12. Bagian Terindah

1992 Words
"Ricko, sebenarnya kamu mau bawa aku ketemu siapa, sih?" Tubuh Sena seketika menegang ketika mendengar suara wanita itu. Dia tidak akan pernah salah mengenali suara itu meski sudah dua puluh dua tahun mereka tidak pernah bertemu. Sebelum Sena sempat bereaksi, Ricko dan Clare sudah duduk di hadapannya. Dalam sekejap, sorot kebencian memancar dari mata wanita itu, dan itu membuat hati Sena terasa sangat sakit. "Ricko, kamu tahu siapa dia?" ujar Clare dingin. "Aku tahu, Sayang." Ricko mengangguk yakin. "Kalau begitu kenapa kamu ajak aku ketemu dia?" Kali ini Clare memelankan suaranya, meski jelas masih bisa terdengar oleh Sena. "Kalian perlu bicara." Ricko menggenggam erat tangan Clare. "Nggak ada yang perlu dibicarain, Ricko. Semua udah selesai antara aku sama dia." Clare menggeleng penuh amarah. Dia tidak sudi berbicara dengan pria yang sudah membuat masa depannya hancur dua puluh dua tahun yang lalu. Meninggalkannya begitu saja dengan bayi di dalam kandungannya, membuat Clare harus menghadapi cercaan dari semua orang, membuatnya tersisih, dan hampir membuatnya memilih untuk mati saja. "Sayangnya itu cuma pendapat kamu. Coba dengerin dulu, banyak hal yang perlu kamu tahu, Sayang." Ricko menatap Clare dalam, seolah menyampaikan permohonan pada wanita itu untuk mau mengerti pilihannya. "Aku nggak ngerti sama kamu. Mana ada suami yang sengaja mempertemukan istrinya dengan mantannya kekasihnya? Kamu aneh." Clare menggeleng kesal. Ricko menangkup wajah Clare dan memandangnya penuh cinta. "Karena aku nggak bisa liat kamu terus hidup dalam kemarahan, Clare." Menyaksikan semua ini, Sena rasanya tidak bisa bernapas. Sesak. Seharusnya dia yang ada di posisi itu. Seharusnya dia yang berhak memiliki Clare. Tapi semua tinggal pengandaian. Namun setidaknya Sena lega, Clare berada di tangan yang tepat. Lihat saja bagaimana pria itu begitu sabar menghadapi Clare, bagaimana tatapannya begitu penuh cinta meski usai mereka tidak lagi muda? Dan yang terpenting, jarang menemukan seseorang dengan jiwa sebesar Ricko. Seorang suami yang rela mempertemukan istrinya sendiri dengan cinta pertama sekaligus ayah dari anak sang istri. Entah apa lagi yang keduanya bicarakan, Sena tidak terlalu mendengarkan. Namun pada akhirnya Clare mengalah. Dia bersedia memberikan kesempatan bagi Sena untuk bicara. "Aku mau minta maaf buat semua yang sudah kamu alami selama ini," ujar Sena begitu Ricko meninggalkan mereka berdua saja. Dia merasakan kecanggungan yang seolah dapat membunuhnya. "Kenapa baru sekarang? Ke mana aja kamu selama ini?" tanya Clare dingin. Suaranya sarat akan kebencian. "Aku sengaja menjaga jarak sejauh mungkin dari kamu. Aku tidak mau merusak kebahagiaan kamu dengan kehadiran aku." Sena menunduk. Memilih memandangi cangkir kopi di hadapannya ketimbang memandang kebencian di mata Clare. "Terus kenapa sekarang datang?" Clare mendengus sinis. Sena menghela napasnya. "Karena suami kamu yang minta aku." "Hah? Jangan bercanda kamu." Suara Clare meninggi. "Aku tidak bercanda, Clare. Ricko menghubungi aku. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia bisa menemukan aku. Dia mengajak bertemu, meminta penjelasan tentang semua yang terjadi. Dan pada akhirnya dia meminta aku bertemu kamu, dan di sinilah kita sekarang." Clare terbelalak. "Dia gila!" "Aku juga berpikir begitu. Tapi aku bersyukur kamu memiliki dia. Kamu pantas untuk dicintai seindah itu oleh seseorang sebaik dia." Sena tersenyum getir. Clare mencoba mengabaikan kesakitan di wajah Sena. "Jadi apa yang mau kamu jelasin sama aku?" Sena terlihat kesulitan untuk memulai penjelasannya. Berpuluh-puluh tahun Sena menunggu kesempatan seperti ini, tapi sekarang ia berharap hari ini tidak perlu datang. "Aku mau minta maaf karena dulu aku tidak bisa menjaga kamu, aku tidak bisa memenuhi janji untuk selalu ada buat kamu." "Aku udah pernah bilang kamu b******k?" tanya Clare tajam. Sena kembali tersenyum. Lebih getir dari sebelumnya. "Kamu boleh bilang apa saja, Clare. Aku terima." "Lanjutin. Aku mau dengerin dongeng kamu sambil mikirin umpatan apa lagi yang cocok buat kamu," ujar Clare pedas. "Kamu pasti ingat hari di mana aku tiba-tiba menghilang, kan?" "Hmm." "Di situ aku hampir mati." "..." Clare mengamati wajah Sena. Mencari kebohongan di sana. Tapi ia tidak menemukannya. Clare baru menyadari bahwa wajah Sena sudah jauh berubah. Tidak ada lagi sorot nakal penuh binar kehidupan di mata pria yang pernah menjadi segalanya bagi Clare. Yang tersisa hanyalah tatapan lelah penuh luka di wajah pria itu. "Papa menugaskan anak buahnya buat menangkap aku, dalam keadaan apa pun mereka harus berhasil menyeret aku ke hadapan Papa. Aku berkelahi dengan mereka sampai sekarat, dan waktu sadar aku tidak tahu ada di mana." Sena mencoba menceritakannya sesingkat mungkin. "..." Clare semakin bungkam. Ia percaya Sena tidak bohong. Ia percaya begitu saja pada perkataan pria ini. "Kamu pasti berpikir kenapa aku tidak mencoba kabur? Aku lakukan itu, Clare. Aku berusaha. Tapi Papa benar-benar gila. Aku benar-benar tidak punya celah untuk melarikan diri. Aku tidak tahu berapa lama aku disekap di sana, sampai akhirnya aku diterbangkan ke luar negeri. Papa memasukkan aku ke sekolah asrama di tempat terpencil, sekolah dengan aturan yang sangat ketat, dan memutus aksesku untuk berhubungan dengan dunia luar." Rahang Sena mengeras ketika dipaksa mengingat kembali masa-masa kelamnya. "..." Clare masih terdiam. Namun sudut hatinya mulai berdenyut perih. Ingatannya ikut kembali terbang ke masa-masa tersulitnya kala itu. "Aku terus memikirkan kamu. Setahun pertama aku terus hidup dengan pola yang sama, usaha melarikan diri-tertangkap-menjalani hukuman-melarikan diri lagi, dan terus begitu, sampai lama-lama aku menyerah. Polaku berubah. Percobaan bunuh diri-ditemukan-menjalani perawatan-percobaan bunuh diri lagi. Tapi konyolnya, maut rasanya bermusuhan denganku. Sampai akhirnya aku nyaris gila dan butuh penanganan khusus." "Ian ...." Clare tidak lagi dapat menahan dirinya. Ia memanggil nama pria di hadapannya dengan lirih. Hanya Clare yang memanggilnya seperti itu. "Setelah empat tahun, aku berhasil sembuh dan menyelesaikan sekolah. Memasuki dunia perkuliahan, aku akhirnya bisa memiliki akses dengan dunia luar. Orang pertama yang aku cari itu Rei. Aku langsung minta semua informasi tentang kamu, dan ternyata berita yang aku dengar ...." Sena tidak dapat melanjutkan ucapannya lagi. Mengingat semua itu membuat kemarahannya pada kedua orang tuanya kembali membara. "Aku sudah menikah," ujar Clare lirih. "Dan aku cukup tahu diri untuk menyingkir sejauh mungkin dari kamu. Meski ada keinginan besar untuk bertemu dengan dia, tapi aku takut itu malah menimbulkan masalah untuk rumah tangga kamu." "Kenapa kamu biarin aku menyimpan kemarahan yang nggak seharusnya tertuju sama kamu? Ya, Tuhan, Ian ..., kamu nggak tahu gimana aku berjuang lupain kamu. Sekarang dengan semua cerita kamu, gimana aku lanjutin hari-hari aku tanpa kepikiran sama kamu? Setelah ini pasti akan ada banyak penyesalan yang aku rasaian, akan ada begitu banyak seandainya dalam kepala aku." Clare mulai tergugu. Air matanya mengalir deras. Air mata yang selama ini ia tahan, tumpah sudah di hadapan pria pemilik hatinya ini. "Tolong jangan begitu, Clare. Jangan rusak kebahagiaan kamu yang sekarang cuma gara-gara pengakuan dari pecundang macam aku. Aku bersedia memenuhi permintaan Ricko supaya kamu tidak lagi menyimpan kebencian dalam hati kamu, bukan untuk merusak rumah tangga kalian." Inilah yang Sena takutkan. Ia takut Clare juga masih menyimpan rasa yang sama dengannya. "Ian ..., kamu nggak tahu sebesar apa perasaan yang aku punya buat kamu." Clare menggeleng perih. "Kamu tahu? Aku nggak pernah benar-benar bisa mencintai suami aku dengan sungguh-sungguh. Perasaan aku buat mereka berdua cuma sampai sebatas sayang dan rasa tergantung, aku butuh tempat bersandar buat melanjutkan hidup." "Clare, jangan kecewakan laki-laki sebaik Ricko. Jangan buang dia buat aku. Sekarang setelah kamu tahu semua, aku harap tidak ada lagi masa lalu yang jadi penghambat untuk kamu. Belajar cintai dia dengan tulus, Clare. Dia pantas untuk mendapatkan hati kamu seutuhnya." Meski hatinya berkata lain, Sena harus mengatakan ini. Sena tidak ingin menambah dosanya dengan menghancurkan rumah tangga orang lain. "..." Clare membenamkan wajahnya di telapak tangannya. Berusaha meredam tangisnya yang sulit dihentikan. Lama Sena terdiam, memandangi gadisnya yang terus menangis. Sampai akhirnya Clare mulai tenang barulah Sena berani bicara. "Aku pergi, ya?" "Kamu nggak mau ketemu anak kamu?" tanya Clare sebelum Sena berdiri. "Apa dia pernah bertanya tentang aku?" Sena balas bertanya. "Dulu, Ian. Dulu sekali. Sampai akhirnya dia capek dan berhenti nanya tentang kamu." "Apa menurut kamu dia mau bertemu aku setelah sekian lama? Dia sudah besar, Clare. Dia tidak lagi membutuhkan aku. Biarkan dia menjalani hidupnya dengan tenang." *** Terkadang rencana Tuhan itu memang ajaib. Jauh di luar batas nalar manusia tercerdas sekali pun. Bagaimana Tuhan menjungkirbalikkan kehidupan Sena selama puluhan tahun, lalu tiba-tiba mengirimkan seorang gadis muda setengah gila ke hadapannya untuk kembali menjungkirbalikkan kehidupannya, sungguh sulit dipercaya. Sena tidak pernah menyangka bahwa hatinya yang selama ini sudah tertutup untuk wanita lain, akan tergugah oleh seorang gadis muda yang tingkahnya sering menimbulkan gelengan kepala dari siapa saja. Semua ketidakwarasan gadis itu seolah mengguncang ketenangan palsu dunia Sena selama ini, mengobrak-abrik semua ritme yang sudah Sena ciptakan sekian lama, dan menariknya dari kubangan penyesalannya selama ini. Sena terus mengingat percakapannya dengan Domi beberapa hari yang lalu. Perkataan gadis itu tanpa sadar sudah mendorong Sena untuk berani melangkah agar membereskan semua kekacauan di masa lalunya. Maka di sinilah dia berada, duduk berhadapan dengan wanita pemilik hatinya sejak dua puluh enam tahun yang lalu. Bayangkan. Dua puluh enam tahun, dan Sena masih tetap mencintainya. "Kamu terlihat sehat." Sena tersenyum kaku pada Clare. Dia tidak pernah bisa bersikap normal jika berhadapan dengan wanita ini, meski sejak dua tahun yang lalu keadaan mereka sudah membaik. Berkat bantuan dari suami wanita itu sendiri, Sena akhirnya mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Clare dan menjelaskan semua yang terjadi. Memangkas kesalahpahaman yang terbentuk selama ini dan mendamaikan hati mereka. "Dan kamu terlihat buruk," balas Clare apa adanya. Sejak dulu Clare memang selalu mengatakan semua yang dipikirkannya tanpa mencoba menutup-nutupinya. "Kamu bahagia?" tanya Sena hati-hati. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana tangis penyesalan Clare ketika mengetahui semuanya. Bagaimana wanita itu mengakui bahwa hatinya tidak pernah benar-benar mengusir Sena setelah puluhan tahun terlewati. "Menurutmu?" Clare balik bertanya. Sena mencoba mengamati raut wajah Clare dan menemukan sesuatu yang berbeda. "Kelihatannya begitu." "Aku memang bahagia, Ian. Aku memiliki semua yang wanita seusiaku butuhkan, tidak kekurangan apa-apa. Apalagi yang harus aku sesalkan?" "Kamu benar. Aku senang mendengarnya," ujar Sena tulus. "Gimana sama kamu sendiri? Kamu kelihatan jauh dari kata bahagia." "Aku memang kacau. Kalau kamu memiliki semua yang kamu butuh, aku kebalikannya." Sena mengatakannya bukan untuk mendapatkan simpati dari Clare, namun karena ia tahu, Clare memahami dirinya dengan baik. Sejak dulu ia tidak pernah bisa membohongi Clare, itu juga yang membuat wanita itu selalu percaya pada ucapannya. "Ian, kamu harus melanjutkan hidup. Jangan terus begini. Aku udah memaafkan kamu sejak kamu datang dan menceritakan semuanya." Clare tersenyum tulus. "Terima kasih." "Tata hidup kamu, Ian. Aku sedih lihat kamu begini. Bagaimana pun juga, kamu pernah jadi bagian terbaik dalam hidup aku. Dan aku mau liat kamu bahagia." Gimana aku mau bahagia kalau kamu nggak ada buat aku? "Aku akan coba. Tapi pertama, rasanya aku perlu mendapatkan maaf dari dia. Aku berhutang banyak maaf sama dia. Buat semua ketimpangan dan tanda tanya besar dalam hidupnya." Clare meringis mendengar permintaan Sena. Belum lama ini dia baru membahasnya dengan putrinya, dan anak keras kepala itu menolak mentah-mentah ide untuk pertemuan mereka. "Aku nggak yakin dia mau ketemu kamu, Ian." "Aku tahu. Aku mengerti. Tapi kalau saja bisa, aku benar-benar mau bertemu dia. Satu kali saja cukup. Setelah itu aku tidak akan pernah lagi mencari dia." "Kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran? Bukannya kamu pernah bilang nggak mau ganggu hidup dia?" "Tadinya begitu. Sampai ada seseorang yang bilang sama aku, kalau aku harus membereskan masa lalu aku. Percuma aku mencoba melupakan, itu sia-sia. Lebih baik dibereskan." "Apa akhirnya kamu mencoba buka hati buat seseorang?" tanya Clare antusias. "Belum sejauh itu, Clare." Aku perlu waktu untuk menata hidupku yang selama ini sudah terlalu kacau. "Aku hanya merasa tidak adil buat dia kalau selamanya aku tidak pernah muncul. Setidaknya untuk satu kali saja, aku mau menemui dia. Setelah itu biar dia yang putuskan sendiri." "Aku coba, ya? Tapi aku nggak berani janji." "Makasih." "Oh, iya! Aku jadi inget sesuatu. Calon suaminya pernah nanyain kamu. Aku cerita semuanya. Setelah tau, dia pernah bilang pengen ketemu kamu. Kamu mau?" "Untuk apa?" "Meminta izin mengambil dia dari kamu." "Anak itu lucu. Dia bahkan nggak pernah jadi milik aku, gimana caranya aku ngasih dia ke anak itu?" "Setidaknya hargai usahanya. Secara tidak langsung dia menghormati kamu sebagai ayah dari calon istrinya." *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD