Hanya tinggal beberapa menit lagi tersisa sebelum bel tanda masuk kelas berbunyi. Sora berjalan dengan cepat menuju kelasnya sambil masih bertengkar dengan Rei. Pemandangan seperti itu sudah menjadi hal yang biasa terjadi di koridor lantai dua.
Keributan yang terjadi diantara mereka terhenti saat melihat Seowoo yang sudah berada di dekat pintu masuk kelas mereka, tengah berdiri sambil bersandar pada dinding sebrang pintu masuk.
Penampakan Seowoo berada di koridor kelas bawahnya adalah pemandangan yang tidak biasa. Tentu saja hal itu membuat para siswi yang kelasnya berada di lantai dua berusaha untuk mencuri perhatiannya. Ada yang hanya memperhatikan secara sembunyi – sembunyi, ada juga yang langsung terang – terangan berusaha menyapa Seowoo sambil berpura – pura berjalan melewatinya.
Keramaian yang tidak biasanya terjadi di depan kelas sebelas B tersebut benar – benar menunjukkan kekuatan dari visual Seowoo yang tidak main – main. Rei bahkan mengakui bahwa aura Seowoo sudah seperti seorang model.
“Seowoo sunbae?” , tegur Rei sambil menghampiri Seowoo lebih dekat dan diikuti oleh Sora di belakangnya.
Melihat orang yang ia tunggu sejak tadi datang menghampirinya, membuat Seowoo melayangkan sebuah simpul senyum menampakkan giginya yang tersusun dengan begitu rapi. Sora sendiri pun terkagum – kagum melihatnya. Ia tidak menyangka betapa sempurnanya proposal visual Seowoo.
“Akhirnya kau datang juga, sepupu.” , sapa Seowoo sambil melambaikan tangannya pada Sora.
Mata Sora terbelalak. Ia menaikkan sedikit alisnya mendengar panggilan yang baru saja senior kelasnya tersebut katakan. Namun sedetik kemudian dia mengerti apa yang Seowoo maksud sambil melihat siswi – siswi di sekelilingnya dan tertawa garing, “Ah.. haha, iya.”
Seowoo berjalan menghampiri Sora diikuti dengan tatapan siswi – siswi sekitar yang tengah memperhatikan mereka dengan sembunyi – sembunyi ataupun terang – terangan. Sora tidak mengerti hal apa ini, namun ia merasakan ada aura yang begitu kuat hingga membuatnya bergidik kala Seowoo berjalan semakin mendekatinya. Kharisma Seowoo entah bagaimana benar – benar terpancar kala dikelilingi oleh penggemarnya yang adalah siswi – siswi yang ada di sekolah ini.
“Kenapa tadi kau tidak datang latihan?” , tanya Seowoo sambil menatap Sora dan Rei bergantian seperti sedang menginterogasi, meminta Sora menjelaskan bagaimana ia bisa berakhir bersama dengan Rei dan bukannya mengikuti pelatihan pagi.
Sora yang merasa canggung untuk menjawabnya hanya tertawa garing sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Mengatakan alasan sebenarnya pada Seowoo terasa begitu memalukan ditambah semua perhatian ini.
“Ah, haha, aku.. Aku sedang berhalangan.” , jawab Sora dengan nada semakin merendah di akhir kalimat.
Seowoo mengangguk mengerti, “Ah geurae (Ah begitu).. Kenapa kau tidak bilang padaku sebelumnya? Pesanku juga tidak kau respon, aku khawatir.”
Rei membelalakan mulutnya tidak percaya dengan apa yang baru saja Seowoo katakan dengan terang – terangan. Ia menggeleng memikirkan betapa liciknya Seowoo yang menfaatkan isu Sora adalah sepupunya untuk bisa lebih dekat dengan Sora. Juga dengan bebas tanpa harus mengkhawatirkan penggemarnya yang akan mencurigainya dan mengulangi kejadian terror pada Sora sebelumnya.
Yang ditanya pun sama terkejutnya dengan Rei. Sora sama sekali tidak menangkap apa maksud Seowoo bersikap seperti ini, “Ah.. Maaf sunbae. Sepertinya aku lupa membawa ponselku lagi. Lagipula aku sudah meminta meminta ijin pada pelatih dan ia mengijinkan.” , jelas Sora yang entah mengapa membuat Rei puas dengan jawaban Sora.
“Ah kenapa masih saja berpura – pura?”
