4. Tandayu Bersaudara

1702 Words
"Selamat siang!" sapa Domi ramah dan sopan. Kali ini ia tidak bisa bergaya sembarangan karena yang akan ditemuinya juga bukan orang sembarangan. Kalau ia bersikap seenak udelnya seperti biasa, Domi yakin ia akan langsung dimasukkan ke dalam karung dan dikirim ke Sungai Gangga oleh yang bersangkutan. "Selamat siang, Bu! Ada yang bisa saya bantu?" Sang resepsionis membalas dengan sama ramahnya. Ingin rasanya Domi memaki. Dia paling benci dipanggil 'Ibu', dia belum setua itu. Tapi demi mewujudkan obsesinya, Domi rela menekan kekesalannya bahkan tersenyum lebih manis lagi. Senyum yang ia tahu akan meluluhkan siapa saja. "Saya Dominique Francessa dari With Us, Forty Media. Saya sudah buat janji temu dengan Bapak Reiga Narendra Tandayu." "Sebentar saya hubungi asistennya dulu, Bu." Sang resepsionis langsung berbicara di telepon, mendengarkan, mengangguk, sambil tetap tersenyum manis. Domi memperhatikan sambil menilai. Harus ia akui, untuk ukuran seorang resepsionis, gadis ini sangat sempurna. Qualified. Blanc Company memang benar-benar sebuah perusahan yang berkelas. Karyawan yang dipekerjakan pun tidak asal pilih. "Ibu Dominique, silakan langsung menuju lantai 27. Gunakan saja lift yang paling kiri. Bapak Thomas akan menunggu di depan lift dan mengantarkan Anda ke ruangan Bapak Reiga." "Terima kasih." Domi mengangguk anggun. Baru kali ini ia memakai lagi seluruh perbendaharaan kata formal yang dimilikinya dan juga ajaran mengenai manner yang diajarkan ibunya sejak kecil. Setelah sekian lama bertingkah seperti pasangan Tarzan, kembali bertingkah layaknya seorang lady membuat Domi meriang. Domi mengikuti instruksi resepsionis tadi. "Selamat siang. Ibu Dominique?" Sapa seorang pria yang sudah cukup berumur begitu Domi menjejakkan kakinya di lantai 27. "Benar. Anda pasti Bapak Thomas." Domi kembali tersenyum ramah. Ya, Gusti! Capek banget dah ini. Kapan Domi bisa jejeritan lagi? Jadi kangen Jopo. Thomas mengangguk. "Mari, Bu! Pak Reiga sudah menunggu." Thomas menunjukkan jalan ke ruangan Reiga, mengetuk pintu dan menunggu balasan dari dalam. "Masuk!" Terdengar suara berat dari dalam ruangan. Thomas membukakan pintu dan mempersilakan Domi masuk. Domi melangkah masuk mengikuti Thomas, duduk di tempat yang Thomas tunjukkan, dan menunggu orang yang ingin ditemuinya. Dari tempatnya duduk, Domi bisa melirik aktifitas Reiga. Pria itu terlihat merapikan berkas di atas mejanya, meletakkan kacamata, baru bangkit berdiri dan berjalan ke arah sofa tempat Domi menunggu. "Siang, Ibu Dominique?" Reiga mengulurkan tangannya. Domi berdiri dan menyambut uluran tangan Reiga. "Panggil Domi saja." "Baik, Domi. Jadi apa yang bisa saya bantu?" Reiga duduk perlahan. Gaya Reiga yang tenang dan berwibawa membuat Domi dilanda kepanikan dan kehilangan dirinya yang biasa. Heran. Padahal bersama Sena saja dia tidak segugup ini. Aura Reiga memang berbeda. Jenis orang yang tidak bisa diremehkan. "Saya butuh bantuan kamu ..., ehm maksud saya Anda ..., ehm maksud saya Bapak-" Reiga memotong ucapan Domi sambil tersenyum lebar. "It's okay! Pakai bahasa yang nyaman saja. Jangan terlalu kaku." "Oke jadi gue ...." Domi menggeleng lagi. Kacau! Lo bego-bego banget sih, Dom! "Maksudnya saya. Saya butuh bantuan kamu. Sangat butuh bantuan dari kamu." "Mengenai apa?" tanya Reiga tenang dan terkendali. "Masa depan saya. Karier saya," balas Domi cepat. Sedikit terburu-buru bahkan. "Kamu butuh pekerjaan?" "Bukan!" Domi menggeleng cepat-cepat. "Kamu tahu kalau saya ini host di acara With Us?" "Sebentar ...." Reiga terlihat berusaha mengingat-ingat. "Rasanya saya pernah lihat wajah kamu. Terkadang istri saya menonton acara kamu. Jovi dan Domi, kan?" "Nah, itu!" Domi langsung bersemangat. "Jadi bantuan apa yang bisa saya berikan?" Reiga kembali bertanya. Masih tidak mengerti arah pembicaraan ini. "Saya mau kamu tampil di acara saya, jadi bintang tamu. Bersedia?" tanya Domi dalam satu kali tarikan napas. "Kenapa tidak?" Reiga balas bertanya. "Jadi mau?" Wajah Domi langsung berbinar-binar. "Ya. Tidak masalah. Saya pikir ada masalah apa." Reiga menggeleng kecil. Merasa lucu melihat kegugupan Domi hanya karena masalah sepele seperti ini. "Masalahnya saya mau kamu bawa sepupu kamu itu." Kening Reiga kini berkerut. "Nawasena Tandayu maksud kamu?" "Betul sekali!" Domi hampir melompat dari sofa. "Kenapa tidak mencoba bertanya langsung pada Sena?" "Sudah saya lakukan." Domi menghela napas, wajahnya berubah lesu. "Lalu?" "Gagal." Domi menunduk sedih. Reiga malah terbahak mendengar jawaban Domi. "Sudah saya duga." Kesal dengan Reiga yang malah menertawakan kesusahannya, Domi jadi mulai berani. "Jadi kamu mau bantu apa nggak?" "Sebenarnya apa tujuan kamu mau mengundang kami berdua?" "Karena kalian berdua itu selalu jadi trending topik. Dua sepupu yang sama-sama hot, ganteng, berprestasi, dan punya banyak kontribusi buat negara." Domi menjelaskan dengan lancar. Jelas mudah. Itu fakta yang semua orang sudah tahu. "Wow! Saya nggak nyangka kami sehebat itu di mata publik." Reiga menggeleng tidak percaya. "Tapi itu beneran, Mas." Domi langsung menutup mulutnya dengan tangan. "Eh, boleh saya panggil Mas Reiga?" "No problem." Reiga mengibaskan tangannya. Ia berdeham pelan, memajukan tubuhnya dan memandang Domi penuh selidik. "Nah, tapi saya rasa, ada alasan lain di balik sekadar alasan yang kamu kasih tahu tadi. Ada hal lain?" "Maksud, Mas?" Seketika Domi kembali gugup. Sial! Orang ini nelenin apa sih tiap hari? Kenapa bisa banget bikin gue terintimidasi? "Karena saya merasa, ada faktor pemicu yang membuat kamu ngotot sekali untuk menyeret kami ke acara kamu. Menyeret Sena lebih tepatnya. Saya hanya opsi tambahan. Plan B, kalau plan A kamu gagal. Benar?" desak Reiga. "Mas Reiga jeli banget, ya?" Domi menggeleng kalah. Menutup mukanya dengan tangan. Reiga tersenyum manis. "Kamu kira gimana caranya saya bisa bertahan di dunia bisnis yang sadis ini, Domi?" "Bener juga." Domi mengangguk setuju. "Jadi mau kasih tahu saya alasannya? Siapa tahu saya jadi tambah yakin buat bantu kamu," pancing Reiga lagi. "Karena saya terobsesi setengah mati sama sepupu Mas itu. Cuma dia satu-satunya laki-laki yang pernah nolak saya." Kali ini Reiga tidak sanggup lagi menahan gelak tawanya. Gadis muda ini sangat lucu. "Ya, Tuhan! Jadi itu alasannya." "Iya. Cuma itu. Tapi kalo nggak kesampean, saya bakal gila." Domi menggeleng frustasi. "Oke. Jadi kalo saya mengiyakan, berarti saya udah bantu wujudin obsesi kamu. Gitu?" Melihat tingkah kocak Domi, hilang sudah semua sikap formal Reiga. Domi bukan jenis orang yang harus dihadapi dengan kekakuan. "Betul banget!" seru Domi sangat antusias. "Sekarang pertanyaannya, apa yang saya dapat sebagai gantinya?" Domi mendelik tidak percaya. Sebentar kemudian meringis. "Mas Reiga ini pebisnis banget, ya?" "Jelas, dong!" Reiga terkekeh senang. "Jadi apa?" "Fee yang besar?" Domi sanggup meminta bayaran tinggi untuk kedua bintang tamu itu, bahkan kalau perlu mengeluarakan dari koceknya sendiri pun ia rela.      "Saya nggak terlalu butuh." Reiga menggeleng. "Publisitas yang bakal menaikkan popularitas Mas Reiga?" tawar Domi lagi. "Saya juga nggak terlalu butuh." Kembali Reiga menggeleng, menahan geli melihat wajah Domi. Domi mulai merasa frustasi. Hal apa yang dapat ia tawarkan sebagai imbalan? Sampai akhirnya terucap tawaran paling absurd yang pernah dilontarkannya. "Saya akan buat sepupu Mas itu melepas status lajangnya." Reiga diam. Merenungkan kata-kata Domi. Selama ini, ia sudah lelah mengingatkan Sena untuk berkeluarga. Sepupunya itu malah terus memilih hidup selibat. Tidak tergoda dengan nikmat yang Reiga kecap sejak memutuskan hidup berumah tangga enam tahun yang lalu. Bagi Reiga, Sena adalah segalanya. Satu-satunya keluarga yang masih dimilikinya. Teman seperjuangan sejak kecil, karena mereka terlahir dengan jarak yang sangat berdekatan, Sena dua bulan lebih dulu darinya. Teman berbagi kenakalan bersama, ketika di masa-masa sekolah mereka dimarahi dan dihukum bersama. Teman berbagi kegilaan ketika remaja, ketika mereka mulai merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis, ketika mencoba hal-hal terlarang terasa begitu menantang. Teman berbagi kekelaman hidup di masa dewasa. Saling menguatkan di kala badai menghancurkan mereka. Reiga ingin melihat Sena bahagia, melepaskan diri dari masa lalu yang mencengkeram kehidupannya. "Kalau yang itu kedengarannya menarik. Cukup sepadan. Tapi apa kamu yakin bisa?" "Mas liat aja nanti. Saya akan buat tanda tangan Mas Reiga ada di bagian saksi pernikahan dalam surat nikah kami," ujar Domi penuh percaya diri. "Ya, Tuhan! Kamu lucu sekali!" Kali ini Reiga benar-benar terbahak kencang dan sulit mengendalikan diri. "Mas nggak percaya?!" Domi mulai kesal. Reiga menggeleng sambil masih dengan sisa tawanya. "Saya percaya. Tapi rasanya perjuangan kamu akan berat, Domi." "Saya nggak peduli Mas." Domi sudah yakin dengan tekadnya. "Kalau begitu selamat datang di keluarga Tandayu, Adik Kecil." Reiga tersenyum tulus. Domi mendadak lumpuh. Tidak percaya akan mendapatkan sambutan seperti ini. Bahkan kalimat Reiga selanjutnya membuat Domi semakin optimis. "Kalau menemui kesulitan, jangan sungkan hubungi kakakmu ini." "Makasih, Mas!" Dengan lancang Domi menghambur memeluk Reiga. Meski terkejut dengan spontanitas Domi, Reiga tetap tidak bisa menahan senyum. Ditepuknya kepala Domi. "Jadi anak baik, ya? Sena itu orangnya susah. Tapi kalo liat kamu yang kayaknya gigih banget ini, aku yakin lama-lama dia bakal luluh juga." "Rei!" Pintu ruang kerja Reiga terbuka. Refleks Domi langsung menjauh dari Reiga dan mundur beberapa langkah. Dilihatnya seorang wanita cantik masuk ke dalam dengan menggengam tangan mungil seorang gadis kecil cantik bersamanya dan membawa bayi laki-laki dalam dekapannya. Gadis kecil itu langsung menghambur ke pelukan Reiga. "Hai, Sayang!" balas Reiga sambil menangkap tubuh gadis kecil itu dan menggendongnya. Reiga kemudian melambai ke arah wanita yang Domi kenali sebagai Freya Alessandra, designer interior berbakat Indonesia sekaligus istri sah dari Reiga Narendra Tandayu. "Sini, sini. Kenalan dulu sama calon anggota keluarga kita yang baru." Domi merasa kikuk seketika. Ia mengutuki dirinya yang bertindak spontan karena terlalu senang dengan tawaran bantuan yang Reiga berikan. Ia hanya berharap Freya tidak akan salah sangka padanya. "Calon keluarga?" tanya Freya heran. Tapi wanita itu mendekat juga dan langsung masuk ke dalam pelukan Reiga. Reiga menurunkan gadis kecilnya dan mendudukkannya di sofa. "Calon istrinya Sena," ujar Reiga terkekeh sambil mengambil jagoan kecilnya dari pelukan Freya. "Bentar, deh. Kamu bukannya Dominique Francessa, host-nya With Us?" tanya Freya cepat. "Benar, Mbak." Domi mengangguk. Ia heran dengan efek yang keluarga ini berikan padanya. Sepasang suami istri ini seolah memiliki aura kuat yang mampu membuat Domi takluk, tidak bisa bertingkah liar seperti yang biasanya ia lakukan. "Kamu calon istrinya Sena? Kok Sena nggak pernah kenalin kamu ke kami, ya?" Wajah Freya terlihat bingung. Mungkin mencoba mengingat-ingat kapan Sena pernah membahas mengenai hal ini. "Belum resmi, Mbak." Domi menggeleng cepat. "Oh, baru rencana, ya? Tapi udah lama pacaran?" tanya Freya sambil tersenyum lebar. Senyum manis yang mematikan. "Belum pacaran, Mbak." Domi menggeleng lagi. Kalau berhadapan dengan Reiga membuatnya merasa kikuk, kini berhadapan dengan Freya membuat dirinya merasa hina. Freya menoleh ke arah Reiga. "Kok aku jadi pusing, ya, Rei?" "Jangan pusing, Cantik." Reiga membelai kepala Freya. "Nanti aku jelasin lengkapnya. Yang pasti kita harus dukung Domi supaya bisa seret Sena ke altar." "Aku sih pasti dukung. Biar Gia sama Ghi jadi punya teman main." *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD