Pagi hari matahari bersinar dengan cerah. Sora sudah bergelut dengan dapur membuat sarapan untuknya juga untuk Ayahnya. Menata telur gulung, sosis goreng, sup tahu, kimchi, dan juga nasi di atas meja makan. Ayahnya yang sudah berpakaian rapi datang sambil membawa selembar foto hasil X-Ray salah satu pasiennya di tangannya dan memperhatikannya begitu serius.
“Appa, hari ini aku memasak sup tahu.” , ucap Sora dengan ceria. Tetapi Ayahnya hanya menatap sup tahu dan berdehem mengiyakan. Sora tersenyum masam menerima tanggapan dingin dari Ayahnya lalu bergabung makan. Mereka makan dengan diam tanpa ada percakapan.
“Appa, aku ikut pertandingan basket antar SMA di sekolah bulan depan.” , Sora membuka suara berharap suasana makan pagi ini akan lebih berwarna dari biasanya.
“Hm benarkah?” , jawab Ayahnya yang masih melihat lembaran foto X-Ray di tangannya sambil memakan makanannya.
“Iya. Appa akan datang kan?” , Sora bertanya dengan penuh harap.
“Menurutmu? Kau lihat sendiri Appa belum pernah libur satu hari pun, kan? Aku tidak bisa berjanji akan datang.” , Mendengar jawaban dari Ayahnya membuat Sora menyesal sudah bertanya.
Walaupun ia sudah tahu pasti bagaimana respon Ayahnya, tetapi ia tetap mencoba untuk menanyakannya secara langsung, berharap kenyataannya tidak seperti yang ia ekspetasikan. Tetapi ternyata kenyataannya terjadi benar seperti yang ia ekspetasikan. Dan itu membuatnya merasakan kekecewaan dua kali.
“Apa Appa tidak bisa cuti untuk satu ha-“ , perkataan Sora terhenti saat ponsel Ayahnya berdering dan Ayahnya menginsyaratkan untuk diam.
“Ya, halo dokter Park? Apa? Lalu bagaimana keadaaannya sekarang? Baik aku mengerti, aku akan datang sekarang.” , Ayahnya Sora langsung bangkit dan mengambil jas dokternya tepat setelah menjawab panggilannya singkat.
Sora melanjutkan makannya dalam diam. Lagi-lagi ia ditinggalkan makan sendirian. Ia tahu betul dirinya sudah bukan anak kecil lagi, dan harus membiasakan diri melakukan semua hal sendiri. Tetapi kekosongan yang ia rasakan pasca kedua orangtuanya bercerai bukanlah hal mudah yang harus ia biasakan.
***
Suasana sarapan pagi keluarga Rei sangat kontras dengan Sora. Pembicaraan ringan orangtua dan anak yang berjalan sepanjang waktu makan, juga tawa ringan yang terdengar sesekali di sela-sela pembicaraan mereka.
“Okaa-san, hari Minggu kemarin aku mendaftarkan diriku untuk ikut kompetisi piano..” , Rei yang lahir di Jepang sudah terbiasa memanggil Ayah dan Ibunya dalam bahasa Jepang, walaupun Ibunya merupakan orang Korea.
“Wah benarkah, Rei? Dimana?” , tanya ibunya bersemangat.
“Di gedung teater yang dekat taman Jamsu. Aku akan giat berlatih mulai hari ini.” , jelas Rei tak kalah bersemangat.
“Bukankah kau ada ujian semester bulan depan?” , tanya Ayahnya menyela.
“Iya sih.. Tapi kompetisinya akan berlangsung setelah ujian, jadi tidak masalah.”
“Pastikan nilai ujianmu tidak menurun hanya karena kompetisi itu. Nilaimu harus bisa masuk kedokteran, Rei. Ingat itu.” , tegas Ayahnya Rei. Nampak jelas Ayahnya Rei tidak senang pada Rei yang hanya berfokus pada piano.
“Yeobo..” , Ibunya Rei menegur Ayahnya, mengingatkan untuk tidak memaksa Rei.
“Otou-san.. Aku pernah bilang bahwa aku tidak ingin jadi dokter, kan?”
“Lalu apa? Kau ingin bermain piano sepanjang hidupmu? Apa hal itu akan bisa menjamin masa depanmu, Rei?” , selidik Ayahnya semakin memojokkan Rei. Rei hanya diam menunduk menatap makanannya. Ia tahu jika ia menjawab lagi, malah akan memperkeruh suasana.
***
Sora berlatih dua kali lebih keras hari ini. Bukan hanya untuk pertandingannya, tetapi juga sebagai pelampiasannya. Ia benar-benar tidak memberikan kesempatan pada yang lainnya untuk memasukkan bola. Karena keseriusannya itu, ia berhasil memasukkan semua lemparan bola, tanpa gagal sedikitpun.
Karena hal itu, teman-temannya yang berlatih bersamanya jadi merasa sebal. Mereka mengira Sora sedang pamer. Karena hari ini ada guru olahraga mereka memantau dari pinggir lapangan untuk menilai kemampuan masing-masing. Rei pun datang untuk memberikan minum. Ia berniat untuk langsung pergi, tetapi melihat permainan Sora hari ini membuatnya menetap untuk melihat permainan Sora hari ini.
“Wah dia benar-benar seperti sedang dirasuki sesuatu.” , gumam Rei yang tercengang dengan permainan Sora yang benar-benar menguasai lapangan.
Karena rasa sebal yang teman-teman Sora rasakan akibat permainan Sora, salah satu teman satu timnya sampai mendorong Sora hingga Sora terjatuh dan menyebabkan lututnya lecet. Semua yang menonton, termasuk Rei dan juga Sunwoo yang juga sedang berlatih, terkejut melihat kejadian itu. Tapi ternyata itu tidak membuat Sora berhenti. Ia langsung bangkit dan merebut bola dan melemparkannya tepat ke tengah ring dan masuk.
PRIIIIT
Suara tiupan priwitan dari guru olahraga mereka menghentikan mereka semua yang ada di lapangan. Mereka dipanggil untuk berkumpul, termasuk Sora. Guru olahraga menegur Sora yang bermain egois dan mengingatkan bahwa permainan basket ini adalah permainan tim bukan individu. Sora meminta maaf dan latihan pun dibubarkan.
Sora menghampiri Rei dengan sedikit tersenyum miris pada Rei yang melihatnya dengan tatapan khawatir.
“Kau tidak apa-apa? Kenapa bermain seperti itu? Kau sedang ada masalah?” , tanya Rei khawatir sambil memberikan botol minum pada Sora.
“Aku hanya terlalu bersemangat hari ini.” , jawab Sora sekenanya.
“Hei, tuan populer datang.” , sahut Rei sambil menunjuk dengan dagunya pada seseorang yang datang menghampiri mereka dari arah belakang Sora. Dan Sora pun menoleh pada seseorang yang sudah berdiri disampingnya. Han Sunwoo.
“Wow Sora, sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu hari ini.” , selidik Sunwoo. Sora mengalihkan tatapannya pada Rei yang menatapnya dengan tatapan –pertanyaan yang sama, bukan?- .
“Tidak juga sunbae, aku hanya terlalu bersemangat hari ini.” , jawab Sora diselingi tawa garing.
“Lututmu tidak apa-apa? Tadi kau terjatuh cukup keras. Ya ampun berdarah.” , Seowoo sampai berjongkok untuk melihat lutut Sora karena tinggi badannya. Sora mundur karena merasa tidak nyaman dengan kekhawatiran Seowoo.
“Tenang, Sora tidak akan mati hanya karena hal itu.” sela Rei yang membuatnya dapat tatapan sinis dari Rei. Ia balas menatapnya seolah berkata –Apa? Apa?-.
“Mau ku gendong ke UKS?” , Seowoo menawarkan diri. Ia sudah bersiap untuk menggendong Sora di belakangnya.
“Tidak perlu sunbae. Ku mohon berdirilah. Aku mau langsung ke kelas hari ini.”
Sebenarnya dalam hati Sora, ia ingin sekali segera pergi dari situasi ini. Ia merasa tidak nyaman dengan perhatian dari Seowoo, ditambah tatapan para siswi lain yang tidak lain adalah fans dari Seowoo, menatapnya dengan tatapan sengit. Bulu kuduknya berdiri saat melihat tatapan itu.
“Ayo Rei.” , ajak Sora pada Rei meninggalkan Seowoo yang masih di tempatnya, diam, menatap kepergian Sora dan Rei. Dari sorot matanya, jelas ia seperti memikirkan sesuatu.
Di ruang UKS, Rei telaten membersihkan luka Sora. Ia tahu ini hanyalah luka kecil dan bukan masalah besar. Tetapi luka sekecil apapun tetap harus steril untuk mencegah benda asing masuk ke dalam tubuh melalui luka itu.
Angin sejuk siang hari ini masuk menerobos jendela UKS yang terbuka, membuat tirai kain putih polos yang menutupi jendela dengan maksud menghalangi sinar matahari terik siang itu, menari-nari tertiup angin. Membuat bayang-bayangnya menerpa wajah Rei yang sedang terlihat sangat berhati-hati membersihkan setiap inchi luka di lutut Sora.
Sora tertegun. Ia tidak menyangka Rei bisa terlihat seindah ini. Walaupun sebenarnya Sora selalu terpesona tiap kali melihat Rei memainkan piano, ia tidak menyangka ia akan terpesona dengan Rei yang tidak sedang memainkan piano.
Sejenak ia lupa dengan kekonyolan-kekonyolan yang biasa Rei lakukan, ia lupa betapa menyebalkannya Rei, betapa menjengkelkannya Rei padanya, ia merasa Rei seperti orang lain. Benar-benar orang yang berbeda dari yang biasa ia kenal.
Pipi chubby yang dulu selalu jadi sasaran empuk untuk Sora, sekarang sudah mulai samar. Garis rahangnya mulai tegas. Sora menyadari Rei sudah mulai tumbuh dewasa sekarang. Walaupun hanya sebatas penampilan.
Penampilan Rei tidaklah buruk. Tetapi masih kurang untuk bisa disebut populer seperti Seowoo. Sora merasa lega Rei tidak terlalu populer, tetapi tidak jarang Rei mendapat perhatian dari beberapa siswi di sekolah. Tetapi Sora masih bisa merasa nyaman saat bersama Rei, dibandingkan bersama Seowoo. Sora benar-benar tidak suka perhatian, bertolak belakang dengan Rei.
Rei yang merasa diperhatikan mengalihkan pandangannya pada wajah Sora, ia tersenyum geli saat tahu Sora sedang menatapnya begitu intens.
“ Apa kau sedang mencoba untuk memakanku? Matamu menatapku seperti yang akan melahapku hidup-hidup, Sora.” , ledek Rei yang membuat raut wajah Sora berubah sebal dan mendaratkan pukulan kecil pada lengan Rei.
Semua kekagumannya pada Rei runtuh seketika. Mendengar omong kosong Rei membuatnya kembali pada kenyataan. Kenyataan bagaimana Rei yang sebenarnya. Rei yang ia kenal.
“Aku tidak mendapatkan dukungan yang aku inginkan.” , nada suara Sora terdengar berbeda sekarang.
“Aku sejak awal sudah mengira akan seperti itu, tapi saat benar-benar terjadi, rasa sakitnya lebih nyata.” , tambahnya. Rei hanya mendengarkan. Ia tidak bertanya siapa, karena ia sudah tahu siapa dan apa yang dimaksudkan oleh Sora.
“Tapi tenang saja, aku tidak akan menyerah begitu saja hanya karena hal itu. Aku masih punya diriku untuk menyemangatiku. Aku juga punya kau. Kau akan mendukungku kan, Rei?” , tanya Sora penuh harap.
Rei hanya menunjukkan senyumnya sedikit. Ia berdiri dan mengembalikan perlengkapan P3K pada tempatnya sebelum ia berbalik berdiri tepat di hadapan Sora.
“Memangnya kau punya siapa lagi selain aku?” , ledek Rei. Sora langsung mengumpat sebal pada Rei yang membuat Rei tertawa.
Ia merasa lega saat mendengar Sora mengumpat padanya. Setidaknya ia tahu Sora sudah kembali jadi Sora yang biasanya.
“Bagaimana denganmu? Ibumu pasti mendukungmu, tapi bagaimana dengan Ayahmu?” , tanya Sora namun tidak mendapat jawaban dari Rei.
“Ayahmu masih tidak mendukungmu ya? Responnya pasti tidak seperti respon ibumu kan?” , tambah Sora. Matanya mengikuti Rei yang duduk mengambil tempat di sampingnya.
“Aku masih tidak mengerti mengapa Ayahmu sangat ingin agar kau menjadi dokter, padahal sudah jelas terlihat kau hanya berminat pada piano. Menjadi dokter tidak pasti akan membuatmu bahagia. Lihat saja contohnya, Ayahku. Apakah Ayahku terlihat bahagia? Tidak! Bahkan keluarganya saja hancur. Aku benar-benar tidak setuju kau menjadi dokter. Tidak akan!” , protes Sora panjang lebar.
Rei hanya tersenyum masam. Hanya melihat ekspresi Rei, Sora tahu jawabannya.
“Aku tahu kau pasti akan tetap melanjutkannya, kan?” , Sora menunjukkan tinjunya, mengajak Rei untuk menyatukan tinju mereka.
Rei tersenyum meyakinkan, “kau pikir aku siapa.” , Rei menyatukan tinjunya dengan tinju Sora.
Mereka sama-sama tahu, walaupun tidak ada orang lain di dunia ini yang mau mendukung mereka, mereka akan ada untuk menjadi satu-satunya penyemangat satu sama lain.
***
Malam harinya Sora mendengarkan Rei yang sedang berlatih piano dari jendela kamarnya. Jendela kamar mereka yang saling berhadapan sama-sama terbuka. Dari jendela kamar Sora, ia bisa melihat dengan jelas Rei yang jari-jarinya sedang menari-nari di atas tuts-tuts piano memainkan nada dari yang anggun sampai ke nada yang membuat jari-jarinya menari dengan lincah.
Sora duduk di jendela sambil memegang perekam suara di tangannya. Ia merekam permainan piano Rei. Melihat Rei yang sedang bergelut dengan piano adalah salah satu pemandangan yang ia sukai. Ia tidak pernah bosan walaupun pemandangan seperti itu sering ia lihat selama tiga tahun ini.
Sesekali Rei menengok ke jendala, melihat Sora yang sedang menontonnya. Ia tersenyum, begitu juga dengan Sora.