“Ne (Apa maksudmu)?” , Sora semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini.
Seowoo memasukkan tangannya dan menengadahkan kepalanya menghela nafasnya seolah –olah ia sudah lelah dengan sikap Sora yang masih menganggapnya orang asing, “Panggil saja aku oppa seperti biasa. Kita tidak perlu lagi berpura – pura. Semua orang sudah terlanjur mengetahuinya.” , jelas Seowoo lantang sambil menaikkan kedua alisnya memberi kode. Tidak ada sedikitpun keraguan pada kalimat yang ia ucapkan.
Semua orang disana tidak terkejut mendengar hal itu karena mereka sudah terlanjur mengetahui fakta palsu tentang Sora dan Seowoo yang adalah saudara sepupu. Terkecuali Sora dan Rei yang mengetahui fakta yang sebenarnya. Mereka berdua terkejut, saling memandang tidak percaya atas apa yang baru saja Seowoo katakan.
“Ah, sudah waktunya masuk kelas.” , ujar Seowoo sambil melihat jam tangan yang melingkar di tangannya, “Ah iya, ibuku menyuruhku untuk mengajakmu makan malam bersama nanti. Pulang sekolah nanti, tunggu aku ya. Kita pergi bersama saja.” , tambahnya sambil menepuk bahu Sora sebelum benar-benar pergi dari sana.
Saat Seowoo berlalu pergi, saat itu juga semua siswi-siswi yang melihat tadi kembali ke kelas mereka masing-masing, meninggalkan Sora dan Rei yang masih berdiri di tempatnya. Mereka terdiam dan saling pandang berusaha mendapatkan penjelasan atas apa yang baru saja mereka lihat tentang Seowoo.
“sepertinya kepalanya habis terbentur sesuatu saat latihan tadi.” , celetuk Rei membuka suara.
Sora mengiyakan, “Aku juga berpikir seperti itu sejenak tadi. Apa kau tidak penasaran, Rei?”
“Hm? Penasaran soal apa?” , tanya Rei sambil berjalan masuk ke kelas terlebih dahulu, diikuti oleh Sora di belakangnya.
“Siapa yang pertama kali menyebarkan isu aku dan Seowoo sunbae adalah sepupu? Bahkan para guru pun mengetahui hal itu.”
Rei menarik kursinya dan mendaratkan pantatnya dengan mulus sambil memikirkan apa yang baru saja Sora katakan, “Entahlah.. Kenapa? Apa kau ingin berterima kasih padanya atau memarahinya?”
“Tidak juga. Aku hanya penasaran. Tapi kalau dipikir-pikir, ini lebih baik daripada isu aku dan Seowoo sunbae adalah pasangan. Hiiii.. Aku benar-benar tidak ingin merasakan hal seperti itu lagi.” , jawab Sora benar-benar menggetarkan tubuhnya bergidik ngeri membayangkannya. Rei terkekeh kecil melihat Sora seperti itu.
***
Sepulang sekolah, Rei mampir ke sebuah rumah apartemen bersusun yang berisi tempat pegadaian, tempat latihan yoga, dan juga tempat les piano. Tempat itu berada di antara toko-toko dan juga café yang tidak jauh dengan pasar kuliner di belokan ujung jalan.
Sebelum masuk ke dalam, ia melihat sekeliling dan mengecek kembali foto tempat yang telah dikirimkan padanya. Dia telah sampai di tempat yang tepat. Segera dengan tidak ragu lagi, ia pergi ke sisi gedung tersebut untuk memakirkan sepedanya.
Ketika akan melangkahkan kakinya memasuki gedung tersebut, ia berhenti sebentar dan melirik sebuah café yang ada di sebelah kiri gedung tersebut.
“Tidak mungkin aku datang dengan tangan kosong.” , gumamnya sambil melangkah menuju café tersebut.
Setelah berhasil mendapatkan segelas es kopi di tangannya, ia dengan percaya diri memasuki gedung tersebut. Tempat yang ia tuju berada di lantai dua. Beberapa saat ia baru melangkah masuk ke dalam, dirinya sudah disambut oleh tatapan pria dengan bahu besar dan tubuh yang berotot tengah menatapnya datar dan tajam dengan mata kecilnya. Pria tersebut tengah duduk di balik jeruji besi dengan lubang berbentuk persegi di depan wajahnya dan juga papan bertuliskan Pegadaian serta tanda bertuliskan buka.
Tidak mau berlama-lama lagi bertatapan dengan pria bertubuh besar berotot yang hanya memakai kaos tanpa lengan tersebut, segera Rei membungkukkan badannya menyapanya dan juga memberi hormat sebelum melangkah naik ke lantai atas.
“Pegadaian apanya? Ia lebih terlihat seperti lintah darat.” , celetuk Rei.
Saat langkah kakinya hanya tinggal menaiki beberapa anak tangga lagi, ia sudah bisa mendengar suara alunan piano yang teredam. Semakin ia mencapai ujung tangga, suaranya semakin jelas. Awalnya Rei sedikit terkejut dengan perbedaan suasana yang ada di lantai satu dan lantai dua. Lantai satu tempat pria menyeramkan tadi suasananya benar-benar suram ditambah cat dinding berwarna putih yang sudah pudar dan kotor, pencahayaan yang hanya dari beberapa lampu yang masih menyala. Kontras sekali dengan suasana di lantai dua yang di d******i dengan cat dinding berwarna hijau muda dan juga cahaya matahari yang masuk menerobos kaca jendela yang tertutup, ditambah suara alunan piano samar-samar dari sebuah ruangan tertutup yang satu-satunya ada di lantai dua gedung tersebut.
Merasa sangat yakin disinilah tempatnya, Rei dengan percaya diri langsung berjalan menuju pintu geser sebuah ruangan berwarna abu-abu yang ada di sana. Seperempat bagian dari atas pintu tersebut terdapat kaca jendela yang memang sengaja didesain seperti itu agar orang lain bisa mengintip ke dalam, tepat seperti yang sedang Rei lakukan saat ini. Dengan postur tinggi badannya, ia tidak perlu berjinjit untuk melihat banyak ke dalam ruangan tersebut.
Dari jendela pintu tersebut, Rei bisa melihat hampir keseluruhan sisi ruangan di dalam. Dinding putih bersih dengan piano hitam besar yang begitu mencolok di tengah ruangan, serta tidak terlalu banyaknya barang yang ada disana membuat semuanya tampak bersih dan rapi.
Di bangku piano tersebut, terlihat seorang anak perempuan sedang memainkan tuts-tuts piano dengan jari-jari kecilnya yang berusaha keras untuk menjangkau kunci dengan tuts-tuts yang berjauhan. Di pojok dekat vas bunga besar, seorang wanita berperawakan gemuk yang diduga ibu dari anak perempuan tersebut, tengah duduk memperhatikan dengan seksama. Sedangkan wanita yang tengah berjalan santai mengitari anak perempuan dan juga piano tersebut sambil memeriksa nada dan tempo yang dimainkan sudah tepat, ia adalah Yuri. Pemilik tempat les piano ini.
Saat berjalan mengitari, manik Yuri menangkap Rei yang tengah mengintip dari luar. Seketika itu, ia berhenti sebentar dan melemparkan sebuah senyuman padanya. Rei yang menyadari hal itu langsung membalasnya juga dengan senyuman. Tak lupa ia mengancungkan es kopi yang ia bawa. Yuri terkekeh geli, dengan isyaratnya ia mengetuk-ngetuk jam tangan yang melingkar di tangan kirinya dengan telunjuk kanannya mengisyaratkan untuk menunggunya sebentar lagi. Rei mengangguk mengerti, ia pun pergi menjauh dari pintu dan mengistirahatkan tubuhnya pada kursi tunggu yang ada di dekat jendela.
Sanbil menunggu, ia mengeluarkan ponselnya dan membuka akun sosial medianya. Melihat kegiatan keseharian teman-teman sekelasnya di luar jam sekolah benar-benar membosankan. Terkadang ia tidak habis pikir, mengapa ia berteman dengan akun teman-teman sekelasnya disaat ia memiliki nomor kontak mereka semua dari grup kelas jika ada yang ingin ia bicarakan, dan juga mereka bertemu hampir setiap hari dan menghabiskan waktu setengah hari bersama-sama berada di ruangan yang sama. Hanya untuk formalitas, pikirannya yang lain yang menjadi dalang dari pertemanan akun sosial media menyaut.
Akhirnya, ia pun membuka akun sosial medianya yang lain, yang menggunakan nama palsu dan id kata acak yaitu Toast. Akun tersebut begitu tertutup dan hanya berteman dengan Sora. Karena pada dasarnya akun tersebut ia buat untuk memata-matai Sora. Namun, bukan dalam konteks yang negatif, melainkan untuk memberinya dukungan dan semangat.
Teringat setahun yang lalu ketika Sora datang ke kamarnya dengan tiba-tiba dan membuka pintu kamarnya dengan keras, dan membuatnya yang sedang berbaring santai sambil memainkan ponselnya terkejut hingga menjatuhkan ponselnya dari tangannya yang mendarat tepat ke atas wajahnya.
“REIIIII! KAU PASTI TIDAK AKAN PERCAYA INI!” , sahut Sora dengan mata yang membesar dan mulutnya yang tidak berhenti menganga sambil melihat ponselnya dengan wajah berseri-seri.
“Kau kenapa?” , tanya Sora polos saat melihat Rei tengah mengusap-usap hidung dan dahinya.
Dengan wajah kesal, Rei bangkit dan mengganti posisinya menjadi duduk, “Kau yang kenapa membanting pintu kamarku! Rasanya tulang hidungku retak.” , wajah Rei terlihat meringis saat ia mencoba untuk meraba tulang hidung mancungnya yang terbentur bagian bawah ponselnya.
Sora hanya nyengir sebagai bentuk rasa bersalahnya yang tidak benar-benar merasa bersalah karena telah melakukan hal itu, “OH! OH! Rei! Rei! Reiiiii!” , tidak menyadari kesalahannya, Sora masih dengan kegirangannya menghampiri Rei dan duduk di sebelahnya. “Lihat ini, lihat, lihat! Aku sepertinya punya penggemar!” , tambahnya sambil menunjukkan layar ponselnya pada Rei.
Rei yang belum menangkap apa maksud Sora hanya menaikan sebelah alisnya saat Sora menatapnya untuk menunggu responnya, “Penggemar.. apanya?” , tanya Rei sambil berusaha menangkap hal yang berusaha Sora sampaikan melalui mimik wajahnya yang berbinar-binar dan terlihat senang sekali.
“Ish, Reiiiiii!” , keluh Sora. Ia pun mencari-cari bukti lain untuk mendukung deduksinya. “Ini lihat. Lihat baik-baik! ini, perhatikan akun Toast ini. Dia menyukai semua postingan gambar desain yang aku posting di akun sosial mediaku. Dan tadi dia mengomentari gambar desain yang baru saja aku upload beberapa jam yang lalu. Dia berkomentar bahwa dia menyukai desainku. Ya ampun Rei, aku senang sekali!” , jelas Sora bersemangat sambil mengayun-ayunkan kakinya senang.
Melihat Sora seperti itu, Rei menaikkan ujung bibirnya tersenyum kecil, “Wah selamat ya. Tidak menyangka ada manusia yang mengagumi gambar anak TK seperti itu. Kau yakin penglihatannya baik? Aku sedikit khawatir dengannya.”
Masih dengan senyum sumringah di wajahnya, Sora menghantamkan sikutnya pada pinggang Rei dengan tiba-tiba. “Bilang saja jika kau iri.” , sindir Sora.
Rei memegangi pinggangnya yang baru saja mendapat serangan dadakan, “Cih. Lalu apa yang akan kau lakukan padanya?”
Sora menggoyang-goyangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, “Aku akan membalas komentarnya dengan sepenuh hatiku.”
“HA!” , Rei meledek.
“Sudah aku balas. Aku jadi bersemangat untuk membuat desain lainnya. Sampai nanti, Rei.” , pamit Sora yang langsung keluar kamarnya.
‘Apa-apaan dia ini..” , Rei kembali meraih ponselnya dan melihat ada satu notifikasi balasan komentar dari Sora.
Hingga saat ini, Sora masih belum mengetahui jika akun tersebut adalah Rei yang menyamar. Walaupun begitu, Rei senang bisa menjadi penyemangat untuk Sora. Setidaknya Sora lebih mendengarkan Rei sebagai akun Toast dibandingkan Rei sebagai Rei yang Sora kenal sebagai pengganggu, pikir Rei.
Teringat Sora, dalam pikirannya terlintas sekelebat ide yang membuat salah satu ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyum yang terlihat jahat. ia berinisiatif untuk mengirim pesan pada Sora dengan maksud untuk mengejeknya yang harus pulang dengan berjalan kaki dan naik angkutan umum.
Bagaimana perjalanan pulangmu?