3. Janji Nikah

1625 Words
"Nawa ada?" tanya Domi begitu tiba di lobi galeri seni milik Nawasena Tandayu. "Ada perlu apa ya, Mbak?" tanya seorang gadis muda yang duduk di balik meja resepsionis. "Mau ketemu aja," jawab Domi santai. "Maaf, Mbak. Sudah buat janji sebelumnya?" Gadis resepsionis itu kembali bertanya dengan sopan. "Belom," balas Domi mulai tidak sabar. "Sekali lagi maaf, Mbak. Kalau mau bertemu dengan Bapak Nawa, harus buat janji terlebih dahulu." "Ribet banget sih." Domi mulai mengetukkan jarinya dengan senewen ke atas meja resepsionis. Dia tidak menyangka sepagi ini saja sudah sulit untuk bertemu dengan Nawasena Tandayu. Padahal ia sengaja datang sepagi mungkin. Bayangkan seorang Domi yang biasa masih tertidur lelap sampai siang di hari Sabtu karena sisa hangover semalam, saat ini sudah berdiri cantik di depan galeri milik pria itu, padahal pukul tujuh saja belum. Dan yang lebih membuat Domi heran, resepsionis ini bekerja mulai dari jam berapa memangnya? "Maaf, Mbak. Sudah seperti itu peraturannya di sini." "Maap maap mulu. Daripada minta maap terus, mending panggilin bos lo ke sini." Domi memandangi sang resepsionis malang dengan tatapan penuh intimidasi. Ia sebenarnya sedikit kasihan dengan gadis muda yang wajahnya mulai terlihat pucat, tapi Domi tidak boleh menyerah. Dia harus terus maju agar bisa bertemu dengan target operasinya itu. "Maaf, tidak bisa, Mbak. Bagaimana kalau saya bantu buatkan janji temu dengan Bapak Nawa? Boleh tau nama Mbak?" Sang gadis resepsionis sudah mulai bersiap dengan buku catatan dan alat tulis di tangannya. "Nggak usah bikin janji-janji segala, ribet. Gue pokoknya mau ketemu sekarang. Nanti gue pasti bakal bikin janji sama dia. Janji nikah! Makanya gue mesti ketemu dulu. Mana bisa gue bikin janji nikah kalo gak ketemu sama dia?" Untuk beberapa detik, perkataan Domi sukses membuat gadis resepsionis itu termangu bodoh. Berusaha mencerna perkataan absurd tamu menyeramkan di hadapannya. Setelah berbicara dengan berapi-api, Domi melenggang begitu saja melewati meja resepsionis. Tidak mempedulikan kepanikan gadis resepsionis tadi. Domi tidak peduli meski ia harus berkeliling tanpa arah di galeri milik Nawasena Tandayu yang berukuran lumayan besar. Domi tidak peduli meski ia harus membuka satu per satu ruangan di dalam galeri ini untuk dapat menemukan keberadaan pria itu. Sempat terlintas harapan dalam benak Domi yang kotor untuk menemukan Nawasena Tandayu dalam keadaan setengah telanjang di atas tempat tidurnya mengingat saat ini waktu masih sangat pagi, karena berdasarkan informasi yang berhasil ditemukannya, selain berfungsi sebagai tempat kerja, galeri ini juga menjadi tempat tinggal pria itu. Namun ternyata harapan kotor Domi tidak terkabul, dia sudah menemukan sosok pria itu sebelum mencapai kamar tidurnya. Domi menemukan Nawasena Tandayu sedang termangu sendirian di ruang kerjanya di lantai tiga galeri itu. Pria itu duduk bersandar pada meja, melamun memandangi jendela. Baru melihatnya dalam kondisi seperti itu saja sudah membuat Domi ingin meneteskan liurnya. "Ada apa Lira? Sudah berapa kali saya katakan, jangan mencari saya sampai ke lantai ini," ujar Sena tanpa menoleh. Suara Nawasena Tandayu yang berat terdengar seksi di telinga Domi. "Gue bukan Lira. Gue Domi." Sena berbalik cepat. Memandangi gadis yang berdiri di depan pintu ruang kerjanya dengan tatapan tajam. "Anda siapa?" "Buset, kaku banget sih lo. Gue Domi." Domi dengan berani berjalan masuk tanpa dipersilakan. "Saya sudah dengar nama Anda. Yang saya tanyakan siapa Anda sampai bisa berada di tempat pribadi saya? Di mana Lira?" "Resepsionis lo?" balas Domi. "Asisten saya." Sena melirik jam di pergelangan tangannya. "Resepsionis baru mulai bekerja pukul 9 nanti." "Pantesan. Gue kira lo ngelanggar aturan kerja, pagi-pagi buta udah stand by aja karyawan lo." Domi sekarang sudah berada tepat di depan Sena. "Eh, tapi! Asisten lo tidur di sini juga?" "Tidak. Tapi kalau memang iya, tidak ada urusannya juga dengan Anda," ujar Sena dingin. "Ih, jelas jadi urusan gue dong." "Kenapa? Anda wartawan?" tanya Sena curiga. Dia harus ekstra hati-hati dengan para wartawan yang senang mengorek-orek kisah hidupnya. Mereka begitu penasaran mengapa Sena belum juga berkeluarga sampai saat ini. "Bukan. Gue calon bini lo," balas Domi asal. Wajahnya terlihat serius seolah apa yang ia ucapkan memang sebuah kebenaran. Kerut-kerut dalam langsung menghiasi kening Sena. "Anda dikirim orang tua saya?" "Nggak, gue dateng sendiri." Domi menggeleng cepat. Jangankan dikirim orang tua pria ini, kenal saja tidak. Tapi tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya. "Eh, jangan-jangan lo lagi dicariin jodoh, ya?" "Bukan urusan Anda." "Udah gue bilang gue ini calon bini lo, jadi semua yang berpotensi jadi penghalang harus gue singkirin." "Daripada Anda terus mengatakan sesuatu yang tidak saya mengerti, lebih baik cepat katakan alasan Anda mencari saya." Sena mulai jengah menghadapi gadis muda aneh yang tiba-tiba muncul di galerinya dan menerobos wilayah terlarangnya. "Nah, gitu dong dari tadi!" Domi bertepuk tangan senang. Tanpa menunggu dipersilakan, Domi mendaratkan bokongnya di salah satu kursi ruang kerja Sena. Dia mengatur duduknya agar terlihat secantik mungkin, kemudian berdeham sebelum kembali berbicara. "Jadi gini, gue bakal memperkenalkan diri gue secara lengkap sekali lagi. Nama gue Dominique Francessa, orang biasa panggil gue Domi. Gue cewek yang jatuh cinta sama lo sejak pertama gue liat lo dua taon yang lalu di Madrid. Gue gak yakin lo masih inget sama gue, karena kita baru pernah ketemu sekali dan itu sebentar banget. Biar pun sebenernya gue berharap lo bakal terkesan sama muka gue yang jelas-jelas susah dilupain ini. Tapi, forget it. Gak penting." Domi mengibaskan tangannya ke udara. Sena masih diam saja, memandang dengan takjub kecepatan bicara Domi yang luar biasa. Gadis itu seolah memiliki kantong ekstra di lehernya, semacam tembolok mungkin, namun yang berfungsi untuk menampung oksigen yang memungkinkan Domi untuk bicara tanpa mengambil jeda untuk bernapas. "Sekarang tujuan gue ke sini. Jadi gini, waktu di Madrid gue ngajak lo kenalan dan ngajak lo jalan, tapi dengan kejamnya lo nolak gue dengan alesan, lo gak punya waktu buat hal-hal nggak penting di luar kerjaan," lanjut Domi. "Kalau kamu sudah tahu, kenapa sekarang kembali mengganggu saya?" Cepat-cepat Sena berbicara sebelum Domi kembali merapal mantra panjang yang membuatnya sakit kepala pagi ini. "Karena sekarang gue dateng atas nama pekerjaan, jadi lo nggak bisa seenaknya nendang gue gitu aja kayak waktu itu." Domi tersenyum. Senyum angkuh penuh kemenangan. "Saya tidak mengerti. Tolong jelaskan." "Sure! Lo punya semua waktu gue, mau lo minta gue jelasin berjam-jam di sini sampe nginep juga gue mau." "Nona?" Sena sedikit mengancam. "Tolong jangan buang waktu saya dengan ocehan Anda yang tidak jelas itu." "Gara-gara lo, gue jadi bertekad buat beresin kuliah gue yang udah gue telantarin lama. Gue bertekad suatu saat bakal nyeret lo buat duduk bareng sama gue demi nama pekerjaan. Dan sekarang, gue dateng sebagai host dari With Us. Jadi dengan segala hormat gue mau minta kesediaan lo buat jadi bintang tamu di acara gue." Sena diam saja. Tidak terlihat terkesan dengan penjabaran Domi. "Gimana? Kok malah diem?" tanya Domi tidak sabar. "Saya tidak berminat." Sena menggeleng tanpa perasaan. "Alesannya?" cecar Domi. "Anda salah menghubungi orang. Saya bukan publik figur. Saya pematung. Seniman." "Iya gue tau." "Kalau begitu seharusnya Anda tahu kalau saya biasanya di undang ke acara seminar atau workshop, bukan acara talkshow," tandas Sena. "Emang apa salahnya?" tanya Domi keras kepala. "Tidak ada yang salah. Saya hanya tidak berminat." Sena berjalan menuju pintu ruang kerjanya. "Kalau sudah tidak ada lagi yang ingin Anda bicarakan, silakan tinggalkan tempat saya. Dan lain kali, tolong atur janji dulu sebelum bertemu dengan saya. Satu lagi, jangan pernah sembarangan menerobos tempat pribadi saya lagi." Domi menghentakkan kakinya dengan kesal ketika berdiri. Berjalan cepat menuju tempat Sena dengan penuh kedongkolan. Di depan pintu, dia berhenti persis di depan Sena. Domi memajukan wajahnya, mengikis jarak di antara mereka. "Lo tau? Prinsip hidup gue, aturan ada buat dilanggar. Jadi semua peringatan lo gak mempan buat gue." Begitu Domi meninggalkan ruang kerjanya, Sena menggeleng heran. Baru pernah dia berhadapan dengan gadis seaneh Domi. *** "Berhasil?" Jovi langsung menyambut Domi begitu gadis itu melenggang masuk ke ruang bersantai yang khusus disediakan untuk mereka di Forty Media. Domi diam saja. Dia malah mengempaskan tubuhnya ke atas sofa dan bergelung di sana. Meringkuk dengan wajah kesal seperti kucing gagal kawin. Melihat tingkah Domi, Jovi sudah bisa menebak hasil pertemuannya dengan Nawasena Tandayu. Seketika Jovi terbahak keras. Sangat puas. Jarang-jarang ada momen langka di mana Domi terlihat terpuruk. "Gagal lo, ya?" "Bangke! Cicing maneh!" Domi melempar Jovi dengan bantal duduk yang tadi sedang dipeluknya. *cicing maneh = diam kamu (Sunda kasar) Jovi menangkap bantal dengan gesit, mengembalikannya pada Domi sambil ikut duduk di ujung sofa yang masih kosong. "Dom, lo tuh kenapa jago banget sih menyerap bahasa kasar dari berbagai daerah? Coba kemampuan lo tuh disalurkan ke arah yang lebih bermartabat. Idup sih ngutuk orang terus, terkutuk kan idup lo jadinya!" "Jopo, mo diem kaga lo!" Domi menyodok pinggang Jovi dengan jempol kakinya. Jovi semakin terbahak. Bukannya diam ia malah semakin menyerang Domi. "Tapi bener, kan? Lo ditolak, kan?" "Buat sekarang ini iya. Tapi jangan panggil gue Domi kalo gue nggak bisa nyeret dia buat dateng ke With Us." "Anjir! Udah ditolak gak malu juga lo?!" Domi bangkit dari posisinya yang setengah tidur dan duduk tegak persis di sebelah Jovi. Jari telunjuknya di angkat ke depan hidung pria itu. "Haram buat gue nyerah gitu aja, Jop." "Jadi lo bakal datengin dia lagi?" tanya Jovi takjub. "Nope! Gue punya ide yang lebih bagus," desis Domi licik. Seringainya terlihat mengerikan. "Rencana busuk apa yang lagi yang ada di kepalo lo?" Jovi menyentil kening Domi. "Gak bakal gue bilang sama lo. Nanti aja kalo udah berhasil, baru gue kasih tau." Domi melompat dari sofa dan berdiri tegak. "Sok rahasia-rahasiaan lo. Nanti aja kalo gagal lagi, ujung-ujungnya lo ngerengek ke gue juga." "Berisik lo! Nurunin semangat gue aja. Doain gue napa?" desi Domi sambil berjalan menjauh dari Jovi. Ia harus merencanakan misi selanjutnya dan menyongsong kesuksesan yang tengah menari-nari di hadapannya. "Gue selalu doain lo, Dom. Gue berdoa banget supaya Tuhan buka jasa layanan retur barang. Gue mau retur otak lo yang cacat permanen." *** --- to be continue ---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD