Bab 15 : Amarah yang Memuncak

1555 Words
“Bagaimana harimu, Nay?” tanya Tsabit saat mereka menikmati makan siang bersama di meja yang disediakan untuk para peserta pelatihan. “Empat hari ini luar biasa. Banyak sekali ilmu yang aku dapat,” jawab Nayla antusias. “Syukurlah,” balas Tsabit sembari tersenyum, menelisik wajah Nayla. “Pulang bareng aku, Nay?” Nayla menolak dengan halus. Ia tidak senaif itu. Katakanlah Nayla percaya diri, tapi ia bisa merasakan ada ketidaksukaan di wajah Raivan setiap kali melihatnya bersama Tsabit. Namun, ia juga tidak bisa serta-merta menjauh, karena hubungannya dengan Tsabit sangat positif. Semua obrolan mereka seputar pengembangan diri. Itu sebabnya Nayla senang berbincang dengannya. “Enggak usah, Mas. Aku naik taksi online saja.” “Kamu selalu menolak tawaranku, padahal kita satu tujuan,” ujar Tsabit. “Memang enggak perlu, Mas. Habis ini aku ada janjian dulu sama temanku sebelum ke panti,” alasan Nayla. Tsabit mengangguk mengerti. *** Empat hari tanpa melihat Nayla, Raivan terus memikirkannya. Ia benar-benar tidak melihat wajah wanita itu. Setiap pagi Nayla sudah pergi sebelum matahari terbit. Dan saat Raivan pulang larut malam, Nayla sudah berada di kamarnya, tidak keluar sama sekali. Tidak ada lagi sarapan bersama atau makan malam di meja yang sama seperti biasanya. Nayla seperti sengaja menghindar dari Raivan. Pasalnya, Nayla tetap punya waktu untuk Salsa. Hampir setiap hari, Salsa selalu bercerita tentang aktivitasnya bersama Nayla pada Raivan—dari memasak bersama, menonton film, hingga jalan-jalan sore. Hari itu, pukul lima sore, Raivan baru saja menutup laptopnya. Langit di luar jendela sudah menggelap, awan hitam menggantung pekat, tanda hujan akan segera turun. Ia menghela napas panjang dan mengambil ponsel. Ia menelepon wanita kesayangannya. “Mas?” sapa Salsa. “Sayang, bagaimana harimu?” tanya Raivan pelan. “Aku seharian di kamar, Mas. Gambar-gambar aja,” jawab Salsa. Raivan mengernyit. Biasanya, Salsa akan bercerita panjang lebar tentang kebersamaannya dengan Nayla. Namun, kali ini tidak ada cerita apa pun. “Nayla?” Raivan tanpa sadar menyebut nama itu. Bibir bawahnya tergigit pelan setelah sadar telah mengucapkan nama itu. Salsa terdiam sejenak sebelum menjawab pelan, “Hari ini jadwal Nayla mengajar di panti, Mas.” Raivan mengangguk kecil, meski tidak terlihat. Ia memijat pelipisnya. Entah kenapa, mendengar Nayla berada di panti membuatnya tidak tenang. Obrolan itu pun segera ia akhiri. Bukan karena bosan, tapi karena pikirannya mulai kacau. Ia kembali duduk di depan meja kerjanya, mencoba menyibukkan diri, meski fokusnya entah ke mana. “Nayla juga tanggung jawab kamu, Mas.” Lagi-lagi kalimat itu yang terngiang. Sampai akhirnya Raivan menganggap dirinya belakangan ini kepikiran Nayla karena rasa tanggung jawabnya. *** “Makan malam di sini, nggak?” tanya Bunda Zara, sementara Tsabit ikut menanti jawaban Nayla. “Enggak, Bunda. Nayla mau langsung pulang aja,” jawab Nayla dengan senyum tipis. “Sayang sekali, masakan Bunda hari ini enak banget, lho. Aku udah cicip tadi,” goda Tsabit sambil melirik ke arah Nayla. Nayla memicingkan mata, membuat senyum lebar merekah di wajah Tsabit. Ia selalu senang saat berhasil menggoda Nayla. “Nayla udah pesan taksi online, baru jalan,” ucap Nayla kemudian. Bunda Zara pun pamit masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan makan malam, sementara Tsabit diminta menunggu bersama Nayla di teras dan memberinya payung karena gerimis mulai turun—meminta Tsabit memayungi Nayla. “Padahal jarak dari sini ke depan itu deket banget,” celetuk Nayla, menatap pelataran basah. “Tapi tetap aja bisa basah. Tenang, ada ojek payung di sampingmu,” sahut Tsabit sambil tertawa kecil. Nayla ikut terkekeh. Obrolan mereka berlanjut, membahas pelatihan hari ini. Ada saja hal lucu yang membuat mereka tertawa. Kebersamaan yang terasa ringan, tanpa beban. Namun tanpa mereka sadari, sepasang mata memperhatikan dari kejauhan—diam, tapi tidak tenang. Tiba-tiba Nayla berseru, “Ih, pesananku dibatalkan, Mas,” katanya gusar sambil menatap layar ponsel. “Tunggu di sini sebentar. Aku ambil tas dulu, nanti aku antar kamu pulang,” ucap Tsabit, berbalik hendak masuk. “Mas, nggak usah,” Nayla buru-buru menahan tangan Tsabit, refleks. Sentuhan itu membuat keduanya sontak terdiam. Nayla mengerjap, cepat-cepat melepaskan genggamannya. Tapi Tsabit malah meraih tangannya kembali—lebih lembut, lebih lama—membuat keduanya terpaku. “Pulang sama aku, ya?” ucap Tsabit lembut, sedikit menunduk, menelisik wajah cantik di hadapannya. Namun sebelum Nayla sempat menjawab, tiba-tiba tangan Tsabit ditepis paksa oleh seseorang yang baru datang. Tubuh Nayla pun langsung ditarik paksa menjauh. “Nayla pulang sama saya,” tegas pria itu. “Raivan?” desis Nayla terkejut. “Mas!” seru Tsabit, marah karena Raivan menarik Nayla kasar. Tsabit kembali meraih tangan Nayla, menghentikan langkah mereka—tangan Nayla terlepas dari genggaman Raivan. “Apa-apaan kamu?” bentak Raivan, nadanya meninggi. “Mas Tsabit, tolong... masuk sekarang,” pinta Nayla pelan, mendorong tubuh Tsabit dengan hati-hati. “Saya nggak bermaksud apa-apa. Tapi setidaknya perlakukan Nayla dengan baik. Di mana sopan santun Anda? Saya sedang bicara dengannya,” ucap Tsabit dengan nada menahan emosi. “Itu bukan urusan kamu. Nayla pulang sama saya,” sahut Raivan tajam. “Siapa Anda? Seenaknya saja ngambil keputusan sepihak. Belum tentu juga Nayla mau pulang sama Anda.” Tsabit balik menantang. “Mas Tsabit, cukup. Mas masuk saja–” “Saya? Saya suaminya,” ujar Raivan, membuat Nayla spontan menoleh, menatap Raivan. Mata lelaki itu dipenuhi amarah. “Sudah cukup jelas?” lanjut Raivan, sorot matanya tajam. “Wanita yang hari itu kamu antar pulang dan sering kamu ajak pulang bersama, dia istri saya.” Hening seketika. “Pulang,” titah Raivan pada Nayla tanpa menoleh pada Tsabit lagi. Nayla menunduk, kemudian menoleh—mengangguk kecil pada Tsabit sebagai isyarat pamit. Tsabit diam. Pikirannya kalut, mencoba mencerna pernyataan Raivan. Tentu dia mengenal Raivan dan tahu Salsa istrinya. Lalu, Nayla? Nayla istri kedua Raivan, benarkah? Ia hanya bisa memandangi keduanya berjalan berdampingan dalam satu paying, begitu dekat. Raivan membukakan pintu mobil untuk Nayla, lalu ikut menyusul masuk ke sisi kemudi. Tak ada sepatah kata pun keluar dari keduanya hingga mobil terparkir sempurna di halaman rumah. Hujan masih mengguyur tanpa jeda. Dan mereka hanya duduk diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. “Kamu terlihat sangat marah,” lirih Nayla, memecah sunyi. “Menurutmu?” Raivan menoleh sekilas. “Aku akan diam saat buaya itu menggodamu? Jangan naif, Nayla.” “Hanya karena itu?” Salahkan saja mulut Nayla yang tidak tahu diri ini. Jujur ia merasa hatinya bergetar diakui sebagai istri tadi. “Jangan berharap lebih, Nay,” kata Raivan tajam, seolah membaca pikirannya. Kalimat itu membuat hati Nayla terasa tercubit, tapi ia menegakkan kepala. “Kalau begitu, jangan atur hidupku,” ujarnya datar, lalu membuka pintu dan berjalan keluar. Ia membiarkan hujan membasahi tubuhnya tanpa peduli lagi. “Nayla!” seru Raivan, mengerang kesal—lalu cepat-cepat turun dan menyusulnya masuk ke rumah. Begitu mereka melewati ambang pintu, Raivan segera menarik lengan Nayla. “Apa maksudmu ‘jangan atur hidupmu’? Aku ini—Nayla!” suaranya tertahan saat Nayla melepaskan genggamannya dan pergi. Namun Raivan tidak membiarkannya. Ia kembali mencengkeram lengan Nayla, kali ini lebih kuat. “Kamu ingin bebas bersama lelaki lain? Bermesraan? Lupa kamu itu seorang istri?” tuduh Raivan dengan mata membara. Bentakan itu cukup keras hingga Salsa keluar dari kamarnya dengan wajahnya panik. “Bermesraan apa? Too much kamu, Raivan.” “Aku yang too much? Kamu yang too much. Apa pantas seorang istri berduaan dengan lelaki lain saling bersentuhan?” Nayla menggeleng kepalanya mendengar semua kalimat yang keluar dari mulut Raivan seolah dia adalah suami yang sangat mencintai istrinya. “Selesaikan pelatihanmu, berhenti mengajar di panti. Aku akan merekomendasikan pengajar lain yang akan membantu Bunda di sana–” “Raivan,” protes Nayla melihat Raivan beranjak meninggalkannya. “Raivan!” Melihat Raivan beranjak pergi, Salsa segera masuk ke dalam kamarnya dengan hati yang tidak karuan melihat kemarahan Raivan. Raivan tidak pernah semarah itu sebelumnya. Sementara, Nayla melangkah lunglai menuju kamarnya. Ia menoleh ke arah lantai atas—tempat Raivan berada. Lelaki itu memilih naik ke kamar di lantai dua. Rasanya sesak. Serba salah, ingin dianggap ada, tapi terus diperlakukan seperti bayangan. Kini, saat ia diakui, justru terasa seperti dikurung, bukan dicintai. Malam itu, ia tak bisa tidur. Hatinya tak menentu, pikirannya kalut. Nayla memilih menenangkan diri di dapur. Beberapa hari belakangan, waktunya benar-benar tersita. Pulang malam setelah pelatihan, langsung menemani Salsa, lalu menyusun laporan untuk pihak sekolah. Begitu selesai, ia selalu terlelap kelelahan. Dan karena itu pula, ia beberapa kali bangun kesiangan. Tidak sempat menyiapkan kebutuhan Raivan seperti biasanya. Tapi bukan berarti ia membiarkan Raivan begitu saja, Nayla sudah mengatur agar Bik Seri menggantikannya sementara. Setelah selesai membuat beberapa food preparation, Nayla duduk di meja makan, menyesap wedang jahe hangat. Sesekali ia memainkan ponselnya, men-scroll tanpa arah. Lama-lama, kepalanya bersandar di atas lengan yang tergeletak di meja hingga akhirnya tertidur dalam posisi duduk. Sementara itu, Raivan pun belum bisa memejamkan mata. Ia mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan, tapi pikirannya tidak fokus. Hatinya masih dikuasai amarah yang tak jelas arahnya. Sampai akhirnya, ia memutuskan turun ke bawah. Langkahnya terhenti di ambang ruang makan. Di sana, ia melihat sosok Nayla, tertidur di kursi dengan kepala bersandar di meja. Raivan melangkah mendekat, perlahan menarik kursi—duduk di sampingnya. Tangannya terulur, menyingkap helaian rambut yang menutupi wajah Nayla. Ia terpaku menatap wajah lelah itu. Ada sembab di pelupuk matanya. Nafasnya pelan, tenang. Sesaat, Raivan hanya diam. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Apa aku terlalu keras padanya? batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD