9. Anak Ajaib

1831 Words
"Kamu biasa pulang semalam ini setiap hari?" Setelah satu jam lebih menunggu di dalam mobilnya, Sena melihat Domi keluar dari lift menuju parkiran mobil. "Eh?" Domi terkejut ketika mendapati Sena berdiri di dekat mobilnya. "Kamu biasa pulang semalam ini?" Sena kembali mengulangi pertanyaannya yang belum dijawab. "Nggak juga. Lo kenapa masih di sini?" Sial! Padahal gue udah sengaja lama-lamain pulangnya biar gak ketemu, taunya dia masih di sini. "Apa salah kalau saya mengatakan kamu sedang menghindari saya?" tanya Sena penasaran. "Gue tadi ada kerjaan dulu," ujar Domi cepat. Memang hal yang dikatakannya tidak sepenuhnya salah, ada beberapa pekerjaan yang harus Domi selesaikan meski sebenarnya tidak harus malam ini juga. "Sekarang sudah selesai?" Domi mengangguk. "Kalau begitu cepat pulang. Ini sudah sangat larut, tidak baik anak gadis seperti kamu masih berada di luar rumah. Bahaya." Ketika mengatakannya, Sena mendadak merasa sedang berhadapan dengan gadis remaja dan ia berperan sebagai ayahnya. Seketika Sena meringis. "Bokap gue aja nggak pernah kuatir soal gue. Jangankan cuma pulang malem, gue gak pulang juga dia gak peduli." Domi bergumam sendiri sambil melangkah terus menuju mobilnya. "Perhatian ...," ujar Sena sambil tersenyum. "Bukankah itu yang kamu cari selama ini lewat tingkahmu yang ajaib?" "Jangan sok tau!" Domi berhenti melangkah, menoleh dan menatap tajam ke arah Sena. Ini salah satu hal yang Domi benci dari kedekatannya dengan orang lain. Ia tidak suka jika orang lain bisa memahami dirinya, ia tidak suka orang lain menyelami perasaannya dan berujung mengasihaninya. Selama ini Domi bersembunyi di balik topeng sempurnanya untuk menutupi kerapuhannya. "Dominique ..., tadi saya tidak mendengar apa-apa." Sena mengedik santai. "Jadi kamu bisa kembali bersikap seperti biasa. Saya juga tidak mempermasalahkan kesalahan Jovi di segmen pertama tadi." "..." Domi mematung. Tiba-tiba keadaan seperti terbalik. Biasanya dia yang banyak bicara dan Sena yang diam, sekarang yang berlaku sebaliknya. "Jangan diam begitu. Itu tidak cocok untuk kamu." Sena tersenyum mengejek. "Lo aneh." Domi menggeleng bingung. "Tumben banyak ngomong?" "Ketularan kamu." Sena mengambil kunci mobil Domi dan menekan tombolnya. "Ayo, masuk ke mobilmu!" Domi menuruti perintah Sena. Ia melangkah maju, membuka pintu, dan menariknya. Sebelum masuk, ia kembali menghadap Sena. "Sena, thank you udah mau tampil di With Us. Obsesi gue udah kesampean." "Jadi apa kita masih akan bertemu setelah ini?" tanya Sena tiba-tiba. Entah kenapa ia menanyakannya. "..." Domi bengong. Kalau saja tidak ada kejadian tadi, Domi jelas akan terus menyosor Sena. Tapi dengan kejadian tadi, rasa malunya mendadak muncul. Sena yang melihat Domi hanya diam terus, menggeleng sambil tertawa. Untuk pertama kalinya ia tertawa selebar itu di depan Domi. Dan untuk pertama kalinya juga, tangannya terulur ke arah kepala Domi dan menepuknya. "Bye, Dominique!" Sena langsung berlalu dan meninggalkan Domi yang termangu seperti orang bodoh. *** "Serangan fajar lo udah berakhir?" ejek Reiga. "Maksudnya?" Sena tidak mengerti arah pembicaraan Reiga. "Anak itu. Beres kita tampil, dia udah nggak gangguin lo lagi, kan?" "Hmm. Itu sih bukan serangan fajar, Rei. Dia itu datangnya siang, dan nggak akan pulang-pulang sampai sore." Reiga tergelak. "Berarti sekarang tenang dong nggak ada dia?" "Hmm." Sudah empat hari berlalu sejak Sena dan Reiga tampil di With Us, dan sejak malam itu, Domi tidak pernah menemuinya lagi. Tidak satu kali pun gadis itu muncul lagi di galerinya. Apa yang Sena rasakan? Lega? Sedikit banyak ia lega. Namun anehnya, ada sedikit perasaan berbeda yang juga Sena rasakan. Seperti ada yang kurang melihat gadis itu tiba-tiba berhenti mengganggunya, padahal selama hampir satu bulan Domi begitu gencar merusak ketenangan hidup Sena. "Atau jangan-jangan lo malah ngerasa kesepian?" tanya Reiga menyelidik. "Gue sebenarnya biasa aja sih, Rei. Dia datang atau nggak, gak ada bedanya. Awalnya sih terganggu, tapi lama-lama jadi biasa. Dia juga nggak ganggu gue, cuma datang ngajak makan, abis itu duduk diam. Nggak tau juga dia ngapain. Gue sendiri sih tetap bisa kerja." "Kenapa penjelasan lo panjang amat, Bro?" Reiga terkekeh geli melihat reaksi Sena. "Jaga-jaga siapa tau lo punya asumsi jelek." "Maksudnya?" "Ya, kali aja lo mikir ada apa-apa antara gue sama dia." "Kalau memang ada apa-apa juga nggak apa-apa, Bro. Bagus malah." "Rei, jangan kayak emak-emak gitu mulut lo, gak cocok." Sena mendengus sebal. Reiga melirik ponselnya dan menyadari sudah saatnya ia kembali ke Blanc Company. "Gue balik dulu ke kantor." Sena mengangguk dan ikut berdiri untuk mengantarkan Reiga turun dari lantai tiga galerinya. "Lo nggak usah sering-sering ke sini juga, Rei." "Lo itu petapa sejati, Sena. Kalo gak ada yang ngajak lo keluar, lo gak akan keluar. Kalo gak ada yang datengin lo, lo juga gak akan ngajak orang buat dateng. Idup lo gak sehat, Bro!" Reiga menghela napas lelah. Sejujurnya dia benar-benar mengkhawatirkan kehidupan Sena. "Maksud lo gue gak normal?" "Yup. Waktu kemaren-kemaren Anak Ajaib itu selalu ke sini tiap hari, gue sih tenang. Begitu dia nggak nongol-nongol lagi, gue mau gak mau jadi kepikiran sama lo." Perkataan Reiga tidak berlebihan. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan Sena, tapi sepupunya itu terlihat seperti orang yang sedang menghukum dirinya. Sudah begitu lama Sena menarik diri dari pergaulan, menjauhkan diri dari segala bentuk kesenangan, bahkan parahnya lagi, Sena seakan tidak peduli dengan tubuhnya sendiri. "Kalau nggak ada yang maksa lo makan, lo bisa bertahan hidup cuma dari kopi sama rokok doang, kan?" "Lo berlebihan, Rei." Sena mendengus kencang, namun dalam hati ia terpaksa membenarkan ucapan Reiga. Kalau tidak ada Domi yang memaksanya makan dengan berbagai cara absurdnya, Sena bisa tidak makan selama berhari-hari tanpa merasa lapar. "Terserah." Reiga menepuk pundak Sena begitu mereka sampai di depan mobil Reiga yang terparkir di halaman depan galeri milik Sena. "Besok gue minta Freya kirimin makanan buat lo." "Nggak usah berlebihan gitu, Rei." Sena menggeleng. "Gue gak mau dengar penolakan." Dan Reiga langsung menghilang ke dalam mobilnya. Begitu Sena kembali ke dalam, suara cekikian dari kedua karyawannya langsung menerpa indera pendengarannya. Sena sendiri tidak pernah mempermasalahkan jika Lira dan Ika mengobrol di jam kerja, selama pekerjaan mereka terselesaikan dengan baik, apalagi saat ini memang sedang waktu istirahat makan siang. Namun apa yang keduanya sedang percakapkan itulah yang membuat Sena mendadak merasa terganggu. "Ya, ampun! Mbak Dom, keren banget!" jerit Ika dengan suara tertahan. "Iya, ih! Duh gue ngiler banget, envy banget liat body Mbak Dom." Lira menimpali. "Bukan cuma body, mukanya juga cantik banget, gila!" Ika menepuk-nepuk wajahnya sendiri sambil terus memandangi ponselnya. "Kulitnya juga. Ya, Gusti! Coba liat, bening banget." Lira mendekatkan layar ponsel Ika agar dapat melihat lebih jelas. "Gila! Gimana caranya Mbak Dom bisa dikontak sama ELLE gini, sih?" ujar Ika penasaran sekaligus terkejut. "Emang lo gak tau?" balas Lira heran. "..." Ika menggeleng bodoh. "Mbak Dom itu dulunya model pro, tau! Dia lepasin job-jobnya demi beresin kuliah. Keren banget, kan?" Wajah Lira jelas-jelas menampakkan kekagumannya pada Domi. "Sekarang katanya Mbak Dom jadi selektif banget buat nerima tawaran kontrak dari pihak mana aja. Kalo tawaran yang datang itu mewajibkan Mbak Dom lepas jobnya sebagai host With Us, pasti langsung ditolak." "Kok Mbak Lira bisa tau banget sih?" tanya Ika terpana. "Gue tuh langsung kepoin soal Mbak Dom dari pas pertama dia muncul di sini. Gue penasaran banget sama doi." "Gak nyangka Mbak Dom hebat gini, padahal orangnya agak kacau-kacau gimana gitu." Ika meringis mengingat kelakuan ajaib Domi yang kerap membuat mereka geleng-geleng kepala. "Itu tandanya Mbak Dom tuh nggak sombong. Gak sok artis kelas atas, padahal dia bermutu banget." "Iya. Mbak Dom kesannya kayak yang biasa aja, ya." Sampai di situ saja Sena menangkap gosip Lira dan Ika, karena semakin lama mendengar percakapan keduanya, rasa penasaran Sena semakin membubung tinggi. Belum lagi ketika mendengar cuplikan perkataan Lira bahwa Domi rela melepaskan karier modelingnya demi menyelesaikan kuliah, ada sedikit bagian di sudut hatinya yang tergelitik. Karena dirinyakah Domi benar-benar melakukan semua itu? Tapi kalau memang benar, kenapa? Sena menaiki tangga cepat-cepat untuk kembali mengurung diri di bengkelnya. Terlalu banyak mengingat tentang Anak Ajaib itu rasanya tidak baik untuk kesehatan mentalnya sendiri. Ia harus menenggelamkan diri dalam kesibukannya seperti yang telah belasan tahun dilakukannya. Cara terbaik untuk membuatnya berhenti memikirkan wanita yang dicintainya adalah dengan cara itu. Dan sepertinya hal ini juga akan berlaku untuk mengusir gadis aneh itu dari pikirannya beberapa hari terakhir ini. Namun ternyata usaha Sena kali ini berujung gagal. Teknik menenggelamkan diri dalam kesibukan untuk menghardik Domi dari pikirannya tidak berbuah kesuksesan. Gadis aneh itu tetap menari-nari di kepalanya. Setiap kali Sena mencoba fokus pada pekerjaannya, bayangan Domi menemaninya bekerja di bengkel ini terus saja berdatangan.             "My, God! Lo kok kalo keringetan gitu malah makin seksi aja sih. Gue boleh icip keringet lo, gak?" ujar Domi setengah melamun ketika melihat kaus Sena sudah basah bagian punggungnya, belum lagi peluh yang mengalir menuruni rahangnya. "Kamu jangan aneh-aneh, Dominique ...." Sena yang sedang berkonsentrasi pada patung di tangannya mendesis penuh ancaman. "Elah, pelit banget, sih!" Domi berdecak sebal. Tapi ia tetap duduk diam sejauh mungkin dari Sena, sesuai janjinya. "Keringet lo kan ujung-ujungnya kebuang juga. Daripada mubazir kan mending gue jilat." "Dominique, sekali lagi kamu bicara, silakan tinggalkan ruangan ini."   Sena kembali mencoba fokus pada kegiatannya, namun lagi-lagi bayangan gadis aneh itu berkelebatan di kepalanya.   "Sena ...," panggil Domi manja. "Hmm." Sena menyahut tanpa menoleh. Tangannya sibuk mengampelas patung kayu di tangannya yang sedang dalam tahap finishing. Domi mendekat dengan berani. Melanggar peraturan yang Sena tetapkan jika Domi ingin terus berada di bengkel bersamanya. "Sekali-kali pegang gue napa?" "...?" Sontak Sena mengangkat wajahnya menatap Domi dengan tatapan horor. Domi menunduk di depan wajah Sena. Sena ingin menepis wajah Domi, tapi tangannya sedang kotor. Tidak tega juga rasanya mendorong wajah mulus Domi dengan tangannya yang berlepotan serbuk kayu. Melihat Sena yang diam saja, Domi semakin berani. "Lo tiap hari kerjanya megangin patung mulu, apa enaknya sih? Mereka semua tuh keras, kan? Kenapa sih lo gak mau coba megang gue yang kenyal gini?" Sena menggeleng dan langsung kembali menunduk, tidak ingin bertatapan dengan gadis aneh ini. "Dominique, saya rasa kamu sudah sangat hafal letak pintu keluar dan tangga menuju lantai satu." Hanya beberapa menit saja Sena berhasil menghalau bayangan gadis itu sebelum ia kembali teracuni. "Makan, dulu! Ayo!" Domi terus memaksa Sena karena pria itu sudah menunda waktu makannya hampir satu jam. Domi khawatir. "Sebentar lagi." Sena tetap menolak seperti menit-menit sebelumnya. Cup. Dengan berani Domi mengecup bibir Sena. Membuat pria itu hampir terpelanting dari tempat duduknya. "Dominique!" seru Sena marah. Kali ini ia benar-benar tidak bisa menolerir perbuatan Domi. Mana ada ceritanya seorang gadis mencuri ciuman seorang pria, seharusnya yang terjadi itu sebaliknya. Domi tertawa renyah, sama sekali tidak terpengaruh dengan muka garang Sena yang seakan siap melemparkannya keluar sekarang juga. "Sedikit vitaimin biar lo gak lemes." "Kamu ...." Sena ingin marah namun tertahan, tidak ada kata-kata yang dapat ia ucapkan untuk mendeskripsikan kekesalannya. "Mau tambah lagi?" goda Domi sambil mengerling manja. "Mana makanan saya?" Sena tahu Domi tidak akan berhenti menggodanya sebelum ia menuruti keinginan gadis itu untuk makan.   Anak Ajaib itu benar-benar sudah merusak sistem kerja otak Sena. Membuat Sena setengah gila memikirkan penyebab gadis itu tiba-tiba berubah sikap di malam terakhir pertemuan mereka. Domi yang frontal tiba-tiba berubah menjadi canggung. Dan sebelum Sena mendapat jawabannya, gadis itu menghilang ke luar negeri. *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD