"Mbak, aku tuh takut dimarahin sama Pak Nawa, lho!" ujar Ika memelas begitu Domi kembali muncul siang ini. Masih terbayang dalam ingatan Ika wajah dingin Sena kemarin sore.
"Iya, Mbak. Pak Nawa itu berkali-kali bilang kalau kita nggak boleh kasih Mbak Domi masuk lagi." Lira ikut-ikutan memasang wajah memohon.
"Kalian dimarahin sama Sena?" tanya Domi ingin tertawa. Wajar saja sebenarnya jika kedua gadis ini dimarahi oleh Sena, karena keduanya selalu meloloskan Domi masuk dengan mudahnya.
"Nggak dimarahin yang gimana banget sih, Mbak. Cuma Pak Nawa tanya, gimana caranya Mbak Domi tiap hari bisa nyelonong masuk tanpa dicegah?" Lira meringis.
"Terus kalian jawab apa?"
"Kita selalu bikin alesan. Kita bilang gak liat Mbak Domi masuk, misalnya pas Mbak Lira lagi nemenin tamu, aku lagi ke toilet, atau apalah gitu," jawab Ika polos.
"Good! Jawab aja terus kayak gitu." Domi mengedipkan sebelah matanya pada kedua gadis itu. "Gue baru order Sulwahsoo lagi, langsung gue kirim ke alamat kalian."
"Mbak Domi, ih! Makasih banget lho. Jadi enak." Ika terkikik kesenangan. Siapa yang tidak bahagia kalau hanya demi meloloskan Domi masuk mereka akan menerima sokongan Sulwahsoo yang harganya selangit bagi kantong anak rantau melarat macam mereka?
"Kapan-kapan kalo ada konser BTS, gue berangkatin kalian berdua." Domi mengedip pada mereka. Domi sengaja mengadakan pendekatan pada kedua bocah ini yang ternyata mabuk dengan segala hal berbau Korea. Maka sekarang, dengan mudah Domi bisa menjalankan konspirasi busuknya bersama mereka.
"Serius, Mbak?!"
"Apa sih yang nggak buat kalian? Udah ah, gue ke atas dulu." Domi pergi begitu saja meninggalkan kedua gadis yang masih ternganga lebar, sedikit lagi liur mereka mungkin menetes. Setelah setiap hari mendatangi tempat ini selama tiga minggu lebih, Domi sudah menjadi sangat terbiasa dengan segala sesuatu yang terjadi di sini.
Domi sekarang sudah tahu kebiasaan Sena, kegiatan pria itu sehari-hari, dan lain-lainnya. Sena itu hampir selalu menghabiskan waktunya di bengkelnya di lantai 2. Sesekali di ruang kerja pribadinya di lantai 3, tapi itu sangat jarang. Urusan menemani tamu yang ingin berkeliling galerinya ia serahkan pada Lira dan Ika. Sena baru akan turun jika ada permintaan khusus dari tamu yang datang untuk bertemu langsung dengannya.
Tanpa ragu Domi langsung menuju bengkel Sena, jam-jam seperti ini pria itu pasti sedang sibuk berkutat di sana. Namun ternyata dugaan Domi salah, kali ini ruangan itu kosong. Domi kembali menyusuri lantai 2, namun hasilnya sama saja. Pada akhirnya Domi menemukan Sena di ruang kerja pribadinya di lantai 3. Pria itu tengah duduk berselonjor dengan mata terpejam. Sungguh pemandangan yang membuat iman Domi goyah. Domi tidak akan menyia-nyiakan kesempatan sebaik ini. Dengan penuh semangat ia segera mendaratkan bokongnya tanpa suara di kursi yang berseberangan dengan Sena untuk menikmati wajah tampan pria itu yang tengah tertidur.
Hampir dua puluh menit Domi menikmati surga dunia, dan semua itu akan segera berakhir ketika akhirnya mata Sena mulai mengerjap. Dengan gesit Domi langsung bangkit dan mendarat di pangkuan Sena, menyandarkan tubuhnya di atas d**a Sena sambil mengalungkan lengannya di sekeliling leher pria itu.
Sena membeku. Tidak bereaksi.
Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Setelah tujuh detik akhirnya Sena bereaksi. "Dominique," ujar Sena dengan suara serak khas bangun tidur yang di telinga Domi terdengar semakin seksi.
"Mimpi indah, Ganteng?" tanya Domi dengan suara dibuat semerdu mungkin.
Sena memejamkan matanya kemabli. "Dominique, bisakah kamu bersikap normal? Sekali saja?"
"Emang gue nggak normal, gitu?" tanya Domi pura-pura sedih.
"Kamu selalu membuat saya jantungan dengan tingkah-tingkah ajaib kamu, Dominique."
"Makasih." Alih-alih tersinggung Domi malah tersenyum manis dan kembali mendaratkan kecupan di pipi Sena.
"Turun, Dominique," desis Sena tajam.
"Udah siap? Baru jam segini lho."
"Siap apa?" Sena balas bertanya.
"Kan tadi lo yang ngajak turun."
"Maksud saya, kamu turun dari pangkuan saya."
"Nggak mau. Enak kayak gini. Lo wangi banget." Dan Dominique dengan seenaknya membenamkan hidungnya di leher Sena, menghirup dalam-dalam aroma pria itu yang membuatnya tergila-gila.
"Dominique, kamu tidak tahu bahayanya melakukan hal semacam ini pada seorang pria dewasa." Sena memaksa lepas dari pelukan Domi. Meski ia tidak memiliki perasaan apa-apa untuk gadis ini namun tetap saja dia hanyalah seorang pria normal yang tubuhnya akan bereaksi jika melakukan kontak fisik seintim ini dengan seorang wanita.
"Gue tau, dan gue mau banget nanggung resikonya," balas Domi menantang.
"Dominique ..., kamu itu ...." Sena menggeleng putus asa. Perlahan sebelah tangannya ia lingkarkan di punggung Domi dan satunya lagi ia selipkan di lipatan paha gadis itu. Setelahnya Sena bangkit sambil membawa tubuh Domi, berjongkok, kemudian mendaratkan tubuh Domi di lantai.
"Tega!" jerit Domi kesal. Ia yang tadinya mengira akan mendapatkan adegan romantis, harus kecewa dengan kenyataan yang ada.
"Masih bagus kamu tidak saya banting, Dominique." Sena mendengus kesal.
Domi menyambar kaki Sena dan memeluknya, menengadahkan wajahnya dan menatap pria itu dengan tatapan tersedih yang mampu ditunjukkannya.
"Mau apa kamu?" Sena bingung sebingung-bingungnya dengan tingkah gadis ini.
"Mau peluk lo kayak tadi."
"Jangan aneh-aneh, Dominique! Ayo, lepas!"
"Nggak mau. Kalo gak boleh peluk badan lo, gue peluk kaki juga gapapa." Domi menggeleng keras dan semakin mengetatkan pelukannya pada kaki Sena.
"Dominique, kalau ada yang melihat kita mereka bisa berpikir yang tidak-tidak." Sena mulai gusar.
"Biarin. Lagian nggak akan ada yang berani naik ke sini."
"Dominique ...." Perlahan Sena menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah Domi sampai ujung hidung mereka hampir bersentuhan. Ketika dirasakannya pegangan Domi mengendur, buru-buru Sena mundur dan menjauh.
"Curang!" Domi menghentakkan kakinya ke lantai.
"Kamu terlalu mudah tertipu, Dominique." Untuk pertama kalinya seulas senyum tipis tergambar di wajah Sena.
"Lain kali gue gak bakal ketipu lagi." Domi mengejar Sena dan bergelayut manja di lengan pria itu. "Berangkat sekarang, yuk! Biar nggak telat sampe sana."
"Berangkat ke mana?" Sena mengernyit sambil mengibaskan tangannya agar terlepas dari pelukan maut Domi.
"Forty Media, Ganteng." Domi mencolek dagu Sena. "Hari ini kan jadwal brief buat persiapan talkshow dua hari lagi. Lupa, ya?"
"Ohh." Sena memang lupa. Tapi setidaknya ini merupakan kabar baik. Sebentar lagi penyiksaan ini akan berakhir dan Domi tidak akan muncul-muncul lagi di tempatnya setiap hari.
"Ayo!" Domi kembali bergelayut manja. Anak ini rupanya memang tidak mengenal kata malu dan menyerah.
"Saya pergi sendiri saja."
"Kok gitu sih? Gue udah bela-belain jemput lo lho." Domi memberengut kesal.
"Tidak jemput saya juga setiap hari kamu memang ke sini, Dominique."
"Biarinlah. Biar kesannya gue udah berkorban banyak banget buat lo gitu."
"Kita berangkat sendiri-sendiri saja," ujar Sena datar.
"Tega, ih! Gue nggak bawa mobil tau."
Sena mengangkat alisnya. "Kamu ke sini naik apa?"
"Taksi online."
"Kenapa tidak bawa mobil?"
"Kan supaya bisa bareng lo," jawab Domi sejujur-jujurnya.
"Kamu tunggu di bawah. Saya mau ganti baju dulu." Sena mengedik ke tangga.
"Gue mau ikut."
"Dominique!" Sena menggeram.
"Oke, oke." Domi cepat-cepat mengangkat tangan meminta berdamai, sambil perlahan mundur menjauh dari Sena. "Gue tunggu di bawah."
***
Hari ini Domi begitu bahagia. Bagaimana tidak? Sejak pagi saja dia sudah mendapatkan suguhan nikmat, wajah Sena yang tengah tertidur. Setelah itu dia bisa duduk di pangkuan pujaan hatinya. Dan sekarang, merasakan duduk di mobil Sena, disetiri oleh makhluk terseksi itu sendiri.
Hari yang sempurna untuk berbuat dosa. Domi tidak bisa melepaskan pandangannya dari profil Sena yang tengah menyetir.
"Leher kamu apa tidak pegal?" Sena memecah keheningan yang melingkupi mereka.
"Hah?" Domi mengerjap bodoh.
"Lihat ke depan. Jangan terus melihat ke arah saya," tegur Sena dingin.
"Berasa ya gue liatin?" tanya Domi tanpa berniat mengalihkan pandangnya dari wajah Sena.
"Bagaimana tidak terasa kalau sejak tadi kamu memandangi saya tanpa jeda seperti itu?" Sena mendengus.
"Gue sih pengennya juga gak terus-terusan liatin lo kayak gini, tapi gue nggak bisa," jawab Domi apa adanya.
"Terserah kamu saja, Dominique." Sena menggeleng lelah. Dia hanya berharap perjalanan ke Forty Media dapat dipersingkat.
"Ganteng, lo kenapa sih dingin banget?" tanya Domi setengah melamun.
"Maksud kamu?"
"Gak ada ramah-ramahnya sama sekali. Muka ditekuk terus. Suram banget liatnya." Berbeda dengan ucapannya yang negatif, wajah Domi tetap sumringah menatapi profil Sena.
"Tidak ada yang minta kamu untuk melihat saya. Kalau kamu tidak suka dengan apa yang kamu lihat, ya tidak usah dilihat." Ketus. Seperti biasa.
"Masalahnya makin lo kayak gini, gue makin gak bisa berpaling, Ganteng."
"Dominique, sebagai seorang perempuan, kenapa kamu itu seolah tidak mengenal kata malu? Kamu bisa mengucapkan apa saja yang sesuka hati kamu, mengucapkan kalimat-kalimat yang terkesan menggoda, bahkan berani bertindak agresif. Apa kamu tidak takut dengan pandangan orang lain?" Akhirnya Sena mengeluarkan juga pertanyaan yang sudah memenuhi kepalanya sejak tingkah gila Domi menghantui kesehariannya.
"Gue gak peduli sama pandangan dan omongan orang, karena orang yang seharusnya peduli sama idup gue aja gak pernah peduli. Dia cuma tutup mata bahkan anggep gue gak ada." Entah bagaimana caranya, dengan mudahnya kata-kata pengakuan itu meluncur dari mulut Domi. Dia yang selama ini menutup rapat luka lama yang menggores hatinya begitu dalam, dia yang tidak pernah mengizinkan siapa pun mengetahui kesedihannya, dia yang selama ini bersembunyi di balik tampilan perempuan setengah gila yang selalu bahagia, kini tanpa sadar mengungkapkan sisi lemahnya di hadapan Sena.
Sena sendiri cukup terkejut dengan pengakuan Domi. Ia sempat melirik dan sekilas menangkap perubahan dalam raut wajah Domi. "Seseorang yang kamu cintai?"
"Ya. Dulu. Dan harusnya dia juga begitu. Tapi nyatanya nggak."
"Tidak seharusnya karena satu orang laki-laki kamu merubah dirimu jadi seperti ini, Dominique."
"Tapi harusnya dia jadi satu-satunya laki-laki yang nggak akan pernah ngecewain gue. Harusnya dia selalu jadi rumah tempat gue pulang, tempat gue ngadu, tempat gue cari perlindungan."
Hening. Keduanya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, sama-sama mengingat masa lalu yang menyakitkan bagi mereka.
"Udahlah, sekarang semua itu nggak penting lagi. Buat gue sekarang, yang penting itu pandangan lo tentang gue." Domi kembali mengenakan topengnya. Wajah ceria dan tidak pedulian.
"Kenapa saya?" tanya Sena tidak mengerti.
"Karena lo orang yang penting buat gue. Pendapat lo penting. Gue gak bilang gue cinta sama lo. Belom. Tapi gue suka banget sama lo," ujar Domi apa adanya. Terlalu dini mengatakan cinta. Bahkan sebenarnya Domi tidak percaya pada satu kata itu. Bahkan cenderung membenci kata itu.
"Kamu terlalu blak-blakan, Dominique." Sena mengulas senyum tipis.
"Lo nggak suka?"
"Saya hanya tidak terbiasa."
"Cobalah belajar terima gue. Gak selamanya gue tuh jelek kok, kadang gue ada bagusnya juga."
"Saya tahu." Sena mengangguk.
"Jadi lo mau deket-deket gue terus?" Mata Domi berbinar-binar.
"Saya usir pun kamu akan tetap datang lagi."
***
--- to be continue ---