BAB EMPAT PULUH TIGA

2433 Words
Karena kecelakaan yang dialaminya, Sora ijin tidak masuk sekolah untuk dua hari. Bukannya lukanya yang terlalu parah, hanya saja Sora harus terbiasa berjalan dengan kruk, alat bantu jalan yang baru saja ayahnya belikan untuknya. Tidak hanya Sora, ayahnya pun meminta cuti dua hari dengan alasan untuk merawat anaknya yang baru saja mengalami kecelakaan. Berkat alasan itu, ia diijinkan untuk bekerja dari rumah, bukan libur. Di hari pertama, ayah Sora mengajak Sora untuk membeli alat bantu jalannya yang berbentuk seperti tongkat yang besar. Ayah Sora membiarkan Sora memilih yang paling nyaman untuknya. Selagi Sora memilih, ayahnya yang adalah seorang dokter bedah ahli, sangat memahami apa yang Sora butuhkan, ia membantu memeriksa kruk yang Sora mulai dari bahan material dan ketinggian kruk tersebut. Sora masih merasa bersalah dengan kejadian semalam saat ia mengomel pada ayahnya, itu sebabnya ia tidak banyak bicara hari ini. Namun, ayahnya terlihat seperti biasanya. Hanya bicara seperlunya seperti biasanya. Sora berpendapat sepertinya ayahnya itu tidak terganggu dengan kejadian semalam ataupun dengan diamnya dirinya. Prasangka memanglah tidak pernah sejalan dengan kebenaran dari kenyataannya. Ayah Sora yang sudah memprediksi bahwa Sora akan jadi semakin diam karena rasa malu dan rasa bersalahnya, memutuskan untuk bersikap seperti biasanya agar Sora tidak merasa bersalah ataupun merasa malu saat bertemu dengannya. “Jamkkanman (sebentar ya)..” , pamit ayah Sora menjauh sedikit dari Sora karena ponselnya yang berdering oleh sebuah panggilan masuk. “Ne (ya), annyeonghasmnikka, gyeosunim (apa kabarmu, profesor)?” , ucap ayah Sora begitu menggeser dial jawab pada layar ponselnya dan mendekatkan ponselnya pada telinganya. Sora menghela nafas melihat ayahnya yang masih saja diganggu oleh pekerjaannya walaupun ini hari liburnya. Selagi menunggu, Sora memilih - milih alat bantu jalan untuknya. Diantara semua alat bantu jalan, Sora tertarik pada kruk yang berwarna hitam berkilau. Kruk itu yang paling kecil diantara kruk lainnya yang terpajang disana. “Sudah menentukan pilihanmu?” , tanya ayahnya yang telah selesai dengan panggilannya, memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana jeansnya. Tanpa bicara, Sora menunjuk kruk siku berwarna hitam. Melihat pilihan Sora, ayah Sora langsung meraih kruk siku tersebut dan memeriksa bahan penyusunnya dan memeriksa kekuatannya, “Jadi kau lebih memilih kruk lengan daripada kruk ketiak? Waeyo (kenapa)?” , tanyanya mencoba memancing Sora untuk bicara. Sora yang sejak awal bersikeras untuk tidak bicara sampai suasana hatinya kembali, membuang mukanya ke arah alat bantu jalan yang lain. Ayahnya dengan sabar menunggu Sora untuk bicara. “Karena kupikir lebih praktis saja.” , jawab Sora akhirnya mengalahkan egonya. Ia juga tidak ingin terus seperti ini untuk seterusnya. Ayah Sora tersenyum saat Sora menjawab pertanyaannya, “Pilihan yang bagus.” , katanya, “Jja (nah), seperti yang kau lihat, kruk lengan ini ukurannya lebih kecil dan mudah dibawa kemana - mana. Tetapi karena ukurannya ini lah, stabilitasnya rendah.” , jelasnya sambil menunjukkan bagian - bagian yang dimaksudkan. Sora perlahan - lahan melirik ayahnya hingga sepenuhnya memperhatikan yang sedang menjelaskan kelebihan dan kekurangan dari alat bantu jalan yang dipilihnya. Melihat Sora memperhatikan penjelasannya, ayah Sora memutuskan untuk melanjutkan. Sebab ia tahu betul, putri kesayangannya itu selalu ingin mengetahui semuanya dengan jelas. “Seperti yang kau lihat,” , ayah Sora mempraktekan cara memakai kruk lengan yang dipilih Sora tadi, “tumpuan yang kecil membuatmu mudah kehilangan keseimbangan karena semuanya benar - benar hanya bergantung pada lenganmu.” , Sora memperhatikan dengan berpura - pura tidak memperhatikan. Meletakkan kruk lengan yang dipilih Sora tadi, ayah Sora mengambil kruk ketiak yang bentuknya lebih besar dibandingkan kruk lengan yang sebelumnya, “Ini namanya kruk ketiak.” , jelasnya sambil mengangkat kruk ketiak tersebut dengan kedua tangannya dengan sengaja untuk memperlihatkannya pada Sora. Selanjutnya, ia juga mempraktekan cara penggunaan kruk ketiak dengan benar - benar memakainya, “Walaupun ini bernama kruk ketiak, namun cara memakainya tidak benar - benar ditumpukan pada ketiak.” , jelasnya. Kali ini Sora terlihat benar - benar memperhatikan. “Dan lihat, dari bentuknya, kita bisa melihat stabilitas dari kruk ketiak ini lebih besar dibandingkan kruk lengan tadi. Namun, ukurannya memang lebih besar dari kruk lengan dan tidak terlalu efisen untuk dibawa kemana - mana.” , selesai menjelaskan, ayah Sora meletakkan kembali kruk ketiak tadi dan mengambil kruk lengan yang tadi Sora pilih. “Kruk lengan ini pilihan yang bagus untukmu. Kita ambil ini.” , katanya dengan senyuman bangga di wajahnya karena Sora memilih pilihan yang tepat. *** Di kelas, Rei tidak ceria seperti biasanya. Tempat duduk di sampingnya kosong karena Sora yang tidak masuk sekolah hari ini. Suasana kelas yang begitu ramai tidak mengganggu ketenangan Rei sama sekali. Ia benar - benar terfokus pada buku pelajarannya, mencatat apa yang dirasa perlu, karena ia harus memperbaiki kembali peringkatnya di ujian kenaikan kelas selanjutnya. “Ayo semuanya kembali ke tempat duduknya masing - masing!” , perintah guru olahraga yang masuk ke dalam kelas sambil membawa tongkat kayu hasil dari meminjam pada guru sejarah. Melihat hal itu, segera semua murid - murid yang jauh dari tempat duduknya berlarian kembali ke tempat duduk mereka masing - masing. Sambil melihat satu per satu anak - anak murid di kelas, guru olahraga itu berjalan menuju mimbar guru yang berada di tengah, tepat di depan papan tulis, “Kalian ini.. Kelas belajar mandiri bukan berarti kalian bisa seenaknya berkeliaran kesana kemari mengganggu teman kalian yang fokus belajar!” , katanya dengan tatapan mengintimidasi pada murid - murid yang berkeliaran tadi. “Saito Rei?” , panggil guru olahraga tiba - tiba. Rei yang merasa terpanggil menengadahkan kepalanya menatap guru olahraga yang sudah berdiri di mimbar guru, “Ne (iya)?” “Ku dengar Sora mengalami kecelakaan, benarkah?” , tanya guru olahraga tersebut membuat murid - murid di kelas terkejut, termasuk Gitae. Sontak semuanya langsung menatap Rei menunggu jawaban. “N-ne (i-iya).” “Bagaimana keadaannya? Apa dia terluka parah?” Rei menggeleng ragu, “Aniyo, seonsaengnim (tidak, pak guru). Hanya kaki kirinya yang patah.” “Ah, sayang sekali. Ia tidak bisa ikut berpartisipasi pada pertandingan nanti.” , sesal guru olahraga dengan raut wajah prihatin. Saat itu juga murid - murid yang ada di kelas tersebut mulai berbisik - bisik berceloteh tentang kabar Sora yang membuat Rei merasa tidak nyaman karena hal itu. “Tenanglah!”, perintah guru olahraga sambil memukulkan tongkat kayunya pada mimbar hingga menghasilkan suara kencang yang membuat semua murid - murid yang bergosip langsung terdiam seketika. *** Rei baru saja menarik sepedanya keluar dari tempat parkir, Seowoo yang datang entah darimana menahan sepeda Rei dan Rei menoleh dengan malas. “Jangan menghalangi jalanku. Katakan apa maumu?” , tanya Rei malas. Seowoo menurut dan ia menyingkir, memberi Rei jalan untuk mengeluarkan sepedanya, “Apa yang terjadi? Ku dengar Sora kecelakaan, bagaimana bisa?” “Kau orang populer di sekolah ini, tiba - tiba saja begitu tertarik pada kehidupan Sora, bagaimana bisa?” , balas Rei dengan ketus. “Rei, aku serius.” , tegas Seowoo, “Dua hari yang lalu ia masih terlihat baik - baik saja. Tetapi hari ini tidak. Apa yang terjadi? Kupikir Sora adalah orang yang sangat berhati - hati, bagaimana ia bisa terlibat kecelakaan?” Mendengar pernyataan Seowoo, hanya membuat Rei semakin merasa bersalah. Ia setuju dengan perkataan Seowoo. Sora adalah seorang yang selalu berhati - hati, jika kecelakaan itu bukan karenanya, lalu karena apa? “Jika kau begitu penasaran, kenapa tidak kau tanyakan langsung padanya?” “Dwaesseo (sudah kulakukan). Tapi dia tidak membalas pesanku.” , kata Seowoo dengan lesu. Rei tergelitik mendengar hal itu. Mungkin karena rasa cemburunya, ia merasa senang saat Sora mengabakan pesan dari Seowoo. Sebisa mungkin, Rei menahan bibirnya yang berkedut ingin menyunggingkan sebuah senyuman di wajahnya. “Kalau begitu bersabarlah, kau bisa bertanya langsung padanya nanti. Aku duluan.” , ujar Rei sambil menak sepedanya dan bersiap untuk mengayuhnya. Dengan sgap, tangan Seowoo menahan bagian depan sepeda Rei agar Rei berhenti, “Dia.. baik - bak saja, kan? , tanya Seowoo dengan begitu khawatir. “Kkokjeongma (tidak perlu khawatir).. Sora tidak akan terluka semudah itu.” , kata Rei mencoba menenangkan walaupun pada kenyataannya dirinya sendiri merasa khawatir. *** Ayah Sora mengajak Sora untuk makan siang di luar karena mereka tidak memilki makanan apapu di rumah kecuai makanan cepat saji yang selalu ayahnya hindari. Setelah menimbang - nimbang dan meminta pendapat pada Sora, ia memutuskan untuk makan jajangmyeon atau mie hitam Korea. Mereka berhenti di sebuah restoran kecil, tersembunyi di sudut kota. Ayah Sora sengaja mencari restoran yang tidak terlalu ramai, sebab menimbang kondisi Sora, ia tidak ingin menyulitkan Sora dengan keramaian. Saat turun dari mobil, Sora sudah mulai berlatih berjalan dengan bantuan kruk lengan yang baru sana ia beli. Di sampngnya, ayahnya selalu bersiap jika - jika Sora merasa kesulitan berjalan dengan alat bantu barunya. Memang rasanya agak sulit di awal, namun setelah