"Good Afternoon, Sir!" sapa Domi ceria di depan pintu bengkel Sena.
Sena menoleh tidak terkejut. Dia sudah mulai hafal suara gadis aneh ini. Sena menghela napas lelah. "Kamu lagi."
"Nungguin gue, ya?" ujar Domi sama sekali tidak terganggu dengan reaksi Sena. Dia melenggang masuk dengan santai, tidak menghiraukan tatapan Sena yang tajam menusuk.
"Mau sampai kapan kamu terus datang ke sini?" tanya Sena denga suara rendah. Berusaha meredam kekesalannya akibat gangguan dari gadis aneh ini.
"Sampe gue nggak bernyawa lagi," cetus Domi tanpa dipikir. Gadis itu meletakkan dua buah paper bag di atas meja yang penuh barang, sedikit menggeser alat-alat kerja Sena agar ada ruang di sana.
"Dominique ..., saya serius."
"Sett dah! Serius amat sih lo. Gue cuma mo ngajak lo makan siang." Domi mulai mengeluarkan kotak-kotak makanan dari dalam paper bag yang dibawanya. Menyusunnya di atas meja tanpa peduli tatapan kesal yang Sena lemparkan padanya.
Sena terus mengawasi gerak-gerik Domi, takut gadis itu melakukan hal yang akan mengancam keselamatan barang-barang berharganya. "Tolong jangan sentuh apa pun di atas meja."
"Tenang aja, gak minat gue nyentuh barang-barang lo yang di sini. Gue pengennya nyentuh barang lo langsung," balas Domi sambil mengerling nakal. "Tapi itu bisa nanti, sekarang makan dulu, yuk!"
"Maaf saya tidak ada waktu. Saya sibuk." Sena menolak dengan kejam ajakan Domi.
"Gue tau. Makanya gue bawain makanannya ke sini. Kalo lo segitu sibuknya sampe nggak sempet makan, tenang aja. Gue dengan senang hati bakal suapin lo. Gue rela banget kok."
"Saya tidak lapar." Sena mulai kembali menekuni pekerjaannya, berusaha tidak mempedulikan keberadaan Domi di tempatnya.
"Lo tuh kerja boleh. Tapi tetep harus perhatiin badan lo." Domi berjalan mendekat, menarik kursi yang dapat ditemuinya dan menyeretnya ke dekat Sena. Setelah itu kembali ke meja tempatnya meletakkan barang-barang tadi. "Gini nih kalo nggak ada yang ngurusin. Untung sekarang ada gue. Lo harus bersyukur dipertemukan sama cewek kayak gue, lho!"
Sena diam saja. Mengabaikan ocehan Domi yang membuatnya sakit kepala. Sepertinya dia harus mulai memikirkan untuk pindah dari tempat ini. Keberadaan gadis ini di dekatnya tidak baik untuk kesehatan jantungnya, belum lagi tekanan darahnya yang bisa melejit ke angka berbahaya.
Domi mendaratkan bokongnya tepat di sebelah Sena. Membuka kotak makanan yang dibawanya, menyendok makanan di dalamnya dan mengarahkannya ke depan mulut Sena. "Ayo, buka mulut lo!"
"Dominique, sudah saya bilang, saya tidak lapar." Sena menjauhkan wajahnya.
"Dan udah gue bilang, lo harus perhatiin badan lo. Apa susahnya sih tinggal buka mulut doang? Gak butuh usaha sama tenaga kok." Domi semakin memajukan sendok di tangannya, memaksa Sena membuka mulutnya.
Sena tetap diam saja. Tidak menghiraukan tangan Domi beserta sesendok makanan yang masih berada di depan mulutnya. Bahkan perlahan bergeser menjauh dari Domi.
Domi menggeram kesal. Ia mulai melancarkan jurus andalannya. Mengancam. "Lo pilih, deh! Mau buka mulut lo dan makan, atau mau gue cium?"
Seketika Sena terbelalak. "Jangan main-main, Dominique!"
"Lo tau gue gak maen-maen," desis Domi penuh ancaman. "Gue udah pernah cium pipi lo. Gue sih gak akan keberatan cium lo lagi. Malah pengen banget. Cium bibir lo malah lebih mau lagi."
Dibantingnya alat kerjanya ke lantai dengan kesal. Setengah menggeram Sena merebut kotak makanan dari tangan Domi. "Sini makanannya!"
"Gitu kek dari tadi. Susah banget disuruh makan doang." Domi tersenyum penuh kemenangan. Ia memperhatikan dengan bahagia ketika Sena menghabiskan makanan yang dibawakannya.
"Kenapa kamu harus serepot ini?" tanya Sena setelah makanannya habis.
Domi mengambil kotak makanan yang sudah kosong dari tangan Sena. Ia berdiri, berjalan ke meja, menyimpan kotak makanan bekas Sena dan mengambilkan minum untuknya. "Udah gue bilang dari awal, gue suka sama lo. Gue serius sama perasaan gue. Jadi apa salahnya gue lakuin semua ini buat lo?"
"Salah. Kamu memilih orang yang salah, Dominique." Sena menenggak minuman yang Domi berikan. "Saya tidak bisa menerima perasaan kamu. Saya tidak punya waktu untuk menanggapi gadis muda yang ingin bersenang-senang."
"Lo boleh bilang gue main-main. Tapi gue bakal buktiin kalo gue serius. Gue gak akan mundur cuma karena lo nolak gue kayak gini." Domi mendaratkan kecupan di pipi Sena. "Sekarang kerja lagi sana. Gue gak bakal ganggu lo."
"Kamu mau pergi?" tanya Sena dengan perasaan lega. Berharap pencobaan ini segera berlalu dari padanya.
"Nggak. Gue mau diem di sini." Domi duduk di dekat meja, mencari posisi yang nyaman, kemudian menopangkan dagunya di atas meja. Tidak lupa matanya terus terarah pada Sena.
"Untuk apa?"
"Mau puas-puasin mata gue liat pemandangan indah." Domi tidak bisa menampik suguhan senikmat ini. Sena yang tengah serius bekerja, dengan peluh di wajahnya, otot yang menyembul di balik kaus tipisnya, semua itu membuat Domi tidak bisa berkedip.
Sena mendelik tidak suka.
Domi memutar bola matanya kesal. "Udah tenang aja, gue gak akan gangguin lo. Sumpah!"
Dan sampai sore harinya, Domi tetap diam di sana. Menepati janjinya duduk diam tanpa mengganggu Sena. Ia baru pergi ketika waktu sudah menunjukkan pukul 5, dan Domi harus berangkat ke Forty Media sekarang juga kalau tidak ingin terlambat datang untuk live With Us.
***
"Dom, kamu ke mana aja? Kok akhir-akhir ini jarang keliatan sih?" Jill terlihat sumringah ketika tidak sengaja berpapasan dengan Domi di depan studio 5, setelah selesai live untuk In-Time 12. Sudah hampir satu minggu Jill tidak pernah bertemu dengan Domi di Forty Media, padahal biasanya setiap hari mereka selalu menghabiskan waktu bersama entah untuk sekadar breakfast atau lunch.
"Gue lagi sibuk menjalankan misi," ujar Domi pongah dan sok misterius.
"Misi?" tanya Jill polos.
Domi mengedipkan sebelah matanya. "Misi Maha Penting."
"Misi apaan yang segitu pentingnya, Dom?"
"Menata masa depan."
"Maksud kamu?" Jill tetap tidak mengerti arah pembicaraan Domi.
"Jill, ah!" Domi menghentakkan kakinya dengan sebal. "Masa lo nggak tau sih masa depan yang gue maksud?!"
"..." Jill menggeleng.
Domi berhenti berjalan, menyilangkan kedua tangannya di depan d**a, dan menatap Jill serius. "Gue tuh lagi sibuk prospek masa depan gue, Jill."
"Dom, yang jelas dong ceritanya. Aku nggak ngerti maksud kamu." Jill mulai terlihat frustasi.
"Jillian tersayang, tercinta, termanis, denger baik-baik, ya?" Domi menangkup wajah Jill dengan gemas. "Inget satu-satunya cowok yang bisa bikin gue meriang?"
Memang selama ini hanya satu pria yang pernah Domi akui berhasil mencuri perhatiannya. "Cowok Madrid itu? Yang bikin kamu rela beresin kuliah?"
"BINGO! Pinter deh, lo!" Domi mencubit pipi Jill.
"Emang sekarang dia ada di Indo?"
"Yep! Lo juga tau kok."
"Aku?" Jill mengerjap bingung.
"Profilnya pernah nongol di In-Time Week."
"Aduh, Dom. Tiap minggu juga ada orang yang profilnya dibahas di In-Time Week." Jill lelah berbicara dengan Domi.
"Coba tebak, dong! Radar gosip lo kan bagus banget, Jill."
Kalau Domi sudah bermain seperti ini, Jill terpaksa harus mencoba menjawab. Ia mengajukan satu nama yang langsung terlintas dalam benaknya. Profil tokoh yang baru saja diulas dua minggu yang lalu. "Arcandra Tahar?"
"Yucky! Mana selera gue sama dunia politik?" Domi bergidik.
Jill kembali memutar otak. Ia mencoba mengingat profil menarik lainnya. "Andrew Darwis?"
"Nope." Domi menggeleng cepat.
"William Tanuwijaya?" terka Jill lagi.
"Jill, ah! Gue gak suka pengusaha. Mereka terlalu manis. Cari yang lebih garang gitu!"
"Bingung, ah!"
"Think, Jill! Think!" desak Domi.
"Clue, please ..." Jill memelas.
"Seniman."
Seniman ..., seniman .... "Naufal Abshar?"
"Keren sih, jebolan LASALLE, tapi kemudaan buat gue. Nggak selera."
"Gilang Anom Manapu?"
"Siapa tuh? Gak pernah denger gue."
"Pelukis juga. Garang mukanya."
"Bukan pelukis Jill, pematung."
"Kan kamu cuma bilang seniman," bantah Jill.
"Cerewet, ayo tebak lagi!"
"I Nyoman Nuarta?"
"Gak sekalian Gregorius Sidharta yang lebih sepuh lagi, Jill!" seru Domi kesal.
"Dolorosa Sinaga?"
"Jill! Lo kira gue lesbi?! Cowok Jill, cowok!" Kalau tidak mengingat Jill ini anak manis, ingin rasanya Domi menjambak rambut Jill saat ini juga.
"Tau, ah! Aku nyerah."
"Nawasena Tandayu, Jill!" jerit Domi yang sukses membuat orang lain menoleh ke arah mereka.
"Ohh ..." Wajah Jill berubah datar.
"Lo baru angkat profil dia kan bulan lalu?"
"Iya."
"Terus lo lupa?" tanya Domi sebal. Bisa-bisanya Jill melupakan Sena semudah itu. Tidak bisa dimaafkan.
"Nggak. Cuma gak kepikiran ternyata Mas Nawa yang bikin kamu meriang bertahun-tahun begini."
"Emang dia nggak qualified buat gue?" Domi tersinggung.
"Terlalu qualified malah. Takutnya kamu yang nggak qualified buat Mas Nawa," jawab Jill polos.
"Ah, ah, ah! Udah berani ni bocah." Domi menggoyangkan telunjuknya di depan wajah Jill.
"Aku ngomong kenyataan, Jill. Mas Nawa itu jauh di luar jangkauan kita."
"Maksud lo?"
"Dia itu ..., terlalu sempurna. Tapi dia misterius. Nggak bisa dideketin, nggak bisa disentuh. Terlalu misterius, terlalu dingin, terlalu gelap."
"Shh! Lo ngomongin apa sih? Kayak presenter acara mistis aja lo!"
"Aku kan udah pernah ketemu langsung sama Mas Nawa, Dom."
"Kata siapa dia gak bisa disentuh? Buktinya gue bisa peluk-peluk sama cium-cium dia."
"Hah? Kamu serius?" Jill benar-benar terkejut kali ini.
"Gue tuh mulutnya emang kurang terdidik, tapi gue gak suka boong, Jill."
"Kok bisa?"
"Apa yang gak bisa buat Domi?" ujarnya jumawa.
"Jadi kamu sering ketemu Mas Nawa?" tanya Jill masih tidak percaya.
"Tiap hari."
"Hah?"
"Tiap hari gue ke galerinya. Biasa menjelang makan siang, sampe sore."
"Ngapain?"
"Persiapan buat talkshow."
"Ya, Tuhan, Domi! Mana ada persiapan sama bintang tamu seintens itu?" Jill terbelalak. Tidak percaya dengan kegilaan sahabatnya ini.
"Ada aja. Kalo gue maunya gitu, siapa yang bisa nolak?"
"Emang Mas Nawa nggak keberatan kamu datengin terus?"
"Jelas keberatan."
"Terus kamu tetep dateng?"
"Nama gue Domi bukan?"
"Iya."
"Siapa yang bisa menang lawan Domi?"
"Sejauh ini nggak ada. Luna aja yang pedes gitu selalu kalah."
"There you are! Nggak ada yang bisa melawan kalo Domi udah berkehendak."
"Domi, jangan sembarang ngomong. Nanti Tuhan marah." Jill cepat-cepat mengingatkan Domi.
"Ops! Sorry."
"Kamu ngapain aja tiap hari di tempat Mas Nawa?"
"RA-HA-SI-A!" Domi terbahak kencang dan setelahnya langsung berjalan meninggalkan Jill yang kepalanya masih dipenuhi banyak pertanyaan seputar Domi dan Nawasena Tandayu.
***
--- to be continue ---