"Sora-ya.." , panggil ibunya dari tempatnya berdiri.
Sora menelan dengan berat air liur yang terasa seperti batu karena tangis dan kekesalan yang tak tersampaikan. Ia berbalik menatap ibu dan ayahnya dengan dingin.
"Sora-ya.. eomma mianhae (maafkan ibu)."
"Mwoga mianhaeyo (minta maaf untuk apa)? Karena meninggalkanku atau karena tidak menjadi seseorang yang selalu ada untukku?" , jawab Sora ketus.
Ibu Sora tertegun mendengar pertanyaan yang Sora lontarkan padanya. Semuanya terasa benar, namun ia takut jika mengiyakannya maka Sora tidak akan menganggapnya lagi.
"Waeyo (kenapa)? Kenapa meminta maaf padaku jika pada akhirnya meninggalkanku?!"
Tidak tahan mendengar semua pisau yang Sora tancapkan pada hatinya dengan cara menuntutnya untuk merasa bersalah, tidak terasa air mata sudah mulai berkumpul di matanya, S-sora-ya.." , ibu Sora berjalan perlahan mendekati Sora untuk memeluknya.
Dengan tegas, Sora memutar mundur kursi rodanya menjauh, memberi tanda bahwa dirinya sudah tidak bisa toleransi lagi akan hal ini.
Melihat Sora melakukan hal itu, ibu Sora menghentikan langkahnya agar Sora tidak mundur semakin jauh.
"Eommaneun (ibu).. bukannya membencimu. Eomma juga tidak ingin meninggalkanmu. Eomma tahu.. hal yang eomma lakukan memang sangat egois. Aku tidak punya pilihan--" , jelas ibu Sora berusaha menjelaskan namun langsung disela oleh Sora.
"Aniyo (tidak). Eomma bukannya tidak punya pilhan, tetapi tidak memasukanku ke dalam pilihan." , ujar Sora dengan penuh penekanan.
"Aku.. tidak punya seseorang untuk mengajarkanku memasak selain melihat video cara memasak. Tidak ada yang mengikat rambutku.. Itu sebabnya aku membiarkan rambutku tidak pernah panjang dan selalu memotongnya." , tambahnya dengan mata berkaca - kaca.
Setetes air mata jatuh ke pipi kirinya, dengan sigap tangan kirinya, "Maaf jika selama ini aku pernah merepotkanmu ataupun menyulitkanmu. Hal itu tidak akan terjadi lagi. Karena aku.. tidak ingin melihatmu lagi. Eomma."
Ibu Sora jatuh terduduk mendengar penegasan dari Sora. Ia tidak menyangka akan disingkirkan oleh putrinya seperti ini. Selama ini ia berpikir hubungannya dengan putrinya baik - baik saja.
"Sora.." , tegur ayahnya yang ingin Sora memikirkan kembali perkataannya.
"Appa do ttok gathae (Ayah juga sama saja)!" , pekik Sora dengan air mata yang mengalir semakin deras.
"Appa tidak pernah meluangkan waktu untukku." , isak Sora, "Appa tidak pernah memahami perasaanku."
"Bagaimana bisa appa berkata bahwa aku baik - baik saja selama tidak terluka parah? Lihat kakiku. Apa appa ingat aku akan ada pertandingan minggu depan? Tidak, kan?" , Sora mengusap semua air mata yang sudah membasahi kedua pipinya, "Aku.. Bagaimana bisa aku bertanding dengan kaki seperti ini?" , tanya Sora dengan bibir yang sedikit bergetar.
"Sora-ya, appa--"
"Aku harap appa tidak melihatku sedang bertingkah kekanakan. Aku sudah memberanikan diri untuk dengan terbuka mengungkapkan perasaanku." , sela Sora tidak ingin mendengar alasan dari ayahnya karena dalam lubuk hatinya ia tidak sepenuhnya tidak setuju dengan semua yang ayahnya lakukan padanya, "Na pigonhae (aku lelah). Aku akan pergi ke kamarku."
Meninggalkan kedua orangtuanya yang sama - sama terdiam, Sora membawa kursi rodanya menuju tangga penghubung ke lantai dua dimana kamarnya berada. Sesampainya di anak tangga terbawah, Sora berusaha berdiri sendiri dari kursi rodanya dengan satu kakinya yang tidak terluka dan berpegangan pada pegangan anak tangga dengan kedua tangannya. Dengan susah payah Sora menarik tubuhnya agar kaki satunya bisa naik ke anak tangga selanjutnya.
'Sial! Ini sulit sekali! , umpat Sora dalam hati.
Baru naik satu anak tangga, ayahnya menghampirinya karena tidak tahan lagi melihat putrinya bersusah payah seorang diri dan mengangkat tubuhnya untuk menggendongnya ala bridal style, lalu membawanya ke kamarnya.
Sora yang merasa tidak enak karena tadi sudah membentak pada ayahnya sedangkan sekarang ia dibantu oleh ayahnya hanya untuk pergi ke kamarnya, hanya menunduk dan tidak berani melihat wajah ayahnya. Begitu juga dengan ayahnya yang sudah terlanjur diliputi rasa bersalah karena merasa semua perkataan Sora tadi tidak sepenuhnya salah, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun saat menggendong Sora.
Sesampainya di kamar Sora, ayahnya menurunkannya di atas tempat tidur yang empuk dengan perlahan. Saat itu sejenak Sora merasa ayahnya benar - benar seorang gentle man.
"Jika perlu sesuatu, panggil saja. Jangan menyulitkan dirimu sendiri." , pesan ayahnya sebelum pergi.
"Appa.." , panggil Sora menghentikan langkah ayahnya yang sudah berbalik pergi.
"Mianhaeyo (maafkan aku)." , lanjutnya dengan tangisan yang tertahan di tenggorokannya.
Ayah Sora mendekat kembali pada Sora dan mengelus kepalanya, "Appa do mianhae (ayah juga minta maaf).." , katanya sebelum benar - benar pergi dari sana.
Sesaat setelah pintu kamarnya ditutup, Sora menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangannya terisak mengeluarkan semua sesalnya.
Rei yang baru masuk ke kamarnya sambil membawa segelas cokelat panas dengan marsmellow yang mengambang di atasnya, tidak sengaja melihat bayangan Sora yang sedang menangis saat ia hendak menghampiri meja belajarnya.
Dengan perasaan iba, Rei mendekat ke jendela kamarnya dan menatap bayangan Sora dengan sedih, "Manhi apeujanha (sangat menyakitkan, ya)?.."
***
Ayah Sora menuruni tangga dengan banyak pikiran berkecamuk dalam otaknya. Ia menghampiri mantan istrinya yang tengah membereskan sisa bekas makannya dengan Sora tadi.
"Tidak perlu. Biar aku saja. Ini sudah larut, sebaiknya kau segera pulang. Aku tidak mengharapkanmu untuk menginap." , kata ayah Sora dengan dingin sambil meliat lengan kemeja putihnya bersiap untuk membereskan sisanya.
Mantan istrinya itu menurut saja, "Soraneun.. (bagaimana dengan Sora)?" , tanyanya dengan mata yang sudah memerah.
"Dia akan baik - baik saja. Dia hanya butuh istirahat."
"Kau tahu.. putriku mengidap leukimia (kanker darah). Setahun belakangan ia hanya berada di rumah sakit. Dia membutuhkanku untuk mendampinginya selama pengobatannya." , ujar ibu Sora mencoba agar ayah Sora mau memahami situasinya.
Mendengar penjelasan itu, ayah Sora meletakkan piring yang sedang ia cuci kembali ke bak cuci mendengar penjelasan Sora, "Lalu? Apa menurutmu Sora tidak membutuhkanmu selama ini? Aku tahu aku bukanlah seorang ayah yang baik, aku tidak bisa mengantikan peranmu sebagai ibunya."
Ibu Sora terdiam mendengar ucapan mantan suaminya yang terdengar tidak peduli pada putrinya yang lain.
"Sekarang pergilah. Suami dan putrimu pasti sedang menunggumu di rumah. Maaf sudah menelponmu. Terima kasih sudah datang."
Mendengar usiran yang begitu halus namun menyakiti perasaannya itu, ibu Sora menengadahkan kepalanya untuk menahan air matanya agar tidak jatuh. Tidak ingin berlama - lama lagi, ia meraih tas juga mantelnya dan langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.
***
Di kamarnya masing - masing, baik Sora maupun Rei menyadari, bahwa mereka sama - sama tidak berhasil meraih impian mereka yang begitu dekat di depan mereka.
Rei merasa sedikit kesal karena pada akhirnya, ia tidak berhasil membuktikan pada ayahnya soal kemampuan dan potensinya di atas panggung hari ini. Namun, ia lebih merasa menyesal karena telah membawa Sora pada kemalangan yang menimpanya hari ini, yang juga membuat Sora gagal mengikuti pertandingan yang selama ini ia tunggu - tunggu dan usahakan sekuat tenaganya.