Setelah dua minggu hidup dalam ketenangan yang menjemukan, ada sedikit perasaan berbeda ketika mendengar suara langkah yang mulai akrab ditelinganya. Tanpa menoleh, Sena bicara, "akhirnya kamu datang lagi."
Mendengar sambutan Sena, Domi yang tadinya berniat mengejutkan pria itu langsung membatalkan niatnya. Domi tidak lagi melangkah pelan namun langsung melompat riang dan memeluk Sena dari belakang. "Ooo, hai! Kedengerannya ada yang kangen sama gue."
"Jangan mengarang kamu." Meski bicaranya ketus, tapi dalam hati ada sedikit rasa lega melihat gadis aneh ini kembali muncul di tempatnya.
"Me? No, no, no! Lo sendiri yang tadi pake kata akhirnya. Which mean, lo tuh nungguin gue dateng. Ya, kan? Ya, kan?" Domi menjulurkan wajahnya lebih ke depan agar bisa melihat wajah Sena. Lucunya, kali ini Sena sama sekali tidak menggebahnya seperti biasa, maka Domi dengan seenak jidatnya terus bertengger di punggung pria itu.
"Terserah kamu." Sena mendengus tapi masih tetap membiarkan Domi bergelayut manja padanya. Sedikit banyak ia lega menemukan Domi kembali bersikap absurd di depannya, ini jauh lebih baik ketimbang sikap canggung gadis itu.
"Jadi gini, Cinta." Domi melepaskan pelukannya pada Sena dan memilih duduk di samping pria itu. "Gue tuh ada job kemarin ini. Makanya gue nggak bisa jagain lo selama ampir dua minggu ini. So sorry, ya?"
"Saya tahu." Sena melirik sekilas pada Domi.
"Lo tau gue ada kerjaan? Kok, bisa? Lo kepoin tentang gue?" Domi mengguncang-guncang bahu Sena dengan brutal.
Sena terpaksa meletakkan alat kerja di tangannya agar tidak ada kecelakaan kecil yang terjadi lagi akibat ulah gadis itu. "Tidak. Saya hanya tidak sengaja mendengar percakapan Lira dan Ika."
"Apa pun itu, gue seneng lo mikirin gue." Domi kembali menyosor rahang Sena yang begitu menggoda untuk dikecup.
Refleks Sena meletakkan telapak tangannya di wajah Domi dan mendorongnya menjauh. "Kamu itu percaya diri sekali."
"Harus itu!" Domi tergelak senang. "Jadi gimana selama gue nggak ada? Lo merana banget, ya?"
"Saya baik-baik saja. Bahkan cenderung damai hidup saya tanpa gangguan dari kamu."
"Aww, itu pujian yang manis, Ganteng! Terus gimana makan lo?" Domi berdiri dan menarik Sena untuk ikut berdiri bersamanya. Diputar-putarnya tubuh Sena beberapa kali. "Lo pasti gak perhatiin makan deh. Dua minggu gue tinggal lo langsung kurusan gini."
"Kamu berlebihan."
"Tapi emang bener, kan? Gue yakin lo nggak akan repot-repot keluar dari pertapaan lo ini cuma buat makan. Buat masak juga terlalu mustahil," cibir Domi.
"Kamu lupa dengan layanan online? Mau apa saja tinggal order, semua yang saya butuhkan akan datang sendiri ke hadapan saya."
"Lo bener juga. Semua yang lo perlu tinggal dateng sendiri ke depan muka lo. Termasuk gue." Domi mengerling nakal.
Sena hanya bisa menggeleng seperti biasa menghadapi tingkah Domi yang seperti ini. Sena kembali duduk dan melanjutkan pekerjaannya. "Dominique, boleh jelaskan apa lagi alasan kamu sekarang untuk menemui saya?"
"Emang kenapa?" tanya Domi cuek.
"Kamu lupa kalau saya hanya bersedia ditemui jika ada urusan dengan pekerjaan?"
"Oh, itu. Gampang!" Domi menjentikkan jarinya di depan muka Sena. "Gue mau daftar jadi murid lo. Les privat. Lima jam per hari. Tujuh hari dalam seminggu."
"Gila kamu!" Sena tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.
"Wah, lo udah bisa mengumpat! Kemajuan yang bagus!" Domi bertepuk tangan dengan senang.
"Bagaimana kalau saya tidak menyanggupi?" Sena bertanya dengan nada menantang.
"Lo pasti mau. Gue yakin." Domi memicingkan matanya sambil tersenyum licik.
"Kenapa kamu seyakin itu?" balas Sena curiga.
"Karena gue paling jago mengancam dan bikin lo tersudut." Domi menaikturunkan alisnya. Dan memang jangan sebut dia Domi jika tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Tidak perlu menunggu lama, Domi sudah berhasil membuat Sena menyisihkan waktu untuk mengajarinya.
"Kenapa lo ngajarinnya kayak gini sih?" protes Domi kesal.
"Memang seharusnya bagaimana?" balas Sena datar.
"Gak tau, yang pasti cara lo salah." Domi berkeras menyalahkan cara Sena mengajarinya.
"Yang guru di sini siapa sebenarnya?" balas Sena mulai sebal.
"Lo."
"Kalau begitu ikuti aturan saya."
"Tapi kalo yang gue liat di film bukan gini. Harusnya lo ngajarin gue sambil duduk di belakang gue." Sementara yang terjadi mereka duduk bersebelahan, sama-sama menghadap meja kecil di depan mereka.
"Lalu saya duduk sedemikian dekat dengan kamu, setengah memeluk tubuh kamu dari belakang, menyatukan lengan kita sambil bermain dengan tanah liat. Begitu maksud kamu?" balas Sena setengah menyindir.
"Tepat!" Domi berdecak senang.
"Bodoh. Tidak ada pelajaran membuat patung semacam itu. Tidak ada orang mengajari membuat patung dengan cara seperti itu," tandas Sena kejam.
"Tapi itu yang sering gue liat." Domi semakin berkeras dengan pendapatnya.
"Saya beritahu kamu kebenarannya." Sena menyilangkan tangannya di depan d**a dan menatap tajam ke arah Domi. "Hal seperti itu hanya ada di film. Atau kalau memang ada di dunia nyata, maka si pengajar pastinya sudah berniat buruk terhadap orang yang diajarinya. Tidak akan ada pelajaran yang didapatkan dari posisi seperti itu selain membangkitkan pikiran buruk dan hawa nafsu dari kedua belah pihak."
"Masa sih?" tanya Domi tidak percaya.
"Sekarang kita coba." Sena bangkit berdiri, berpindah posisi duduk tepat di belakang Domi. Perlahan ia memajukan tubuhnya sampai dadanya menempel dengan punggung Domi. Kedua tangan Sena melingkari tubuh Domi, menjangkau ke depan, menumpangkan telapak tangannya di atas punggung tangan Domi. "Apa kamu bisa berkonsentrasi mendengarkan instruksi saya dalam keadaan seperti ini?"
"..." Domi membeku seketika. Sama sekali tidak menyangka jika Sena bisa berlaku seberani ini. Domi yang biasanya agresif mendadak kikuk di depan Sena yang tiba-tiba berubah dominan.
Melihat Domi membeku dalam lingkupan tubuhnya, Sena tersenyum penuh kemenangan. "Itu yang saya maksud, Dominique."
Domi berdeham, membebaskan dirinya dari kungkungan Sena, kemudian cepat-cepat berdiri. Ia memang senang menggoda Sena, tapi kalau keadaan jadi seperti ini, Domi takut sendiri. Ia gugup. Perlahan Domi beringsut mundur menjauh dari Sena. "Ehm, lo lanjut kerja aja. Pelajaran gue hari ini rasanya cukup."
"Kamu sudah mau pulang?" tanya Sena pura-pura terkejut. Entah kenapa melihat Domi yang begini membuat ia jadi tergoda untuk mengganggunya.
"Emang kenapa?" balas Domi cepat.
"Katanya mau belajar lima jam sehari?" Sena bertanya dengan wajah datar, padahal dalam hati dia sudah ingin terbahak melihat ekspresi Domi.
"Eh?" Domi kebingungan.
"Ini baru juga mulai." Sena melirik jam dinding. "Masih jauh dari lima jam, bahkan satu jam saja belum."
Think, Domi! Think! "Kalo gitu gue nungguin di situ aja. Pojokan gue yang biasa."
"Yakin? Nggak mau saya ajari lagi?" Sena menepuk kursi kosong di depannya yang tadi Domi duduki.
"Nggak usah." Domi menggeleng cepat dan langsung menghambur ke pojokan. Domi harus menenangkan debar jantungnya yang tidak karuan. Tidak pernah dalam hidupnya jantung Domi berdebar dengan kurang ajar seperti ini untuk seorang pria.
***
Semakin lama, Domi semakin leluasa saja menjelajahi tempat Sena, termasuk ruang-ruang pribadinya. Seperti hari ini, ketika Domi tidak menemukan Sena di mana pun juga, dengan berani gadis itu melangkahkan kakinya ke kamar tidur Sena. Sampai hari ini, Domi belum pernah menginjakkan kakinya di kamar tidur Sena karena tempat itu sebenarnya benar-benar terlarang. Tapi Domi yang bebal dan keras kepala, tidak bisa menahan keusilannya untuk mengintip ke dalam sana.
Sampai di depan kamar Sena, Domi sedikit ragu. Ia takut jika pria itu akan marah besar padanya. Tapi ngintip dikit aja gapapa kali. Siapa tau dapet berkat.
Domi mencoba membuka pintu kamar Sena. Ia beruntung. Kamar Sena tidak terkunci. Domi mengintip sedikit, mengedarkan pandangnya ke dalam kamar tidur Sena, dan matanya menangkap sosok Sena yang terbaring di atas ranjangnya. Kok aneh sih? Masa siang-siang gini tidur.
Rasa penasaran membawa Domi membuka pintu kamar itu lebih lebar dan berjingkat-jingkat mendekati tempat tidur. Sena benar-benar sedang tidur dan itu membuat Domi heran. Refleks Domi mengulurkan tangannya untuk memeriksa kening Sena. Hangat.
Menyadari bahwa Sena sepertinya sakit, Domi memilih untuk tidak menggangunya. Ia hanya duduk diam di sisi tempat tidur Sena yang kosong, memandangi wajah pria pujaannya ini sepuas hatinya. Jangan harapkan Domi akan bertingkah seperti wanita-wanita lemah lembut keibuan yang sibuk mengurusi pasangannya ketika sakit, yang sibuk mengukur suhu tubuh, mengompres, membuatkan makanan, dan lain sebagainya. Tidak. Seorang Domi tidak seperti itu, dan ia tidak akan merubah dirinya menjadi seperti itu hanya untuk menarik simpati Sena. Domi adalah Domi, dan ia akan terus menjadi dirinya sendiri, menjalani hidup seperti caranya selama ini.
Menunggu itu membosankan. Begitu juga menunggui orang tidur. Meski wajah Sena begitu menarik untuk terus dipandangi, tak ayal perlahan Domi bosan juga. Akhirnya ia memutuskan untuk berbaring saja di sisi Sena. Lebih baik ikut tidur bersama pria ini daripada terus bengong seperti orang bodoh. Mana tahu nasib baik berpihak padanya hingga saat terbangun nanti ia sudah berada dalam pelukan Sena. Atau lebih hebatnya lagi, Sena akan mengajaknya melakukan aktivitas yang iya-iya.
Sepertinya Domi tertidur cukup lama, karena ketika ia terbangun langit di luar mulai gelap. Beruntung sekarang hari Minggu dan ia tidak perlu datang ke Forty Media untuk live With Us. Ia berniat melanjutkan kembali tidurnya ketika suara Sena mengusiknya.
"Sena?" panggil Domi pelan.
Pria itu masih bersuara, serak dan parau, namun matanya terpejam. Sepertinya Sena mengigau. Menyadari peluh yang membanjiri tubuh pria itu, perasaan Domi mulai tidak enak.
"Sena, bangun, dong! Jangan bikin gue takut, ah!" Domi yang panik karena tidak pernah berada dalam posisi seperti ini sebelumnya, langsung menghambur ke lantai 1, berharap Lira atau Ika belum pulang dan bisa membantunya. Mujur bagi Domi, salah satu karyawan Sena merangkap kaki tangannya itu masih ada di bawah.
"Mbak Dom, kenapa lari-lari?" tanya Lira heran begitu melihat Domi tergesa-gesa menghampirinya.
"Bantuin gue, dong! Bos lo sakit nih. Dari gue dateng tadi dia tidur kaga bangun-bangun, sekarang demamnya tambah tinggi, pake ngigo-ngigo segala pula." Domi menyeret Lira tanpa permisi.
"Udah di ukur suhunya, Mbak?" Lira bertanya sambil mengikuti langkah Domi.
"Belon. Pake apa dah ngukurnya? Meteran?" ujar Domi asal.
"Buset, Mbak! Pake termometer, dong." Lira langsung protes mendengar pertanyaan aneh dari Domi.
"Lo deh yang ukurin."
"Pak Nawanya udah dikompres, Mbak?" tanya Lira lagi.
"Elah! Kaga ngarti gue begitu-begituan. Makanya gue ngibrit nyari lo."
"Hayu deh Lira yang urusin." Lira heran bisa bertemu manusia macam Domi, sempurna-sempurna tapi cacat. Mana ada wanita yang tidak tahu cara mengukur suhu tubuh dan cara mengompres?
"Lo kenapa belon pulang?"
"Belum, Mbak. Nanti jam 7."
"Yah, bentar lagi dong itu sih." Mereka berhenti di depan kamar Sena.
"Gapapa, Lira temenin Mbak Dom. Tapi Mbak, Pak Nawa apa gak bakal marah kalo Lira masuk-masuk sembarangan ke kamarnya?"
"Eh, kalo dia metong, dia kaga bisa ngomelin lo! Gak bisa gaji lo lagi!" sembur Domi sewot.
"Mbak, ih! Serem amat ngomongnya," protes Lira.
Lira sudah ikut masuk ke kamar Sena bersama Domi. Lira mulai mengubek-ubek kamar Sena untuk mencari di mana sekiranya pria itu menyimpan termometer. Ketika tidak berhasil menemukannya, Lira pasrah. Dia tidak peduli lagi berapa suhu tubuh Sena, yang penting sekarang dia harus bisa memaksa bosnya itu menelan onat penurun panas dan mengompresnya.
"Makanya gak usah banyak mikir, kelamaan. Keburu jadi janda gue sebelom dikawin gara-gara lo telat nolongin dia."
"Mbak, masa iya Pak Nawa game over cuma gara-gara demam. Mbak Dom ini lebay deh."
"Tiket BTS gue cancel nih," ancam Domi.
"Jangan dong, Mbak!" Lira berseru panik sambil tangannya dengan cekatan melakukan apa yang biasa ibunya lakukan jika salah satu anggota keluarganya demam seperti ini.
***
--- to be continue ---