Segila-gilanya seorang Domi, ia masih tetap memiliki profesionalitas dalam bekerja. Maka ketika dirinya dan Sena sudah tiba di Forty Media, Domi langsung menjaga jarak dengan pria itu, tidak lagi menempel erat seperti lalat yang terjebak di atas lem. Sena sendiri sampai heran ketika melihat Domi langsung melenggang begitu saja meninggalkan mobilnya tanpa berkata apa-apa. Gadis itu menghilang secepat dia datang. Mereka baru kembali bertemu ketika sudah berada di ruang untuk brief bersama para tim yang lain.
"Gue kira lo gak bakal dateng," bisik Reiga ketika Sena sudah duduk persis di sebelahnya.
"Maunya juga begitu, tapi Anak Ajaib itu sendiri yang jemput gue." Sena balas berbisik. Diedarkannya pandangannya ke sekeliling ruangan, selain dirinya dan Reiga, sudah menunggu beberapa orang yang lain.
"Usahanya hebat banget." Reiga berdecak kagum.
Tepat ketika itu, Domi masuk ke dalam ruangan dan langsung mengambil posisi yang cukup jauh dari Sena. Lagi-lagi hal itu membuat Sena heran sekaligus lega.
"Selamat siang Mas Reiga dan Mas Nawa, terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk memenuhi undangan kami." Sapto membuka pertemuan ini dengan basa-basi yang terlalu basi. "Kami tidak menyangka jika orang sesibuk Anda sudi datang ke tempat kami ini."
"Langsung di mulai saja brief-nya, agar cepat selesai," potong Reiga. Ia malas berbasa-basi busuk seperti ini.
"Oh, baik, baik, Mas. Saya serahkan pada Arum untuk mengambil alih." Sapto membuka tangannya ke arah Arum.
Setan Alas! maki Arum dalam hati. Ia berdeham untuk meredakan ketegangannya. Bayangkan! Gadis mana yang tidak hilang fokusnya ketika diperhadapkan pada dua manusia ganteng sekaliber Tandayu Bersaudara ini? "Iya, jadi sebenarnya brief kita siang ini hanya untuk menindaklanjuti pembahasan yang sudah kita lakukan via e-mail. Apakah ada masukan dari Mas Reiga atau Mas Nawa terkait daftar pertanyaan yang sudah kami lampirkan?"
"Kalau saya tidak ada." Reiga membalas cepat.
"Saya juga." Sena membeo.
"Lo udah baca?" bisik Reiga sambil menatap Sena curiga.
Sena langsung menggeleng. "Belom. Lira yang baca."
Domi sejak tadi hanya diam saja, terus memperhatikan percakapan aneh yang terjadi di ruangan ini. Tim Kreatif yang mendadak kikuk, dua pria itu yang mendadak menyebalkan, namun sekaligus menggemaskan. Suara-suara di ruangan itu seakan hilang timbul, sementara Domi sendiri seolah kehilangan daya upaya untuk berkata-kata. Dia terpesona dengan bagaimana cara Sena berbicara, menatap lawan bicaranya, mengerutan kening ketika mendengar hal-hal yang tidak disukainya, dan tersenyum tipis pada hal yang disukainya.
"Jadi sudah tidak ada masalah, ya, sehubungan dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan nanti?" Arum kembali bertanya.
Reiga dan Sena serempak menggeleng.
Arum tersenyum bingung. Merasa dungu dan bodoh di waktu bersamaan. Tidak tahu harus membahas apa lagi dengan kedua pria ini. "Dari pihak wardrobe sudah menyediakan pakaian yang akan dikenakan nanti, setelah brief Mas Reiga dan Mas Nawa bisa menyempatkan waktu mencobanya."
"Saya pakai pakaian pribadi saya saja." Reiga langsung menolak secara halus.
"Saya juga." Kembali Sena membeo.
Arum mulai mati gaya. "Tolong hadir dua jam sebelum acara dimulai ya, Mas?"
"Ada lagi?" tanya Sena.
"Tidak ada." Arum menggeleng. Seketika rasanya ia ingin menghilang saja.
"Kalau hanya begini, untuk apa memanggil kami ke sini? Via e-mail juga bisa, bukan?" Reiga bertanya dengan nada datar.
"Maaf, Mas. Karena biasanya bintang tamu yang lain banyak permintaan. Tidak seperti Mas berdua ini." Arum mulai terlihat ingin menangis.
"Kalau begitu kami sudah bisa pergi?" tanya Sena lagi. Tidak sabar untuk segera hengkang dari sana.
"Eh, iya. Sudah bisa, Mas."
Begitu kedua pria itu menghilang, Arum langsung menghela napas kencang. "Mas Sapto gimana, sih? Masa semua Arum yang handle?!"
"Emang kenapa? Biasa juga lo yang handle," balas Sapto tanpa dosa.
"Tapi yang ini auranya bikin gue mau mati aja, Mas!"
Pertengkaran di meja itu tidak lagi masuk dalam pendengaran Domi karena ponselnya tiba-tiba bergetar dan nama Reiga muncul di sana.
"Ya, Mas?"
"Ini saya."
Kening Domi langsung berkerut demi mendengar suara Sena. "Eh, kenapa?"
"Kamu bisa pulang sendiri?"
"Eh, i-iya." Domi mendadak gugup.
"Kalau begitu saya pulang dulu."
"Eh, eh, bentar!" Domi jadi panik.
"Apa lagi?" tanya Sena tidak sabar.
"Emang kalo gue bilang nggak bisa pulang sendiri, lo mau nganterin gue?"
"Sayangnya tidak," jawab Sena kejam.
"Terus kenapa lo pake acara nanya segala?"
"Dipaksa Rei."
Domi langsung mematikan sambungan dengan emosi.
***
"Jadi sedekat apa hubungan kalian?" tanya Jovi setelah segmen pembuka With Us berlalu.
"Ih, Mas. Pertanyaan lo ambigu, deh!" Domi menyela sebelum Jovi melanjutkan pertanyaannya. Jangan heran kalau Domi memanggil Jovi dengan sebutan 'Mas'. Panggilan itu khusus hanya untuk di depan kamera saja, demi sebuah pencitraan dan kesan 'mesra' di antara keduanya.
"Eh, salah, ya? Harusnya gue nanya gimana dong? Grogi gue deket-deket mereka," ujar Jovi berlagak meriang sambil mengedip manja. Kalau seperti ini, tidak heran banyak orang yang menduga kalau Jovi itu salah haluan.
"Harusnya lo tanya, sebagai saudara, mereka itu akrab atau nggak. Gitu, Mas." Domi pura-pura terlihat lelah mengoreksi kebodohan Jovi.
"Iya, gitu, gitu maksud gue." Jovi menggoyangkan telunjuknya ke arah Domi. "Ayo, dijawab, dong!"
"Kami sangat akrab," jawab Reiga singkat.
"Ya, contohnya akrabnya gimana, Mas?" cecar Jovi.
Reiga terlihat berpikir sebentar kemudian menjawab dengan ramah, berbeda dengan Sena yang wajahnya terkesan dingin. "Sejak kecil kami selalu dimasukkan ke sekolah yang sama. Kami belajar bersama, dimarahi bersama, dihukum bersama."
"Wah, seru, ya! Kalian emang gak punya saudara yang lain?" tanya Jovi bersemangat. Barangkali saja ada Tandayu lainnya yang potensial untuk dikupas kehidupannya.
"Sebenarnya ada, tapi karena kami sama-sama laki-laki dan seumur, hanya beda dua bulan, makanya kami jadi sangat dekat." Kembali Reiga yang menjawab. Sena sendiri entah sedang apa.
"Nggak terpisahkan gitu dong, ya?" tanya Domi. Ia sendiri baru tahu fakta ini. Kesempatan luar biasa untuk mengorek semua hal tentang kehidupan Sena semakin besar saja.
"Waktu SMA kami pisah. Sena ke luar negeri, saya masih tetap di Indo. Lulus SMA baru saya ke luar negeri juga." Reiga menjelaskan.
"Kuliahnya bareng?" Domi semakin bersemangat. Setelah ini ia akan menginterogasi Reiga secara pribadi soal percintaan Sena di masa remaja.
"Sayangnya nggak. Sena di Aussie, saya di Europe. Jauh."
Domi langsung menunduk lesu, untungnya kamera sedang tidak menyorot ke arahnya.
"Eh, penasaran, dong! Kalian waktu kecil nakal gak sih?" Jovi kembali mengambil alih percakapan.
Ditanya begitu, Reiga dan Sena langsung tersenyum sambil saling melemparkan pandangan.
"Siapa yang lebih sering bikin masalah?" tanya Jovi lagi.
Secara otomatis Sena langsung mengarahkan jempolnya ke arah Reiga meski pandangannya tetap lurus ke kamera, sama dengan Reiga yang masih balas memandang Jovi namun telunjuknya ia arahkan pada Sena. Menyadari hal itu, semua tergelak.
"Kompak banget, ya, kalian." Mata Domi melebar penuh antusias.
"Mas Nawa, ngomong, dong! Dari tadi Mas Rei terus yang jawab."
"Kalo Rei bisa jawab, untuk apa saya buang tenaga," ujar Sena dengan kilat jail di matanya. "Dari dulu, urusan berdiplomasi itu jadi bagiannya Rei, bagian saya eksekusi saja."
"Sekali-kali gantian, dong!" protes Jovi. "Sekarang saya mau kasih pertanyaan khusus buat Mas Nawa, jadi jangan minta Mas Rei yang jawabin, ya?"
"Hmm." Sena mengangguk, kemudian memperbaiki posisi duduknya.
"Mas Nawa baru balik ke Indo tahun ini, kan?" tanya Jovi.
Sena mengangguk.
"Rencana menetap lama di Indo, Mas?" Jovi menyambung pertanyaannya.
"Untuk sementara begitu."
"Jadi ada kemungkinan keliling dunia lagi?" tanya Domi dengan sedikit perasaan tidak enak. Membayangkan tidak bisa lagi menyambangi makhluk seksi ini setiap hari membuat semangat Domi merosot drastis.
"Hmm." Sena kembali mengangguk.
"Gak pengin menetap di sini?" kembali Domi bertanya dengan takut-takut. Takut mendengar jawaban Sena.
"Sejauh ini sih tidak." Sena menggeleng mantap.
"Kenapa, Mas? Nggak ada yang bikin terikat di sini, ya?" celetuk Jovi.
Sena hanya tersenyum.
"Mas Sena, nggak pengin nyusul Mas Reiga?" Jovi mulai usil. Ada seringai licik di wajahnya.
"Nyusul apa maksudnya?"
Perasaan Domi mulai tidak enak. Dia mulai mencium aroma-aroma kebodohan Jovi.
"Berkeluarga?" ujar Jovi tanpa ragu.
"Saya lebih suka sendiri."
"Tapi Mas Sena straight, kan?" cecar Jovi.
Sampai di sini, Domi ingin menelan Jovi, atau menceburkannya ke dalam mesin pengaduk semen, atau menggilasnya dengan buldozer. Sementara kenyataannya dalam live talkshow semacam ini, Domi tidak dapat melakukan apa-apa untuk menghancurkan Jovi, paling bagus juga hanya bisa mencubitnya keras-keras. Tapi sayang posisi duduk mereka berjauhan.
"Tenang, dia ini sukanya sama perempuan kok, tidak suka sama kamu, Jovi." Reiga terkekeh, menanggapi dengan tenang candaan Jovi. Reiga tahu Sena kesal. Bukan karena diragukan orientasinya, tapi Sena kesal karena pihak With Us sudah berjanji tidak akan menyinggung urusan percintaan Sena.
"Habis semua orang tuh bingung, Mas. Kurang apa coba Mas Nawa ini? Fisik sempurna, karir sempurna, usia udah matang banget, tapi masih suka sendiri aja. Atau jangan-jangan Mas Nawa pernah mengalami trauma dalam hubungan, ya?" Jovi yang seakan tidak bisa membaca situasi, tetap saja melanjutkan dengan wajah tanpa dosa.
"Saya hanya belum bertemu wanita yang bisa menggugah perasaan saya." Suara Sena terdengar dingin, dan bersamaan dengan itu, Sena melemparkan tatapan tajam ke arah Domi.
Sampai di sini, Domi rasanya ingin menghilang saja. Baru segmen pertama dan Jovi sudah membuat kekacauan. Bagaimana dengan segmen-segmen selanjutnya? Dengan gelisah ia memberi kode pada Arum melalui kontak mata. Berharap Arum menangkap sinyal darinya dan segera memberikan break. Beruntung Arum cepat tanggap dan segera mengabulkan harapan Domi.
Begitu tayangan beralih ke commercial break, tanpa aba-aba Domi berdiri dan menyeret Jovi menjauh, mencari tempat yang terhindar dari pengamatan orang, bersembunyi di balik properti. Mereka punya waktu berbicara sekitar delapan menit, terhitung jeda iklan dan penampilan dari seorang penyanyi yang juga ikut menjadi bintang tamu malam itu.
"Lo tuh bego apa gimana, sih?" sentak Domi dengan suara tertahan.
"Apaan sih marah-marah gak jelas?" balas Jovi heran.
"Pertanyaan lo, Jop! Kita udah sepakat nggak ada pertanyaan yang menyinggung masalah pribadi Sena, terutama urusan percintaan." Domi menunjuk-nunjuk d**a Jovi.
"Biasa juga hasil brief sama kenyataan di lapangan kan beda, Dom. Nyantai ajalah."
"Gue tuh udah janji sama dia, Jop. JANJI!" Domi berseru tertahan. Ia benar-benar kesal dengan Jovi yang mengacaukan semuanya seperti ini.
"Gak usah ngegas, Dom! Lo aneh banget sih kalo udah urusan dia?" Jovi sendiri mulai jengkel melihat sikap Domi. Mereka itu memang lawan yang sepadan untuk adu mulut, tapi mereka tidak pernah benar-benar bertengkar. Tidak ada kemarahan dari hati selama ini, dan kali ini Domi berbeda.
"Gue tuh jungkir balik buat bisa deket sama dia, Jop. Dan kelakuan lo tadi udah ngancurin semua usaha gue."
"Dom ..., lo serius suka sama dia?" Jovi hampir tercekik ketika menanyakan hal ini.
"Lo pikir gue maen-maen, Bekicot Sawah?!" Domi kembali kesal mendengar pertanyaan Jovi yang jelas-jelas meragukan keseriusannya.
"Lo kan gak pernah serius selama ini." Ia tidak pernah menyangka kalau Domi benar-benar memiliki perasaan untuk Sena. Dikiranya Domi hanya sedang ingin main-main, menjajal wahana baru yang belum pernah dicobanya.
"Kali ini beda, Jop." Domi menggeleng lesu kemudian tersenyum sedih. "Gue sampe rela buang harga diri gue demi bisa dapet perhatian dia. Yang aslinya, itu tuh susah banget. Dia tuh kayak jijik banget sama gue. Dan gue yakin banget setelah ini dia gak bakal mau ketemu gue lagi."
"Sorry." Melihat Domi seperti ini, Jovi jadi merasa bersalah.
Domi mengibaskan tangannya, berbalik dan meninggalkan Jovi untuk kembali ke set. Ia terkejut ketika melihat Sena berdiri tidak jauh darinya. Lidahnya mendadak kelu, dan akhirnya hanya sebaris kalimat singkat yang mampu dikeluarkannya. "Lo ngapain di situ?"
"Penasaran." Sena mengedik santai.
"Penasaran sama apa?"
"Saya baru pernah lihat kamu kesal begitu, biasanya kamu yang selalu buat orang lain kesal." Ada senyum tipis terulas di wajah Sena. Samar.
"Sejak kapan lo berdiri di situ?" Domi takut kalau Sena mendengar mengenai pembicaraannya dengan Jovi soal perasaannya.
"Dari sejak kamu mulai marah-marah sama temanmu itu."
"Jadi lo denger semua?" tanya Domi takut-takut.
"Hmm."
"Lupain aja apa yang lo denger. Anggep lo gak denger apa-apa." Domi tidak ingin Sena tahu yang sebenarnya. Belum.
"Saya kira kamu itu hanya main-main. Saya cukup terkejut kalau ternyata kamu itu serius."
"Never mind." Domi mengucapkan hal yang berlainan dengan hatinya. Mulai sekarang rasanya dia tidak bisa lagi bersikap seenaknya dengan Sena. Dia tidak bisa bertingkah absurd jika Sena sudah tahu mengenai perasaannya yang sebenarnya. Selama ini dia merasa nyaman menggoda Sena, karena toh Sena tidak menanggapinya dengan serius. Tapi sekarang rasanya akan berbeda. Awalnya Domi sendiri mengira ketertarikannya pada Sena hanya sekadar obsesi, tapi perlahan ia menyadari perasaanya lebih dari itu.
***
--- to be continue ---