F I R S T ; Black Apple

939 Words
Samar-samar langit kamar yang sangat familiar langsung terlihat ketika kelopak mataku terbuka. Aku mengerjap. Menyesuaikan cahaya matahari yang masuk melalui cela-cela jendela yang terasa begitu hangat.  Perlahan punggungku menegak. Kaki-ku menyentuh lantai yang terasa dingin di telapak kaki. Kedua tanganku masing-masing memegang pinggir tempat tidur. Mataku langsung tertuju pada jam weker yang berada diatas nakas.   Pukul 07.15 AM.  Masih ada beberapa jam lagi sebelum kelas siangku dimulai. Aku berdiri, keluar dari kamar menuju kamar mandi. Mencuci muka dan menggosok gigi lalu menuju meja makan. Pemandangan yang selalu aku lihat di pagi hari. Adikku yang sudah duduk manis di salah satu kursi, dan Mom yang sedang menyiapkan sarapan.  “Pagi,”  Sapaku sambil menarik kursi disamping adikku.   “Kau terlambat lagi, Kak.” Kata adikku, Yuli, sambil memakan roti berselai nanas ditangannya.   “Hm. Aku semalam harus mengerjakan tugas dari dosen. Bukankah kau harus sekolah?” Tanyaku melirik Yuli dengan tenang mengunyah rotinya.  “Aku libur.” Aku hanya mengangguk acuh sambil mengoles rotiku menggunakan selai kacang. Baru saja aku ingin memakan rotiku, mataku menangkap sesuatu yang menarik. Aku mengulurkan tangan, mengambil sesuatu dari ranjang buah.  “Ini apa?”  Mom yang baru saja datang dari arah dapur menoleh, “Oh itu buah apel. Mom mendapatkannya ketika mengeluarkan buah-buahan yang baru Mom beli. Tapi anehnya, Mom tidak merasa mengambil buah apel hitam itu.” Mom terdiam lalu menatapku. “Tapi sudahlah. Mom rasa itu tidak beracun. Kamu boleh memakannya jika mau.”   Aku hanya terdiam. Tidak lagi menjawab perkataan Mom dan mulai melahap roti yang sudah kuoles sebelumnya dengan tenang.  ***  Musim gugur.   Entah kenapa aku tidak begitu menyukainya.  Selain karena dedaunan yang terus berguguran, angin musim gugur terasa begitu menjengkelkan. Yah walaupun sebagian orang sangat menyukai musim gugur karena berbagai warna daun yang gugur seperti berwarna kuning, cokelat, dan merah yang terlihat sangat cantik dan mengagumkan ketika mereka gugur dari pohonnya.   Ku percepat langkahku menuju kelasku hari ini. Duduk paling depan dan menunggu dosen yang akan masuk. Bisa kurasakan bangku disampingku telah diduduki orang. Tanpa menoleh pun aku tahu jika yang menduduki kursi itu adalah Haruka, teman sekampusku.  “Elica-chan!”  “Kamu tampak sangat bersemangat, Haruka-san,” cetusku yang langsung dibalas cebikan bibirnya.   “Sudah kubilang, jangan pakai 'san' lagi. Kamu harus memanggilku, Haruka-chan!” Katanya tegas. Mata lebarnya menatapku berbinar, membuatku hanya menghela napas.  “Diamlah Himawari-san. Dosennya sudah masuk.” Balasku acuh yang membuatnya tampak lesu karena aku menyebut nama keluarganya.   “Hai, hai.”   ***   Aku bersama Haruka yang terus mengekoriku keluar dari kelas sambil mengoceh, menceritakan bagaimana pacarnya yang begitu tak tahu diri karena terus memintanya mengerjakan tugas pacarnya.  “Bukankah ini Elica?”   Langkahku terhenti ketika melihat beberapa orang yang menutupi jalanku. Bisa kudengar kali ini Haruka berdecak.  “Sumimasen. Bisakah kalian tak menutupi jalan? Aku dan Elica-chan ingin lewat.” Kata Haruka disampingku dengan nada ketus- yang sangat tak sesuai dengan perkataannya yang sopan.   “Ohh, ayolah Haruka. Aku ingin bermain bersama Elica. Kau tak perlu ikut campur.” Kata Angela sambil memutar bola matanya jengah. “Bukankah begitu, Elica?”   “Aku tidak punya urusan denganmu, Angela Rica.” Aku menatapnya datar. Gadis itu memang suka mengangguku. Walau tak sampai membully karena selalu ada Haruka yang akan membelaku.   “Kamu sepertinya senang memanggilku dengan nama lengkapku, ya.” Angela mendekat, tanpa bisa kuhindari, tangannya telah menarik rambutku dari belakang. Menariknya kuat hingga membuat kepalaku ikut tertarik ke belakang.   “Hei! Apa maksudmu?!” Seru Haruka tak terima. Haruka maju lalu mendorong Angela kasar membuat gadis itu terdorong beberapa langkah yang langsung dibantu kedua temannya yang sedari tadi stay dibelakangnya.  “Kau bisa pergi sekarang, Angela Rica-san.” Kata Haruka yang langsung dibalas decihan Angela lalu pergi sambil menatapku tajam. Haruka berbalik, menatapku khawatir.  “Kau baik-baik saja, Elica-chan?” Aku mengangguk. Merapikan rambutku yang sedikit berantakan. Rasanya sedikit perih. Tapi, ya sudahlah. Aku kembali berjalan, yang tentu saja di ikuti Haruka.   “Seharusnya kau tidak boleh seperti itu, Haruka-san.” Kataku pelan. Memang selama ini Haruka yang selalu melindungiku. Angela Rica dari sekolah menengah atas membenciku, hingga saat ini. Dia selalu membuliku. Sejak aku bertemu Haruka saat masuk kuliah, yang orang tuanya bernotabene atasan orang tua Angela, Angela tidak berani langsung membuliku seperti dulu ketika ada Haruka disampingku. Gadis keturuan Jepang itu sungguh baik. Aku hanya takut kebaikannya bisa-bisa dimanfaatkan orang kapan saja. Bukannya aku ingin menggunakan Haruka sebagai tameng, sudah kukatakan dari dulu untuk tidak menolongku dengan alibi aku tak pantas berteman dengannya, tetapi dia tetap bersikeras ingin bersamaku.   “Memangnya kenapa? Mereka itu harus diberi balasan. Kamu juga jangan diam aja dong kalo mereka gituin kamu.”   Aku hanya mengangguk. “Hm.”   Tiba-tiba Haruka menepuk tangannya, membuatku menoleh.  “Ayo kita ke cafè, aku ingin minum secangkir cokelat hangat.”   Belum sempat  ku-menjawab, Haruka langsung menggandeng dan menarikku, membawaku ke cafè yang letaknya hanya beberapa meter dari kampus.   ***   Aku menopang dagu menggunakan tangan. Memerhatikan buku yang tebalnya menghampiri kamus bahasa Inggris sambil mengetuk-ngetuk pelan pensil yang berada di tanganku pada meja belajar.   Mataku tertuju pada apel hitam diatas meja belajarku. Ini sedikit aneh dan unik. Bagaimana mungkin ada buah apel berwarna hitam?   Aku mengambil apel hitam itu. Menatapnya lekat-lekat untuk melihatnya lebih jelas. Mungkin ada orang yang mewarnainya dengan cat. Mungkin saja. Tidak ada yang tahu itu. Beberapa kali aku menguap. Mataku  terasa berat. Ku lirik jam weker yang baru menunjukkan pukul 19.00 PM.  Aku menidurkan kepalaku diatas lipatan tanganku yang berada diatas meja. Mencari posisi nyaman untuk tidur. Perlahan, rasa kantuk yang tak bisa ku tahan lagi ini mengambil ahli dengan apel hitam yang masih kugenggam.   Mungkin tidur sebentar akan membuatku lupa pada dunia ini sejenak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD