"Kenapa sih lo keras kepala banget? Ini cuma acara talkshow, apa salahnya sih lo sanggupin?" Reiga mulai putus asa membujuk Sena yang tetap berkeras menolak tawaran tampil di With Us. Reiga tahu, Sena sama keras kepalanya dengan dirinya sendiri. Jika sudah memutuskan sesuatu, hampir mustahil untuk mengubah keputusan yang sudah dibuat.
"Justru karena ini talkshow, gue nggak minat. Acara semacam itu nggak berkelas, Rei." Sena menjawab tanpa menghentikan kesibukannya. Pria itu tetap asik berkutat dengan patung kayu berbentuk kepala rusa yang tengah diukir bagian matanya. Mengingat ukurannya yang kecil, jelas Sena membutuhkan ketelitian tinggi dalam mengerjakannya.
"Sena, gue yakin pasti ada alasan lain." Reiga memperhatikan sepupunya yang terus saja sibuk sendiri.
"Gue nggak suka publisitas berlebih, Rei." Akhirnya Sena berhenti juga. Diletakkannya patung kepala rusa itu beserta alat yang digunakannya ke atas meja. Sena berdiri, menepuk celananya yang terkena serpihan kayu. Berjalan ke arah wastafel sambil tetap berbicara. "Gue nggak mau terus disorot, karena ini bisa berimbas buruk. Kehidupan pribadi gue pada akhirnya akan terus dikorek, bukan nggak mungkin masa lalu gue bakal terkuak semua di depan publik. It's horrible, Rei."
"Apa yang lo takutin?" tanya Reiga heran. Sena yang ia kenal tidak pernah takut pada apa pun. Ia bahkan terlalu berani, terlalu nekat, dan seorang Nawasena Tandayu tidak pernah peduli akan pendapat orang lain.
"Sejujurnya gue nggak peduli kalau semua orang tahu masa lalu gue, yang gue khawatir kalau sampai Papa Mama tahu soal mereka. Selama ini, kita berhasil menutupi semua jejak mereka dari orang tua gue. Tapi kalau urusan ini di blow up sama media, Papa Mama pada akhirnya bisa tahu tentang keberadaan mereka. Bukan nggak mungkin hidup mereka yang selama ini tenang bakal terusik." Sena duduk di kursi yang berseberangan dengan Reiga. Ia duduk dan menyesap kopinya yang sudah mulai dingin. Sena suka kopi dingin. Rasa pahitnya seolah menggambarkan cerita masa lalunya sementara kondisinya yang sudah mendingin ibarat hambarnya kehidupan yang sekarang dijalaninya. Tanpa warna. Tanpa rasa.
"Ternyata masalah ini yang lo takutin." Reiga mulai paham duduk perkaranya.
"Itulah alasannya gue nggak pernah mau menanggapi tawaran tampil di talkshow, karena bahasannya ke mana-mana. Banyak bahasan di luar konteks, bahkan pertanyaan-pertanyaan polos tapi menjebak nggak bisa dihindari. Berbeda dengan seminar atau workshop, ruang lingkupnya cuma seputar pekerjaan, Rei. Nggak merembet ke urusan pribadi."
Reiga diam mendengarkan alasan di balik penolakan Sena. "Emangnya Om sama Tante masih mau ngusik mereka?"
"Gue nggak tahu, Rei." Sena menunduk, memperhatikan pantulan sinar matahari dari jendela di atas cangkirnya. "Tapi lebih baik menutup semua akses yang bisa membahayakan mereka."
"Gimana kalau kita terima tawaran talkshow itu, tapi kita kasih syarat-syarat ke mereka? Kita seleksi daftar pertanyaan yang bakal mereka ajukan nanti dan buat perjanjian kalau nggak akan ada pertanyaan di luar daftar yang udah kita sepakati." Reiga mencoba menawarkan solusi untuk keengganan Sena.
"Lo kenapa kayaknya semangat banget terima tawaran ini, Rei?" Sena menatap Reiga penuh curiga. "Nggak mungkin kalau alasannnya buat meningkatkan popularitas apalagi pemasukan."
"Pengin aja." Reiga mengedik santai. "Kita belum pernah tampil berdua di media, Bro! Pasti bakal keren."
"Jangan bercanda, Rei!" Sena menggeleng memperingatkan Reiga.
Reiga terkekeh. Ingatannya kembali pada pertemuannya dengan gadis ajaib itu. "Gue suka sama anak itu. Dia lucu."
"Rei, lo nggak merencanakan bikin affair sama anak aneh itu, kan?" Tiba-tiba Sena khawatir. Harus ia akui gadis aneh itu memang cantik, tapi Reiga tidak boleh menyukainya.
"Affair itu bukan padanan kata yang cocok buat gue, Sena. Gue terlalu setia buat berpaling dari Freya, bahkan cuma buat sekadar lirik perempuan lain juga gue nggak minat." Reiga terbahak, menertawakan kekhawatiran Sena yang tidak beralasan.
"Too deep, Bro!" Sena ikut tertawa mendengar kejujuran Reiga, namun dalam hati ia salut pada sepupunya itu. Reiga hanya pernah jatuh cinta satu kali dalam hidupnya, dan sepupunya itu bersumpah hanya akan mencintai satu wanita itu saja. Tidak terhitung anak-anaknya.
"Sama kan kayak lo," balas Reiga cepat. "Cuma sayangnya lo terikat sama orang yang kurang tepat. Lo harus coba lepasin ikatan lo itu, Bro."
Sena menggeleng. Melupakan cinta pertamanya dan satu-satunya cinta dalam hidupnya tidak pernah ada dalam daftar hal yang harus ia lakukan. "Gue nggak berminat, Rei."
"Tapi gue punya feeling lo bakal keluar dari masa berkabung lo. Dan akhirnya lo bakal melepaskan sumpah lo buat hidup selibat, Bro!"
***
"Mas, ini beneran berhasil? Mas nggak lagi boongin aku, kan?" Domi menjerit kegirangan sambil mencubiti paha Jovi yang tengah menyetir di sebelahnya.
"Eh, Nenek Gila! Sakit!" Jovi mendesis sambil menepis tangan Domi dengan sadis.
"Nggak. Serius, Domi. Sena sudah setuju." Terdengar suara Reiga terkekeh di seberang sana.
"Jadi kapan bisa tampil?" Domi sudah tidak sabar membayangkan akan menyeret Nawasena Tandayu ke With Us. Membayangkan sesi-sesi pertemuan yang akan sengaja diada-adakannya sebagai bentuk persiapan sebelum kedua Tandayu Bersaudara itu tampil nanti.
"Sekitar pertengahan bulan depan. Nggak masalah?"
"Gapapa, Mas! Kapan aja aku nggak masalah. Kapan mau mulai brief?" Justru semakin lama waktunya akan semakin baik. Domi jadi punya banyak waktu dan alasan untuk terus menemui Nawasena, lagi dan lagi.
"Semangat sekali kamu," Reiga tergelak.
"Iya, dong, Mas! Udah lama banget aku nungguin kesempatan kayak gini," aku Domi tanpa malu-malu. Malu-malu adalah kata-kata yang tidak pernah singgah dalam pendeskripsian tentang Domi, tidak tahu malu rasanya jauh lebih tepat.
"Kamu atur sendiri saja kapan mau brief. Brief resmi sama saya paling juga satu kali cukup, kan?" goda Reiga.
"Biasanya sih satu atau dua kali cukup, Mas."
"Sama aku sekali cukup. Kalau sama Sena terserah kamu saja." Reiga kembali tergelak.
"Aww, Mas pengertian banget, sih! Makasih lho! Mas Rei terbaik, deh!" Domi mencium ponselnya sebelum mematikan sambungan.
"Ihh, gue kok berasa lagi denger cewek piaraan yang lagi kesenengan abis permintaannya diturutin sama om-om, ya?" sindir Jovi begitu Domi menyimpan ponselnya ke dalam tas.
Domi mendelik tajam ke arah Domi.
"Eh, bener lagi! Lo tuh kesannya kayak cewek selingkuhan si Reiga itu, lho." Jovi tergelak puas.
"Tulul, lo!" Domi menggeplak belakang kepala Jovi.
"Eh, Setan Betina! Gue lagi nyetir. Lo mau kita kecelakaan?" hardik Jovi.
"Ogah! Gue gak mau mampus sebelum ngerasain diperawanin sama laki idaman gue."
"Lagak lo ngomong gitu! Perawan lo udah ilang dari jaman kapan, Bebegig Sawah?" ejek Jovi kejam.
"Bacot, lo! Sekarang anterin gue ke galerinya dia."
"Edan! Lo pikir gue jongos lo? Tadi bilangnya cuma minta anter beli kutang, taunya lo minta dianter lagi nyari kalung buat anjingnya tetangga lo, terus minta anter nyari kue tete, sekarang minta anter ke galeri dia juga?" protes Jovi tidak terima.
"Eh, Bego! Namanya kue ape, bukan kue tete!"
"Lah kan emang bentuknya kayak tete!"
"Wah, kelamaan gak megang yang ori nih anak! Jadi turun kecerdasan lo, Jop."
"Dom, lama-lama gue turunin juga lo di tengah jalan."
"Gapapa. Di tengah jalan depan galerinya Sena aja." Gara-gara Reiga, Domi jadi ikut memanggilnya Sena juga.
Pada akhirnya, tidak ada yang dapat Jovi lakukan selain menuruti titah dari Yang Maha Hina Dominique Francessa. Dia akhirnya menyerah dalam perdebatan panjang mereka dan mengantarkan Domi sampai tiba persis di depan galeri Nawasena Tandayu.
"Turun sana!" Jovi mengibaskan tangannya dengan ekspresi jijik ke arah Domi.
"Makasih Jovi Sastro kesayangan gue." Domi melepaskan sabuk pengamannya, mengecup pipi Jovi, lalu membuka pintu dan keluar.
"Gue tinggal, ya? Lo balik sendiri aja nanti," ujar Jovi sebelum Domi menutup pintu.
"Tenang aja, ada yayang gue di sini."
"Najis, lo! Sana menghilang. Mobil gue udah penuh dosa seharian ditumpangin sama lo."
Domi tergelak kencang dan menutup pintu mobil Jovi. Melenggang penuh percaya diri ke dalam galeri, disambut sapaan hangat dari si cantik nan mungil di balik meja resepsionis. "Selamat sore! Selamat datang di galeri kami. Ada yang bisa saya bantu?"
Domi balas tersenyum. "Sena lagi di lantai dua, kan?" tanya Domi santai. Ia bertingkah seolah-olah sudah sangat hafal dengan kebiasaan Sena. Hasil bocoran dari Reiga, sepupu Sena yang berkhianat.
"Betul, Mbak." Gadis resepsionis itu tersenyum ramah.
"Kalo gitu gue langsung ke atas aja, lo gak usah anterin. Gue udah tau kok tempatnya." Meski otak Domi memang rusak dalam tata bahasa dan tata krama, tapi kemampuan mengingatnya sangat baik. Cukup sekali mendatangi tempat ini, dia sudah hafal ruang-ruang di dalam galeri milik Sena.
"Maaf, Mbak. Boleh tahu dengan siapa?" tanya gadis itu sopan.
"Gue calon istrinya. Udah lo tenang-tenang aja di sini."
Memang pada dasarnya gadis itu terlalu polos, maka dengan mudahnya resepsionis itu percaya saja dengan ucapan Domi dan membiarkannya masuk sendiri mencari Sena. Domi kembali melenggang dengan santai, kali ini mencari Sena di lantai dua. Perkiraan Domi, Sena saat ini tengah menghabiskan waktu di bengkelnya, berkutat dengan patung-patung aneka rupa. Dan ternyata dugaannya tepat.
Domi melihat Sena tengah menekuni sesuatu di hadapannya. Dari kejauhan, Domi tidak bisa melihat dengan jelas apa yang sedang Sena pegang, mungkin kayu, mungkin batu, yang pasti hal itu membuat Domi iri. Ia juga ingin seperti benda itu, berada dalam genggaman Sena, dipandangi dengan penuh perhatian, disentuh dengan lembut dan penuh perasaan.
Domi melepaskan high heels yang dipakainya, ia tidak ingin langkahnya terdengar oleh Sena, setelahnya ia berjingkat-jingkat mendekati pria itu. Kemudian tanpa permisi, Domi mengalungkan lengannya di leher Sena dari arah belakang, tidak lupa mendaratkan kecupan manis di pipi pria itu.
Sena terkejut dan tanpa sengaja menggores tangan kirinya dengan pahat yang digenggamnya dengan tangan kanan. "s**t!" desis Sena kesal.
"Yah, luka. Kok lo gak ati-ati, sih?" Domi langsung melepaskan rangkulannya dan berpindah posisi ke depan Sena. Domi berjongkok dan mengambil tangan kiri Sena yang terluka.
"Kamu yang buat saya terkejut, masih bertanya kenapa saya tidak hati-hati," dengus Sena kesal. Gadis aneh ini lagi-lagi masuk tanpa izin ke galerinya dan kembali mengganggunya dengan tingkahnya yang luar biasa gila. Sepertinya dia harus memperkuat pengamanan di galerinya. Namun rasanya mustahil. Galeri ini memang tempat publik, siapa saja boleh masuk.
"Gue kan cuma peluk lo. Gitu aja kaget." Domi mendekatkan ibu jari Sena yang terluka ke bibirnya untuk menghisap darahnya.
"Jangan dihisap! Kotor!" Sena menjauhkan tangannya dari wajah Domi. "Jelas saya terkejut. Siapa kamu berani peluk-peluk saya seperti itu?"
"Gue Domi. Dan gue bukan cuma peluk lho, gue cium lo juga." Domi tersenyum lebar. Kemudian menarik Sena berdiri. "Cuci dulu tangan lo."
Meski kesal, Sena ikut juga ketika Domi mengajaknya mencuci tangan di sudut bengkelnya. Serpihan kayu bisa saja masuk ke lukanya dan hal itu tidak akan baik. "Tidak perlu kamu ulang namamu saya sudah tahu dan tidak perlu kamu perjelas apa yang kamu lakukan pada saya."
Domi menyalakan keran air dan menempatkan tangan Sena di bawah kucuran air, membantunya membersihkan tangannya yang terluka. "Ah, akhirnya lo inget sama gue, ya? Gue seneng banget." Domi kembali mendaratkan kecupan di pipi Sena.
"Dominique! Tolong jaga sikapmu. Jangan seenaknya menyentuh saya seperti itu." Sena mundur menjauh dari Domi.
"Eh, belum selesai! Jangan mundur-mundur gitu." Domi menarik tangan Sena dan membawanya kembali ke wastafel.
"Sudah cukup. Tangan saya sudah bersih. Lagipula saya bisa mencucinya sendiri, tidak perlu kamu bantu."
"Biarin aja kenapa, sih? Kasih gue kesenangan dikit. Pelit banget, lo!" Domi berdecak sebal sambil mengeringkan tangannya pada handuk kecil yang tergantung di dinding.
"Kamu mau apa datang ke sini lagi?" tanya Sena sambil berjalan menjauh dari wastafel.
"Mau bilang makasih sama lo." Domi ikut berjalan bersama Sena dan mengalungkan tangannya di lengan pria itu.
Sena langsung mendorong tangan Domi menjauh. "Untuk?"
"Udah setuju buat tampil di acara gue."
"Itu terpaksa. Saya melakukannya karena Reiga terus mendesak saya." Sena kini berdiri bersandar di depan jendela.
"Gue gak peduli gimana caranya Mas Rei bujukin lo, yang pasti gue seneng banget." Senyum Domi begitu cerah.
"Saya ingatkan sebelumnya. Tidak ada pertanyaan yang menyinggung urusan pribadi saya, mengerti?"
"Gue gak peduli sama pertanyaannya. Gue cuma mau deket lo doang. Urusan pertanyaan biar tim With Us yang mikir. Yang penting gue jadi punya alesan buat terus dateng ke sini."
"Saya benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ada di dalam kepala kamu. Kamu itu sangat aneh." Sena menggeleng lelah. Berdekatan dengan gadis ini membuat emosinya yang biasa datar jadi naik turun.
"Karena kalo gue gak aneh, gue gak mungkin berhasil dapetin perhatian lo."
***
--- to be continue ---