beberapa langkah, Sora mulai tau bagiamana harus menggunakannya dengan nyaman. Ia mencoba berjalan dengan kecepatan biasa, terasa sedikit sulit dan melelahkan. Pada akhirnya ia berjalan dengan kecepatan yang bisa ia toleransi. Selagi menunggu pesanan mereka datang, ayah Sora sibuk dengan panggilan telpon dari rumah sakit yang kebanyakan adalah dari para dokter pendampingnya yang bertanya tentang pasen yang berada d bawah pengawasan ayah Sora. Mendengar betapa tenang dan profesionalnya ayah Sora dalam menjawab pertanyaan, membuat Sora meresa ayahnya benar - benar sangat menawan. Ia merasa ayahnya tidak akan sulit mencari wanita untuk dinikahinya jika ia ingin menikah lagi. “Appa..” , panggil Sora tepat setelah ayahnya selesai dengan panggilan teleponnya. “Hm?” “Kenapa ibu menceraikanmu?” , tanya Sora tanpa diduga. Ayah Sora terdiam. Ia tidak menduga Sora akan menanyakan hal itu disaat seperti ini, “Bukankah Sora sudah pernah menanyakan hal itu sebelumnya? Appa juga sudah memberikanmu jawaban, kan?” , katanya sambil mengambil dua gelas kaca, meletakkannya sau di depan Sora dan satu lagi di depannya. Tak lupa ia mengisi kedua gelas tadi dengan air putih yang sudah disediakan oleh pemilik restoran di tiap - tiap meja. “Iya sih, aku sudah pernah bertanya padamu sebelumnya, tetapi.. Aku tidak merasa itu jawaban yang sebenarnya.” Ayah Sora tersentak. Memang benar, tiap kali Sora bertanya tentang alasan perceraiannya, ia selalu memberikan jawaban hasil dari karangannya. Ia tidak ingin Sora kecewa dan memiliki pandangan yang buruk pada ibunya. Yah, walaupun pada akhirnya, untuk saat ini, Sora benar - benar sedang kecewa dengan ibunya. “Ini pesanannya. Dua porsi jajangmyeon.” , sahut seorang wanita dengan celemek terpasang di badannya meletakkan dua mangkuk besar jajangmyeon yang disiram dengan saus hitam dan juga potongan acar lobak berwarna kuning yang disajikan dalam piring kecil.. Ayah Sora membantu menggeser mangkuk - mangkuk itu ke tempat yang tepat, “Ne, gamsahabnida (ya, terima kasih)~” , dan pelayan tadi langsung pergi kembali ke dapur. “Apa kau sudah pernah bertanya pada ibumu?” , tanya ayah Sora sambil mengaduk - aduk mie jajajngmyeonnya agar tercampur rata dengan saus hitamnya. Sora mengangguk sambil memperhatikan cara ayahnya mengaduk jajangmyeon, “Haesseo (sudah pernah), tetapi ia selalu menjawabnya dengan menyuruhku bertanya pada appa.” , jelasnya. Tangan ayah Sora berhenti sejenak saat mendengar ucapan Sora. Ia tidak mengerti kenapa mantan istrinya itu tidak terus terang pada Sora dan malah menyuruh Sora untuk bertanya padanya. Jika karena malu untuk mengatakannya langsung pada Sora tentang dirinya yang berselingkuh dengan pria lain dan hamil karenanya, ia bisa mengerti. Namun, jika menyuruh Sora untuk bertanya padanya, ayah Sora tidak dapat memahaminya. ‘Apa dia tidak memikirkan resiko aku akan mengatakan yang sebenarnya pada Sora?’ , pikirnya dalam hati.    Tidak ingin berlarut - larut dalam pikirannya, ayah Sora kembali pada kenyataan. Ia menukar mangkuk jajangmyeon yang sudah ia aduk dengan mangkuk jajangmyeon Sora yang belum disentuh sama sekali, “Oh geurae (begitukah)?” , tanyanya berpura - pura tidak tahu. “Eung (iya). Makanya aku terus - terusan bertanya padamu, appa.” Ayah Sora menghela nafas panjang sambil kembali mengaduk mangkuk jajangmyeon, “Jawabannya tetap sama, Sora. Kami merasa tidak cocok lagi satu sama lain. Itu sebabnya kami memilih jalan untuk berpisah.” , elak ayah Rei seperti biasanya. Sora mengambil sumpitnya dan menarik panjang ke atas jajangmyeon yang masih panas itu, “Geureomyeon (kalau begitu), kenapa appa yang membawaku?” , tanya Sora sambil meniup - niup jajangmyeon yang suda terangkat oleh sumpitnya, dan memasukannya ke dalam mulutnya. “Bukankah sudah jelas?” , kata ayahnya menggantung. Sora mendongak menunggu ayahnya melanjutkan kata - katanya. “Karena appa tidak bisa hidup tanpamu.” , lanjutnya dengan senyuman di wajahnya. Sora yang tidak menduga akan jawaban itu, terdiam dengan jajangmyeon di mulutnya. *** Tepat setelah makan malam bersama kedua orangtuanya, Rei memutuskan untuk pergi mengunjungi Sora sambil membawa catatan pelajaran yang dipelajari di sekolah tadi. Saat menekan bel, ayah Sora yang tengah membersihkan isi kulkas di dapur, bergegas untuk membukakan pintu. Rei sedikit terkejut melihat ayah Sora yang membukakan pintu. Karena biasanya jika ia datang, Sora lah yang akan membukakan pintu untuknya, “Annyeong haseyo (halo, apa kabar). Maaf aku mengganggu di jam ini. Aku membawakan Sora catatan pelajaran yang dipelajari di sekolah tadi.” , kata Rei dengan sedkit gugup. “Oh, Rei. Deureowa (masuklah).” , ayah Sora yang sama sekali tidak masalah dengan kehadiran Rei, membukakan pintu lebih lebar sebagai tanda kedatangan Rei diterima. “Bab meokgosseoyo (apa kau sudah makan)?” , tanya ayah Sora mencoba untuk basa - basi. “Ne, meokgosseoyo (iya, aku sudah makan).” “Sora ada di kamarnya. Naiklah. Aku mau menyelesaikan ini dulu.” , kata ayah Sora dengan menunjukkan kain lap di tangannya juga kulkas kosong yang terbuka lebar. “Ne (iya).” , balas Rei menurut dan langsung menaiki tangga menuju kamar Sora. Sesampainya di depan kamar Sora, Rei tidak mengetuk. Ia membuka perlahan pintunya hingga benar - benar tidak ada suara dan hanya memunculkan kepalanya saja, “Excuse me (permisi)~” , ujar Rei dengan nada menyeramkan dan menunjukkan seringainya yang terlihat menyeramkan. Sora yang tengah asyik membaca buku di atas tempat tidurnya, terkejut hingga memegangi jantungnya melihat kepala Rei yang muncul di pintu kamarnya, “Kkkapcha-- (kaget a--), ish! Ya! Berhentilah melakukan hal itu!” , pekik Sora yang benar - benar dibuat terkejut. Rei cekikikan melihat triknya masih berhasil pada Sora, "Neo mwohae (apa yang sedang kau lakukan)? Ini, aku membawakanmu catatan pelajaran tadi.” , ujar Rei berjalan masuk dan memberikan buku catatannya pada Sora. Sora menerimanya dan melihat - lihat isinya. Benar - benar lengkap dan rapi. Sora melirik curiga pada Rei, “Tidak biasanya kau melakukan ini. Dalam rangka apa?” , tanya Sora dengan tatapan curiga. Rei yang sudah lelah dengan kerugiaan Sora tiap kali ia berbuat baik padanya, menyibakkan poni Sora ke bawah hingga kepala Sora terantuk, “Aigoo (ya ampun).. Kau ini..”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD