BAB EMPAT

2855 Words
Seperti biasanya, setiap hari Minggu adalah waktunya bersih-bersih rumah untuk Sora. Walaupun Ayahnya Sora menghasilkan banyak uang dari pekerjaannya dan membayar seorang asisten rumah tangga bukanlah apa-apa, Sora menolak untuk mempekerjakan asisten rumah tangga di rumah. Setidaknya Sora merasa berguna saat memliki tanggung jawab walaupun hanya sekedar membersihkan rumah dan memasak. Ia tidak bisa berdiam diri tidak melakukan apa-apa, tubuhnya selalu menolak untuk bermalas-malasan seharian. Seperti yang sedang ia lakukan hari saat ini, kegiatan rutin hari Minggu. Ia sudah pergi meninggalkan rumah dengan sepatu larinya sejak matahari belum terbit. Ia sadar betul walaupun Ayahnya adalah seorang dokter, bukan berarti ia tidak perlu khawatir dengan kesehatannya. Sebaliknya, karena Ayahnya seorang dokter, ia harus menjaga kesehatannya. Dan juga ia berniat melatih staminanya untuk pertandingannya nanti. Tidak ada yang tahu berapa lama pertandingannya akan berlangsung, tetapi ia tetap harus menjaga staminanya untuk berjaga-jaga. Berlari dengan tempo yang terjaga, Sora melintasi jembatan Jamsu sambil bermandikan sinar matahari pagi yang sudah menampakan sosoknya. Berkeringat dengan nafas terengah-engah membuat Sora bahagia. Ia suka dengan sensasi saat badan berkeringat mengeluarkan panas, detak otot jantungnya yang semakin kencang seiring kecepatannya berlari, dan juga momen saat ia harus mengatur nafasnya agar tidak mudah lelah saat berlari. Sora melanjutkan larinya hingga ke taman Banpo Hangang yang tidak jauh dari sisi lain jembatan Jamsu. Ada banyak orang yang mengawali paginya sama seperti Sora. Anak-anak bersepeda dengan orangtua ataupun teman-temannya, hingga para lansia yang sekedar jalan santai sambil berjemur matahari pagi. Sora melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya menunjukkan bahwa ia sudah berlari selama tiga puluh dua menit. Ia merasa puas, karena ada peningkatan dari minggu sebelumnya. Hormon Dopamin dalam otaknya semakin meningkat. Ini adalah waktu ‘me time’ untuknya. Tak berselang lama, terlihat seseorang ikut berlari dan mendekat pada Sora, ia menyelaraskan laju larinya dengan Sora. “Sunbae?” , sahut Sora terkejut saat melihat orang itu adalah Seowoo. Tetapi Sora tidak terlihat senang, tidak juga terlihat terganggu. Ia hanya tidak menyangka akan bertemu Seowoo disini. Seowoo hanya menanggapinya dengan tersenyum. “Kau sering jogging disini?” , tanya Seowoo sambil menyeimbangkan kecepatan larinya dengan Sora. “Iya. Aku biasa jogging kesini setiap hari Minggu.” “Benarkah? Tapi ini pertama kalinya aku melihatmu disini, Sora. Padahal aku sering kesini.” , Seowoo menghentikan langkah larinya. Sora pun menghentikan langkahnya. “Hari ini aku jogging lebih pagi dari biasanya, mungkin itu sebabnya, Sunbae.” , jelas Sora sambil memandang Seowoo yang berjalan menghampirinya. Sora memang jogging lebih pagi hari ini. Biasanya ia baru berangkat saat matahari terbit, tetapi demi pertandingan, ia rela berangkat lebih awal untuk memperpanjang waktu ia jogging agar hasilnya lebih maksimal. “Untuk pertandingan nanti ya?” , tanya Seowoo lagi, dan hanya dijawab oleh senyum dan anggukan oleh Sora. Mereka pun memutuskan berjalan santai untuk meneruskan perjalanan. “Dimana laki-laki yang biasa mengintilimu di sekolah?” , Seowoo berusaha mencari topik pembicaraan agar suasana diantara mereka tidak lagi canggung. “Mengintili aku?” , Sora tidak mengerti siapa yang Seowoo maksud. Ia berpikir sebentar. “Ah, maksudmu Rei?” , tanya Sora meyakinkan apakah tebakannya benar. “Oh jadi namanya Rei? Laki-laki yang biasanya datang ke ruang olahraga membawakanmu minum?” , pertanyaan Seowoo hanya dijawab dengan anggukan oleh Sora. “Kemana dia? Dia tidak bersamamu hari ini?” , Sora tidak mengerti kenapa Seowoo tidak mau berhenti untuk menanyainya. Sora menggeleng, “Rei tidak terlalu suka berkeringat. Lagipula dia akan tidur sampai siang di hari Minggu.” “Kalian terlihat sangat dekat. Apa kalian berpacaran?” , Seowoo benar-benar penasaran dengan semua hal. Membuat Sora sedikit tidak nyaman diserang dengan pertanyaan tak berujung. Sora tertawa pahit mendengarnya. Di satu sisi ia merasa senang karena ternyata kedekatannya dengan Rei sedekat itu hingga orang lain mengira mereka berpacaran. Di sisi lain Sora sedih dan kecewa karena kenyataanya tidak seperti itu. Tidak seperti yang orang lain kira. “Tidak, Sunbae. Aku dengan Rei dekat karena rumah kami bersebelahan.” , jelas Sora. “Wah, entah mengapa aku merasa senang mengetahui bahwa dugaanku salah.” , pernyataan Seowoo membuat Sora mengernyitkan dahinya tidak mengerti apa maksud dari yang baru saja Seowoo katakan. “Pasti menyenangkan jadi Rei. Ia bisa melihatmu setiap hari.” , tambah Seowoo. Sora tertawa mendengarnya, “Kau tidak tahu saja, sunbae. Rei tidak sekali dua kali berteriak berharap untuk cepat lulus agar ia bisa pergi menjauh dariku.” Penjelasan Sora membuat Seowoo bingung. “Benarkah? Kenapa?” , tanya Seowoo penasaran. Sora hanya tertawa menggeleng lalu mengangkat bahunya tanda bahwa ia tidak tahu apa sebabnya. Sebenarnya Sora paham betul apa penyebabnya Rei sampai berkata seperti itu, karena dirinya sendiri lah penyebabnya. Saat mereka berumur empat belas tahun, Sora tidak sengaja merusak piano milik Rei saat memainkan bola basketnya di dalam kamar Rei. Pernah juga saat itu Rei sedang berpakaian di kamarnya dan lupa menutup tirainya, ia terkejut saat dari seberang jendela kamarnya, Sora sedang memandanginya sambil melotot karena terkejut. Dan yang paling tak terlupakan adalah saat Sora tidak sengaja melempar wajah Rei dengan bola basket dari jendela kamarnya hingga membuat hidung Rei mimisan. Sora melakukannya karena Rei meledek peringkat Sora yang berada satu tingkat dibawah Rei saat itu. *** Sinar matahari sudah masuk melalui sela-sela tirai kamar Rei. Cahayanya sudah meninggi tanda hari sudah semakin siang. Silau cahayanya sampai mengenai mata Rei yang masih tertidur. Rei pun mulai menggerakan wajahnya, tidurnya terganggu oleh silau cahaya itu. Ia pun membuka mata dan langsung menghalangi cahaya itu dengan tangannya agar ia bisa benar-benar membuka matanya. Rei baru menyadari hari ini sedang tidak dalam keadaan yang baik. Ia merasa menggigil kedinginan, padahal AC kamarnya sedang rusak. Ia bisa merasakan panas badannya saat memejamkan matanya dan merasakan panas yang begitu terasa. Badannya terasa sangat tidak memiliki tenaga, dan kepalanya terasa sangat berat saat ia memaksakan diri untuk bangun duduk. “Okaa-san..” , panggil Rei lirih. “Okaa-san..” “Okaa-san..” , namun tak kunjung juga mendapat respon. Ia pun meraih ponselnya. Dilihatnya ada satu pesan dari ibunya. Rei sayang, ibu dan Ayahmu pergi pagi-pagi karena nenekmu mendapat jadwal operasi di jam pagi. Ibu sudah memasak sup tadi, jangan lupa hangatkan dulu sebelum dimakan. Jangan makan mie instant! Rei merasa lemas dan menggigil, ia bahkan merasa terlalu lemas untuk membalas pesan ibunya apalagi untuk turun ke bawah mengisi perutnya. Ia pun memilih untuk kembali berbaring di tempat tidur. Berharap rasa sakit kepalanya berkurang. *** Setelah selesai jogging, Sora tidak langsung pulang. Ia mampir ke supermarket untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari dan juga tak lupa bahan makanan. Seperti yang biasa ia lakukan setiap kali selesai jogging. Sebelumnya, ternyata cukup sulit untuk Sora berpisah dengan Seowoo. Karena Seowoo bersikukuh ingin ikut Sora dengan alasan ingin menjadi body guardnya untuk satu hari ini. Sora pun harus memutar otaknya mencari alasan yang cukup untuk membuat Seowoo tidak perlu mengikutinya. Akhirnya ia bisa lepas dari Seowoo setelah beralasan bahwa ia ada janji makan siang di luar bersama dengan Ayah dan Ibunya. Walaupun sebenarnya itu adalah hal yang hampir mustahil. Sudah lama ia tidak bertemu dengan ibunya. Terakhir bertemu saat natal tahun lalu. Yah, setidaknya Sora senang bisa bertemu kembali dengan ibunya walaupun hanya untuk makan malam bersama saat itu. Selesai menata belanjaan bahan makanan ke dalam kulkas, Sora naik ke atas sambil memakan sebuah apel di tangannya, ke kamarnya untuk mencari ponselnya. Saat sampai di kamarnya, Sora merasa pagi di hari Minggu ini terasa ada yang berbeda. Ia pun melihat keluar jendela kamarnya dan mendapatkan jendela kamar seseorang di seberang kamarnya tertutup rapat padahal matahari sudah tinggi. Ia yang merasa janggal, akhirnya memutuskan untuk menelpon Rei. Sampai panggilan yang ketiga, yang bisa ia dengar hanyalah suara nada tunggu dan tidak kunjung muncul suara yang ia tunggu-tunggu. Sora pun memutuskan untuk pergi ke rumah Rei untuk mengecek langsung. Ia khawatir Rei demam karena kemarin mereka pulang sekolah hujan-hujanan. Dengan stamina dan imun yang kuat, Sora tidak akan mudah untuk terserang sakit. Tetapi berbeda dengan Rei yang tidak terlalu suka bergerak. Awalnya Sora memencet bel rumah, tetapi tidak ada jawaban. Ia pun memutuskan untuk masuk lewat pintu belakang karena pintu depan dikunci. Dengan mengambil kunci cadangan yang berada di atas pot tanaman yang menggantung, Sora berhasil masuk dengan mulus. Dulu Rei sendiri yang memberitahu dimana letak kunci cadangan pintu belakang rumahnya pada Sora, saat Sora bertanya bagaimana cara Rei masuk ke rumah padahal orangtuanya sedang pergi dan tidak memberikan kunci rumah pada Rei. Suasananya sangat hening, Sora berpikir apakah semuanya sedang pergi, karena ia tidak melihat ada mobil di garasi, tetapi ia ragu. Untuk memastikannya, Sora pun naik ke atas untuk mengecek kamar Rei. Setibanya di depan pintu kamar Rei, Sora ragu. Ia merasa seperti sedang melakukan hal yang bodoh. Tetapi setidaknya jika benar tidak ada orang, maka tidak akan ada yang melihatnya melakukan hal bodoh ini. Sebelum mengetuk, ia mendekatkan telinganya dengan pintu kamar Re, berusaha mendengar apakah ada orang di dalam. Sora mendengar ada suara kaki yang menyentuh lantai, tetapi suara itu hanya terdengar satu kali dan sudah tidak terdengar lagi. Ia pun mengetuk pintu kamar Rei sambil memanggil-manggil nama Rei. Karena tidak ada yang menyahut, ia memutuskan untuk langsung membukanya. Belum sempat Sora mendorong pintunya, seseorang sudah menarik pintunya dari dalam. Rei muncul tepat di depan pintu dengan lesu dan mata yang masih terpejam. “Rei? Kau baru bangun? Matahari sudah tinggi, kenapa juga jendela-“ , belum sempat Sora menyelesaikan kalimatnya, Rei menjatuhkan kepalanya pada Sora dan menempelkan dahinya dengan dahi Sora. Sora terkejut. Bukan karena wajahnya yang sekarang amat dekat dengan wajah Rei, tetapi karena ia bisa merasakan panas dari dahi Rei. “Kau panas Rei! Sejak kapan?! Kemana ibumu? Kenapa tidak menelponku sih? Sini aku bantu kau ke tempat tidurmu.” , raut wajah khawatir nampak jelas pada wajah Sora. Sambil membopong Rei, ia menuntun Rei kembali ke tempat tidurnya dan menyuruhnya berbaring. “Dimana tempat termometer? Kau sudah makan sesuatu hari ini? Oke tidak perlu menjawab, aku tahu jawabannya.” , Sora langsung bergegas ke bawah mencari termometer di lemari P3K yang tertempel di dinding dapur. Tak lupa ia mengisi baskom dengan air dingin dan juga mengambil handuk kecil untuk mengompres. Dengan berhati-hati menjaga agar airnya tidak tumpah saat menaiki tangga, Sora sudah kembali ke kamar Rei. Mengukur suhu tubuh Rei dengan mendekatkan termometer digital pada dahi Rei yang menujukkan suhu tiga puluh delapan koma tiga derajat celcius. Sora memegang kepalanya dengan tangan kanannya, berpikir sejenak apa yang harus ia lakukan. Tak butuh waktu lama, segera ia menyingkirkan selimut dan membuka tirai dan juga jendela agar sinar matahari bebas masuk serta sirkulasi udara dalam kamar Rei lancar. Ia pun meletakkan handuk yang sudah ia masukkan ke dalam baskom berisi air dingin pada dahi Rei, yang sontak membuat Rei terkejut dengan sensasi dinginnya. “Bibirmu kering sekali. Belum minum sama sekali ya? Apalagi makan.. Aku akan membuatkanmu bubur. Tunggu sebentar ya.” , tanpa menunggu respon dari Rei, Sora bergegas kembali turun ke dapur. Ia menghangatkan sup yang dibuat ibunya Rei pagi tadi, memasukkan nasi ke dalam panci, mengisinya dengan air, tak lupa memotong halus beberapa wortel dan juga daun bawang untuk dimasak bersama bubur. Selagi menunggu matang, Sora mengisi beberapa botol air minum dan mengisinya dengan air putih untuk dibawa ke kamar Rei. Melihat Rei yang hanya terbaring lemas membuatnya sedih. Dengan lembut Sora membangunkan Rei dan menyuruh Rei minum dengan sedotan yang ia sodorkan mendekat agar Rei tidak perlu bersusah-susah untuk bangun. Dengan telaten Sora mengukur suhu tubuh Rei secara berkala, menyuruhnya minum tiap beberapa menit, dan juga mengganti kompresnya. Tak lupa Sora juga mengajak Rei untuk makan bersama. Semuanya Sora lakukan dengan penuh kasih sayang. Ia paham betul bahwa ia menyayangi Rei, dan tidak ingin melihat Rei sengsara. Yang ia tidak pahami adalah, apakah ini rasa sayang kepada seorang teman pada umumnya atau sesuatu yang lebih. Yang pasti ia tidak ingin memusingkan diri dengan hal itu sekarang. Ia hanya ingin demam Rei cepat reda. Rei masih tidur setelah makan dan minum paracetamol yang Sora ambil dari rumahnya. Tentu saja perlengkapan obat dan peralatan kesehatan di rumahnya lebih lengkap karena ayahnya yang notabenenya adalah seorang dokter. Sambil menemani Rei, Sora membawa tugas dari gurunya yang akan dikumpulkan besok dan mengerjakannya di kamar Rei, dengan meminjam meja belajar Rei. Tak lupa ia juga mengerjakan tugas milik Rei, karena mereka berada di kelas yang sama, Sora hanya tinggal menyalinnya saja. Ia melakukannya bukan karena perjanjian Rei yang sudah menemukan iPod miliknya, karena perjanjian itu sudah habis masa berlakunya. Ia hanya ingin saja melakukannya. Hanya mengikuti kata hatinya. Sesekali Sora mengecek perkembangan suhu badan Rei. Ia merasa lega tiap kali melihat angka yang tertera di termometer digital semakin menurun nilainya, yang artinya suhu badan Rei mulai kembali normal. Tak lupa juga ia membalik dan mengganti kompresnya. Langit sudah berubah warna menjadi sedikit oranye, menandakan hari sudah mulai senja. Sora tertidur di atas meja belajar Rei dengan tangannya yang masih memegang pulpen. Rei mulai membuka matanya, menatap langit-langit kamarnya beberapa saat sebelum ia menyadari ada sesuatu yang basah di atas dahinya. Ia pun mengambil benda itu yang adalah kompresannya. Rei pun segera duduk bangun teringat Sora yang sudah melakukan semua ini. Matanya menangkap Sora yang sedang tertidur pulas dengan kepala yang terjatuh di atas meja belajarnya. Dengan tangannya, Rei mengecek suhu tubuhnya. Sudah kembali normal, dan sakit kepalanya juga sudah berkurang walaupun badannya masih terasa lemas. Ia tersenyum pada Sora yang sudah merawatnya. Tidak menyangka Sora akan datang dan merawatnya seperti ini. Dengan tenang Rei berjalan menghampiri Sora yang tertidur di atas meja belajarnya, tetapi tidak berniat membangunkannya. Ia malah menarik kursi di dekat kasurnya dan meletakannya di dekat Sora agar ia bisa memandangi wajah Sora yang tertidur dengan puas. Manis.. gumam Rei saat melihat dengan detail wajah Sora. Memperhatikan dengan seksama bagaimana rambut Sora yang lemas jatuh menyebrang menutupi dengan halus pipi Sora, hidung Sora yang tidak terlalu mancung tetapi selalu merah saat dingin, bulu mata Sora yang panjang namun tidak terlalu panjang, dan juga bibir Sora yang membentuk seperti segitiga saat tidur seperti ini. Pandangannya beralih pada tugas yang sedang Sora kerjakan hingga ia tertidur. Rei juga melihat buku tugas Rei diatas tumpukan buku yang Sora bawa, ia pun mengambilnya, dan membukanya. Entah terkesan atau terheran-heran, Rei tidak menyangka Sora akan mengerjakan tugas miliknya juga. Saat itu juga Sora terbangun tiba-tiba, membuat Rei terkejut. Sora yang melihat Rei di sampingnya segera meletakkan tangannya pada dahi Rei. “Syukurlah.” , ucapnya lega dengan mata yang masih belum sepenuhnya terbuka. Sora pun mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menariknya melakukan peregangan karena ia merasa badannya pegal-pegal setelah tertidur di meja seperti tadi. “Kau harus rajin berolahraga, tahu? stamina dan imun tubuhnya lemah karena jarang berolahraga. Lihat aku, hujan-hujanan bersamamu tetapi tidak sakit sepertimu.” , Rei sudah yakin badannya sudah membaik ketika ia bisa mendengar dengan jelas ocehan Sora. “Kau tahu apa? Aku sakit agar kau tidak sakit. Kalau aku tidak sakit, maka nanti kau yang sakit. Aku tidak ingin kau yang sakit, itu sebabnya aku mengambil beban ini.” , jelas Rei dengan percaya diri. Sora menatapnya dengan sebal, ia percaya Rei sudah membaik, sebab Rei sudah mulai bicara omong kosong. “Aku yakin sekali kau sudah sembuh mendengarmu bicara omong kosong seperti itu Rei.” , yang disindir hanya tertawa mendengarnya. “Mau makan ramyeon bersama?” , ajak Rei saat Sora berdiri membereskan buku-bukunya. Sora langsung berbinar. “Kajja!” , sahutnya bersemangat. Rei menyiapkan sendok di atas meja sementara Sora memasak ramyeon. Ramyeon adalah mie instant dalam bahasa Korea atau dalam bahasa Jepang kita biasa menyebutnya dengan ramen. “Jal meokgo sseumnida~” , ucap Sora dengan kedua tangan saling menyatu di depan dadanya sebelum mulai menyantap ramyeonnya. “Itadakimasu~” , ucap Rei melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Sora, hanya saja dalam bahasa Jepang. Kalimat yang mereka ucapkan sama-sama memiliki arti bahwa mereka bersyukur akan makanan yang akan mereka makan dan berkata akan makan dengan baik. Rei yang notabenenya ibunya adalah orang Korea, tetapi ia lahir di Jepang. Itu sebabnya ia tetap memakai budaya Jepang karena itu adalah tanah kelahirannya, meskipun ia sedang tinggal di Korea. Rei membiarkan Sora makan lebih banyak karena ia tahu betul Sora sangat menyukai ramyeon. Benar saja, Sora bisa menyruput ramyeonnya dengan cepat. Siapapun yang melihat Sora makan ramyeon pasti akan segera tergugah seleranya untuk makan ramyeon. “Makanlah dengan perlahan-lahan. Aku tidak akan menghabiskan semuanya.” , tegur Rei yang tentu saja tegurannya akan dihiraukan oleh Sora. “Kuwrawsa akwu iwngin hawnya mawkan ramwyeown seuwmur hiduwpkuw. (kurasa aku ingin hanya makan ramyeon seumur hidupku).” , ucap Sora dengn mulutnya yang masih penuh dan mengunyah ramyeon. “Jangan bicara saat mulutmu sedang penuh. Auh, kau ini.” , protes Rei yang dibalas senyuman lebar dari Sora menunjukkan bahwa ia tidak peduli. Rei makan dengan perlahan karena fokusnya tertuju pada Sora. Ia tidak percaya Sora yang tadi merawatnya tadi adalah orang yang sama dengan seseorang yang sekarang ini sedang makan ramyeon seperti seseorang yang tidak makan selama empat hari. Walaupun begitu, ia tetap senang karena ia punya Sora di sisinya. Ia merasa lega hanya dengan melihat Sora. Ia merasa lega saat ia sedang ada masalah, Sora ada untuk mendengarkannya walaupun tidak memberikan solusi sama sekali. Setidaknya ia merasa lega Sora ada di sisinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD