggilan.
“Sayang,” ulang Raivan, kali ini sambil mengusap pipi Salsa.
Salsa tersentak, membuka mata perlahan dan tersenyum samar. “Sudah sampai, Mas?”
Belum sempat Raivan menjawab, ia mendapati darah mengalir dari hidung Salsa.
“Sayang,” panggilnya lagi, panik, sambil meraih tisu dan mengelap darah dari wajah istrinya.
Salsa tampak terkejut, tak menyangka dirinya mimisan. Nayla segera turun lebih dulu, membuka pintu sisi depan. Ia menegakkan posisi duduk sahabatnya, lalu sedikit mencondongkan tubuh Salsa ke depan, menarik tangan Salsa agar menekan bagian atas hidungnya. Gerakannya cekatan, penuh ketenangan. Salsa menurut tanpa banyak bicara. Ini bukan kali pertama mereka menghadapi situasi semacam ini.
“Aku baik-baik saja,” ujar Salsa, berusaha tersenyum, menatap Raivan dan Nayla bergantian.
“Tunggu sepuluh sampai lima belas menit. Setelah itu lebih baik bawa Salsa beristirahat, Van,” ujar Nayla lirih sebelum menutup pintu mobil, usai menurunkan jendela.
Lirikan mata Raivan mengikuti kepergian Nayla hingga benar-benar menghilang dari pandangan. Ia lalu berpaling menatap Salsa yang sedang menatapnya—mengangguk pelan, seolah meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.
Setelah itu, saat rumah sudah lebih tenang, Nayla keluar kamar untuk mengambil minum. Matanya melirik ke arah pintu kamar Salsa yang tertutup rapat. Sejak mereka pulang tadi, tak satu pun dari pasangan itu keluar kamar. Biasanya, Raivan lanjut bekerja ke lantai dua. Tapi kali ini tidak. Raivan memeluk Salsa sejak tadi, seolah enggan melepaskannya.
Seketika, rasa takut menyusup ke dalam dadaanya.
“Mas...,” panggil Salsa pelan, karena Raivan tak juga melepaskan pelukannya.
“Jangan minta aku melepaskanmu, Yang. Aku ingin terus memelukmu,” bisiknya.
Air mata Salsa jatuh begitu saja. Berkali-kali ia mencoba meyakinkan Raivan bahwa dirinya baik-baik saja.
“Besok aku cuti. Aku temani kamu di rumah,” ucap Raivan mantap.
Salsa hanya mengangguk. Tak ada lagi kata-kata yang bisa ia ucapkan karena Raivan tetap saja khawatir.
Pagi harinya, Raivan sama sekali tak mengizinkan Salsa keluar kamar. Ia membawa sarapan mereka ke kamar, bahkan menyuapi istrinya dengan penuh perhatian. Mereka berdua tetap berada di dalam kamar, seolah tak ingin siapa pun mengganggu waktu mereka.
Hal itu membuat Nayla ragu—haruskah ia mengetuk pintu untuk pamit? Ia tidak tahu kalau Raivan memutuskan cuti hari ini. Biasanya, mereka selalu berangkat bersama.
Tepat ketika tangannya terangkat untuk mengetuk, pintu kamar terbuka lebih dulu. Raivan keluar. Dengan cepat ia menutup pintu di belakangnya dan melangkah maju, sementara Nayla mundur setapak demi setapak.
“Mulai sekarang, Fadlan yang akan menjemput dan mengantar kamu,” ucap Raivan datar.
Nayla langsung mengangguk. Tak ada protes.
“Sepertinya... aku terlalu bermurah hati padamu belakangan ini,” lanjut Raivan sebelum melangkah pergi, meninggalkan Nayla yang terpaku dalam kebingungan.
***
Raivan menjauh dari Nayla. Ia sadar, dirinya sempat terlalu memperhatikan wanita itu—hingga, tanpa disadari, mengabaikan Salsa. Bahkan, saking memikirkan Nayla, ia sempat menjadikan Salsa sebagai alibi. Sengaja ingin menunjukkan pada Nayla bahwa ia hanya milik Salsa, tanpa memikirkan perasaan Nayla.
Kondisi Salsa terus menurun hingga disarankan untuk beristirahat total. Sejak saat itu, suasana rumah menjadi muram dan suram.
Jangan tanya bagaimana dengan Nayla. Dia tentu saja semakin tersisihkan. Tapi Nayla tidak pernah melupakan perannya sebagai seorang istri. Ia tetap memenuhi segala kebutuhan Raivan—kali ini, secara terang-terangan. Ia menyiapkan pakaian kerja, makanan, bahkan semua keperluan Raivan setiap hari.
Dan Raivan, ia tidak memprotes. Ia tidak punya waktu, tenaga untuk melakukannya. Kesibukannya mengurus perusahaan dan merawat Salsa telah menyita segalanya.
“Mulai besok Mbak pelatihannya, ya?” tanya Fadlan pagi itu saat mengantar Nayla.
“Iya,” jawab Nayla singkat.
Fadlan terlihat ragu. Ia mengatakan belum mendapat arahan apa pun dari Raivan soal jadwal pelatihan Nayla. Mengingat waktu antar dan jemput yang sudah masuk jam kerjanya di kantor, Fadlan merasa perlu membicarakan hal itu lebih dulu dengan atasannya. Biasanya Nayla berangkat pagi sekali, pulangnya menjelang makan siang.
“Mungkin Raivan lupa. Tapi nggak apa-apa kalau kamu nggak bisa, aku bisa berangkat dan pulang sendiri kok. Dulu juga begitu,” ujar Nayla ringan.
“Bukan begitu maksud saya, Mbak,” jawab Fadlan cepat. “Sekarang Mbak Nayla istri dari Pak Raivan dan saya bekerja untuk beliau. Jadi saya harus memastikan dulu.”
Nayla mengangguk paham.
Malam harinya, Raivan mengetuk pintu kamar Nayla. Ia memintanya keluar untuk bicara. Keduanya duduk di ruang tengah dalam suasana yang hening dan canggung.
“Aku sudah bicara dengan Fadlan. Selama masa pelatihanmu, dia tidak bisa mengantar dan menjemput,” ucap Raivan akhirnya. “Tuntutan pekerjaan sedang padat. Aku juga tak bisa menggantikannya.”
“Tidak masalah,” jawab Nayla tenang. “Jauh sebelum menikah denganmu, aku sudah terbiasa sendiri.” Ucapan itu membuat Raivan terdiam. Kalimat Nayla sederhana, tapi terasa menghantamnya. “Kalau nggak ada hal lain yang mau dibicarakan, aku mau istirahat,” lanjut Nayla sambil bangkit dari duduknya, meninggalkan Raivan yang masih terpaku di tempat.
‘Nayla juga tanggung jawab kamu, Mas.’
Kalimat Salsa hari itu selalu menghantui Raivan.