11. Peluk-able

1800 Words
"Maaf ...." Pemuda itu mendekap kekasihnya erat-erat. "Ian, aku takut ...," gadis itu terisak lirih dalam pelukan pemuda itu. "Kita hadapi sama-sama, ya? Aku janji nggak akan tinggalin kamu." Pemuda itu semakin mengeratkan pelukannya, berusaha menunjukkan bahwa ia akan selalu ada untuk kekasihnya itu. "Gimana orang tua kita?" Gadis itu ingin percaya, tapi ia takut. Pemuda itu mengurai pelukannya, menangkup wajah gadis itu dan menatap penuh keyakinan. "Mereka bakal marah, itu pasti. Tapi aku bakal ada buat jagain kamu." "Kamu mau kasih tau mereka?" Gadis itu mengerjap tidak percaya. "Harus. Aku mau kita nikah, dan orang tua kita harus tau." "Aku takut, Ian." "Ada aku, Sayang. Jangan takut. Sekarang kita ketemu orang tua aku, ya? Aku mau minta ijin sama mereka buat nikahin kamu." "Ian, hubungan kamu sama mereka itu buruk. Kalo kamu bilang soal ini, apa mereka gak makin kecewa sama kamu?" Gadis itu tahu bagaimana buruknya hubungan kekasihnya ini dengan orang tuanya. Ia tahu bagaimana pemuda ini begitu kecewa dan membenci orang tuanya sendiri. "Gapapa, diusir juga gak masalah buat aku. Selama ini juga mereka gak bener-bener anggep aku ada." "Tapi gimana masa depan kamu? Mau jadi apa kamu kalo harus nikah sama aku sekarang? Kita masih terlalu muda, Ian." Bahkan menamatkan SMA saja mereka belum. Lantas masa depan seperti apa yang menanti mereka? Mereka bodoh? Memang. Mereka berpikiran pendek? Memang. Jiwa muda mereka terlalu liar, rasa penasaran dan gairah seakan mencekik mereka, membuat mereka tidak bisa memikirkan hal lain selain masa kini. "Terus kamu maunya gimana? Kamu mau buang dia?" tanya pemuda itu takut-takut. "..." Gadis itu menunduk dalam, tidak berani menatap mata kekasihnya. Diamnya sang gadis sudah cukup menjawab pertanyaan pemuda itu. "Jangan, Sayang. Jangan pernah mikir begitu. Dia gak salah, kita yang salah. Kamu jangan pikirin aku. Aku bakal jadi apa aja buat kalian. Percaya, ya, sama aku?" Gadis itu mencoba meletakkan kepercayaan sepenuhnya pada kekasihnya. Ia mencoba percaya bahwa mereka bisa melaluinya bersama, namun mereka lupa bahwa orang dewasa terkadang terlalu kejam. Hati mereka mengeras dan perasaan mereka mati. "Gila kamu! Anak gila! Nggak punya otak! Percuma disekolahin tapi hasilnya begini!" Ayah pemuda itu menghajar pemuda itu habis-habisan ketika mereka datang menghadap dan memberitahukan kenyataan yang menimpa mereka. "Pa, udah! Stop pukulin Ian." Ibunya mencoba membela. "Biarin! Biar mati aja sekalian dia! Anak gak berguna! Gak tau diuntung!" Sang ayah terus menendangi tubuh pemuda itu. Melihat hal itu, sang gadis tidak sanggup hanya berdiam diri saja. Ia menerjang ke arah pemuda itu, tersungkur di lantai dan menelungkup untuk melindungi tubuh kekasihnya dari hantaman sang ayah. "Minggir kamu, p*****r Kecil!" maki sang ayah. "Pa! Jangan pernah hina dia!" Pemuda itu membentak ayahnya. Tidak terima ayahnya menghina kekasihnya. Satu-satunya orang yang mengenalkannya pada sebuah rasa yang disebut kasih sayang, karena bahkan ayah atau ibunya, tidak pernah bisa memberikan rasa itu. Yang mereka tahu hanya harkat dan martabat, bagi mereka yang penting adalah harga diri dan prestasi, sementara sebuah rasa yang sentimentil dan menunjukkan kelemahan terasa menjijikan. "Anak ini memang pantas dihina! Dia kotor! Kalian berdua sama kotornya!" Sang ayah terus mencaci maki mereka. "Pa! Kalo emang Papa gak bisa terima, gak usah hina-hina kami kayak gini. Cukup usir aku, Pa! Aku gak keberatan buat pergi dari sini!" teriak sang pemuda. Dia ingin terbebas dari neraka yang menjeratnya selama 17 tahun kehidupannya di dunia ini. "Pergi dari sini? Mimpi kamu! Sampai kapan pun Papa nggak akan pernah biarin kamu menghancurkan reputasi Papa dengan kelakuan b***t kamu. Kamu tahu, Ian? Harusnya kamu contoh sepupu kamu itu. Dia nggak pernah buat masalah. Nilainya selalu bagus." Bagi sang ayah, tidak ada yang lebih penting dari karirnya. Mengingat saat ini dirinya yang tengah mengikuti pencalonan untuk menjadi walikota, masalah yang anaknya buat ini jelas akan menghancurkan reputasinya. "Benar! Tapi dia mati rasa, Pa!" Sepupu yang ayahnya banggakan itu tidak lebih dari cangkang kosong. Hatinya sudah mati sejak ibunya meninggalkannya begitu saja bertahun-tahun yang lalu. "Itu lebih bagus. Jadi laki-laki jangan cengeng. Lebih baik seperti dia. Masa depannya jelas. Dia pasti akan jadi pemimpin yang baik untuk meneruskan usaha keluarga. Bukan laki-laki lembek macam kamu!" "Jadi sekarang apa mau Papa?" Pemuda itu lelah berdebat. Ia ingin semua cepat berakhir. Ia tidak tega melihat gadisnya terus menangis sejak tadi. Semua salahnya, kalau bukan karena dia, gadisnya tidak akan berada dalam posisi seperti ini. "Papa mau kalian pisah," tandas pria itu tanpa hati. Istrinya yang sejak tadi menyaksikan semua kejadian ini, hanya duduk diam tanpa berkomentar. Begitulah ia sejak dulu, ia tidak pernah peduli pada perasaan orang-orang disekitarnya, termasuk anaknya sendiri. Sosok wanita sempurna itu begitu menakutkan, bahkan anaknya tidak pernah tahan berada dalam pelukannya. Pelukan dingin yang hanya merupakan sebuah formalitas untuk menampilkan citra baik di mata publik. "Aku nggak peduli apa mau Papa. Aku akan tetap menikah." Pemuda itu tetap berkeras. "Coba saja anak muda. Nikahi gadis murahan ini, dan kamu akan menyesal." Sang ayah berbicara dengan tenang namun nadanya sarat ancaman. Entah rencana apa yang tengah bersarang di kepalanya. "Jangan bilang dia murahan!" hardik pemuda itu. Dia sudah tidak memiliki rasa hormat sedikit pun untuk kedua orang tuanya. "Apa namanya kalau tidak murahan? Masih SMA sudah hamil. Atau kamu sengaja? Hidup kamu susah? Keluarga kamu susah? Kamu tahu anak saya bisa menjamin kehidupan kamu, makanya kamu sengaja membiarkan diri kamu hamil supaya anak saya menikahi kamu? Begitu?" ujar sang ayah penuh ejekan. Perlahan pemuda itu berdiri, menarik gadisnya untuk ikut berdiri bersamanya. "Kita pergi. Percuma menghabiskan waktu di sini." Pemuda itu melangkah dengan mantap meninggalkan rumahnya yang terasa bagai neraka. "Silakan nikmati sisa waktu kalian. Karena sebentar lagi semua akan berakhir," ujar sang ayah ketika kedua anak muda itu berlalu. Kedua pasangan itu tidak pernah tahu apa yang menanti mereka di depan. Mereka tidak tahu bagaimana liciknya orang dewasa itu. Ternyata setelah malam itu, mereka hanya memiliki waktu tiga hari untuk saling memiliki. Setelahnya sang pemuda menghilang. Orang tuanya menciduknya, mengurungnya di tempat yang aman dengan penjagaan ketat, dan beberapa bulan kemudian mengirimnya ke luar negeri. Menempatkannya di sekolah berasrama, tanpa akses untuk dapat menghubungi dunia luar. Sampai bertahun-tahun setelahnya, ketika pemuda itu akhirnya dapat menghubungi dunia luar, ia mendapati kenyataan bahwa gadisnya telah menjadi milik pria lain. Hidup bahagia dengan pria yang mencintainya dan membangun keluarga yang bahagia tanpa dirinya. *** "Akhirnya bangun juga ...." Domi mendesah lega ketika akhirnya Sena membuka matanya. Sepanjang malam Domi tidak benar-benar bisa tidur dengan nyenyak. Berbaring di kamar yang asing sambil menjagai orang sakit, benar-benar perpaduan cantik untuk membuat mata melek. Sena mengerjap bingung melihat Domi duduk bersila di atas tempat tidurnya. Mencoba mengenali keadaaan. Untuk sesaat ia kehilangan orientas tempat dan waktu. "Ini di kamar saya?" tanyanya dengan suara parau. Tenggorokannya terasa panas seperti terbakar. "Astaga, lo itu cuma demam, kan?!" Domi mendadak panik. Ia menjalankan tangannya ke arah kening Sena, pipinya, lehernya, dadanya. Sena menangkap pergelangan tangan Domi yang terus saja menjelajahi bagian tubuhnya dengan tidak beraturan. "Saya tidak apa-apa." Domi mengangsurkan segelas air dan membantu Sena minum, sambil tidak lupa mulutnya sibuk mengoceh. "Tapi kok lo mendadak oon, sih? Masa iya lo nanya ini kamar lo atau bukan. Ya, jelas ini kamar lo, dong!" "Kalau begitu kenapa kamu ikut tidur di kamar saya?" Sena memicingkan matanya. "Karena lo sakit. Demam dari kemaren siang. Untung gue dateng, kalo nggak mana ada yang tau lo sakit. Dua bocah itu mana ada yang berani naek ke sini?" Domi mendengus. Sena memijat kepalanya yang terasa berat. "Sekarang jam berapa?" Domi menjangkau ponselnya. "Ampir jam enam." "Pagi?" tanya Sena lagi. Ia benar-benar tidak tahu waktu. "Iya. Ya, oloh lo kenapa sih?" tanya Domi frustasi. "Saya cuma pusing." Sena menggeleng lemah. "Mungkin kebanyakan tidur." "Tau tuh. Lo tidur terus kaga bangun-bangun. Udah gue apa-apain juga lo tetep aja tidur terus." "Kamu apain saya?" Sena mendelik curiga. "Becanda, ah!" Domi terbahak melihat ekspresi cemas di wajah Sena. "Gue gak apa-apain lo, gue cuma jagain lo di sini. Itu aja." "Kamu bermalam di sini?" "Iya." "Saya menyusahkan kamu?" Sena merasa tidak enak hati juga mengetahui gadis ini bermalam di tempatnya untuk menjagai dirinya yang sakit. "Nggak. Cuma bikin gue jantungan." Domi berkata jujur, dia memang resah menunggui Sena semalaman. "Maaf," ujar Sena tulus. "Gara-gara lo gue gak bisa tidur. Parno gue." "Maaf," ujar Sena lagi. "Gapapa, gue ikhlas kok." Domi mengedip genit. "Terima kasih." Perlahan Domi kembali membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur Sena, dan pria itu diam saja. Sama sekali tidak melarang atau berkomentar. Keduanya berbaring bersisian dalam hening, sampai Domi akhirnya kembali mengajak Sena berbicara demi menuntaskan rasa penasarannya. Ia memiringkan tubuhnya ke arah Sena, menumpangkan kepalanya di atas lengan dan memandangi pria itu. "Lo mimpi apa sih? Tidur lo kayak gelisah banget." "Saya meracau?" Sena menoleh ke arah Domi. "Sedikit." Domi mengangguk. "Gue baru tau cowok tuh bisa ngigo gitu kalo sakit." "Ya, bisa, Dominique. Saya kan juga manusia." Perlahan Sena ikut memiringkan tubuhnya menghadap Domi. "Tapi lo gelisah banget. Kayak yang sedih banget. Ketakutan juga." "Semua orang punya hal yang ditakuti, Dominique." Sena tersenyum samar. "Berhubungan sama masa lalu?" tanya Domi hati-hati. "Semua orang pasti pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan di masa lalunya, Dominique." "Kenapa nggak coba dilupain?" Tangan Domi terulur membelai wajah Sena dan pria itu mendiamkannya saja. "Kalau bisa juga saya mau melupakan hal itu." Ada kilat kesakitan yang terpancar di mata Sena ketika mengatakannya. "Kenapa nggak bisa?" "Karena bagian dari masa lalu itu terus hidup sampai saat ini. Itu yang membuatnya sulit." "Kalo gitu kenapa gak coba lo hadapi? Menurut gue, kalo ngelupain itu susah, jangan maksain diri buat lupa. Mending beresin masalahnya, supaya nggak jadi penyesalan lagi. Kalo udah gak ada penyesalan, gak akan lagi jadi masa lalu yang bikin lo sakit." Perlahan Sena tersenyum, kali ini bukan berupa senyum tipis atau senyum samar, tapi senyum geli. "Saya baru tahu kalau ternyata kamu bisa bijak juga." "Dan lo mulai jatuh dalam pesona gue?" Ketengilan Domi kembali kumat, menggantikan sikap bijaknya beberapa waktu yang lalu. "Belum," jawab Sena jujur. "Berarti ada harapan, dong?" sergah Domi cepat. "Kenapa begitu?" balas Sena bingung. "Karena lo jawabnya belum. Kalo belum berarti bisa jadi iya nantinya. Kalo lo bilang nggak akan, baru artinya nggak ada kesempatan." Domi tersenyum penuh kemenangan ketika mengutarakan teorinya itu. Mau tidak mau Sena kembali tersenyum. Salut dengan ketelitian dan kecepatan berpikir Domi. Di balik satu kata singkat yang diucapkannya, Domi berhasil menarik kesimpulan yang bahkan Sena sendiri tidak menyadarinya. "Kalau memang bisa, saya mau." "Lo serius?" Domi merasa tidak yakin dengan pendengarannya. "Kenapa tidak?" Sena mengangkat bahunya santai. "Berdekatan dengan kamu semuanya jadi terasa mudah. Seperti tidak ada beban dan masalah yang perlu dipikirkan." "Lo yakin?" cecar Domi masih tidak percaya. "Kalau masalah yakin jelas belum, Dominique." "Kenapa?" "Kamu itu terlalu muda untuk saya. Rentang usia kita terlalu jauh." "Hari gini masih mikirin umur? Kolot lo, ah!" Dan dengan seenaknya Domi memajukan tubuhnya dan memeluk Sena, membenamkan wajahnya di d**a Sena yang peluk-able. *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD