BAB EMPAT PULUH SATU

1124 Words
Selesai membantu Sora masuk ke dalam mobil bagian tempat duduk depan, ibu Sora beralih ke bagasi belakang untuk meletakkan kursi roda yang sudah dilipatnya dan membawanya serta. "Kita pulang ke tempat ayahmu, ya." , ujar ibu Sora yang baru masuk dan langsung menarik sabuk pengaman dari tempatnya dan melingkarkannya melewat badannya. "eomma kan memang tidak pernah membawaku ke rumahmu. , celetuk Sora yang berhasil membuat ibunya tertohok. Tidak tahu harus berkata apa, ibu Sora memilih untuk tidak menanggapinya dan menyalakan mesin mobil, "chulbal (ayo berangkat)~" Sepanjang perjalanan bu Soa bersenandung dengan riang, sementara Sora hanya duduk dan menatap lurus ke depan dengan pikiran yang berkecamuk. Dalam hatinya, Sora merasa sedih. Setelah melihat keadaannya yang terluka seperti ini, ibunya masih terlihat bahagia dan santa, seakan - akan ini adalah hari indah yang biasa ia jalani. Terlebih lagi Sora merasa kelas karena ibunya tidak meminta maaf dan idak memberi penjelasan mengapa ia sudah tidak pernah menemuinya setahun ke belakang ini dan sulit dihubungi. Sempat Sora dulu berpikir jika bunya telah meninggalkannya.Namun, Sora masih terus bertanya - tanya apakah bunya tidak ingin bicara lagi dengannya hingga ia sendir tdak bisa menghubunginya. Hanya satu. Hanya satu permintaan maaf saja sudah cukup untuk Soa. Tidak, bahkan sebuah penjelasan tanpa perminaan maaf pun sudah diasa cukup untuk mengobati sedikit luka dan kekosongan dalam hatinya akan kasih sayang seorang ibu. "Joha gibuni boine, eomma (spertinya kau sedang senang sekali ya, bu?" , tanya Sora tiba - tiba, ia menatap ibunya,  menginterupsi senandung dari mulut ibunya tersebut. Ibunya tertsenyum miris, "Maksudmu aku bersenandung sepert in? Eomma mianhae (ibu mita maaf, ya), apa tu mengganggumu? Kau ingin ibu berhenti melakukannya?" "Aniya (tidak), gaeunyang kkumkumhaeyo (hanya penasaran saja)." , Sora kembali mengalihkan pandangannya ke jalanan di depannya. Sora kembali berbicara dengan pikirannya dalam ruang sempit yang ada dalam otaknya. Disanalah tempat favoritnya saat sedang berdiam diri. Ia bertanya - tanya mengapa rasanya ia tidak bahagia padahal sudah bertemu dengan seseorang yang ia rindukan selama ini. Apa yang salah? pikirnya. "Kita sudah sampai!~" , ujar ibunya membawa Sora kembali pada kenyataan. "Wah, sudah banyak yang berubah disini. Pagarnya pun sudah berbeda." , Sora hanya diam saja tidak menanggapi omongan ibunya. Sesampainya tepat di depan pintu gerbang, ibu Sora membuka sabuk pengamannya dan beranjak turun untuk membuka gerbangnya. Suara roda - roda besi yang bergerak saat pagar setinggi hampir dua meter tersebut didorong terdengar berat. Setelah membukanya lebar - lebar, segera ia kembali ke mobilnya dan membawanya masuk dan menutup kembali gerbangnya. Sementara itu, Sora menunggu untuk kursi rodanya datang. Kakinya masih belum meungkinkan untuk ia bisa berjalan pincang. Dari kaca spion tengah yang berada tepat di atas dashboard mobil, Sora bisa melihat bagasi belakang mobil terbuka dan tertutup. Tak lama, pintu mobil di sampngnya terbuka memperlihatkan ibunya juga kusi roda yang sudah dibuka kembali. "Kajja (ayo)." , ujar ibunya dan memegangi tangan Sora kuat - kuat agar ia bisa turun dan duduk di kursi bantunya. Melihat gundakan pintu depan yang dibuat bertangga, membua ibu Rei berhenti sejenak karena ragu untuk menaiki tiga anak tangga tersebut. "Lewat garasi saja. Kuncinya ada di dalam pohon itu.." , ucap Sora yang mengerti apa yang sedang ibunya pikirkan sambil menunjuk sebuah pohon kecil namun banyak cabang juga lebat daunnya. Ibu Sora langsung menuruti perkataan Sora. Ia berjalan menghampiri pohon yang Sora maksud dan tangannya menerobos daun - daun kecil yang lebat itu untuk meraih sebuah kunci yang tercantol di salah satu dahan kecil di dalamnya. Rolling door garasi yang sudah terbuka kuncinya, ia dorong ke atas hingga setengahnya dan menampilkan mobil ayah Sora yang tetutup sarung pelindungnya. Sora yang tidak ingin menunggu ibunya untuk mendorong kursi rodanya, berinisiatif untuk memutar rodanya sendiri dan masuk lebih dulu. Ibu Sora yang terkejut Sora menggerakkan kursi rodanya seorang diri, hanya tertegun berdiri di bawah rolling door yang baru saja diangkat olehnya. Sora yang telah sampai di depan pintu penghubung garasi dan dapur bernhenti dan menoleh pada ibunya, "Mwohae (apa yang kau lakukan)? Apa eomma ingin aku yang membuka kunci pintu ini?" , tanyanya dengan dingin. Suasana hati Sora benar - benar sedang buruk hari ini. "E-eoh?" , ibu Sora tersadar dari lamunan sejenaknya dan langsung bergegas menghampiri Sora untuk membukakan pintu. "Jangan lupa tutup lagi garasinya." , kata Sora lagi tanpa menengok ke belakang. Ibu Sora hanya menurut saja. *** Hari sudah malam saat Ayah Sora tiba di Korea. Tanpa pikir panjang, ia langsung berlari keluar sambil menarik kopernya dan mengulurkan tangannya untuk menghentikan taksi - taksi. Tak butuh waktu lama, sebuah taksi menghampiinya. "Ahjussi (paman)! Buka bagasinya!" , sahutnya dengan terburu - buru. Supir taksi tersebut segera turun untuk membantu Ayah Sora yang terlihat terburu - buru untuk memasukkan kopernya ke dalam bagasi. *** Sesampainya di depan rumahnya, Ayah Sora langsung bergegas turun da dengan terburu - buru ia masuk ke dalam rumah. "Sora-ya?!" , panggilnya dengan panik. Sora dan ibunya yang tengah makan pizza yang oleh ibunya pesan lewat layanan pesan antar, terkejut dan langsung menengok ke arah sumber suara. Begitu melihat Sora, ayahnya langsung menghampiriya dan berlutut di depannya, "Gwaenchanha (kau tidak apa - apa)? Tidak ada luka yang serius, kan?" , tanyanya dengan nafas tersengal. Sora menunjuk dengan matanya pada kakinya yang dibungkus gips, ayah Sora ikut melihat ke arah kaki Sora dan bahunya melemas. "Syukurlah hanya patah kaki. Akan sembuh dalam beberapa minggu." , ujarnya yang justru membuat Sora kecewa. Ia tidak menyangka kedua orangtuanya benar - benar tidak dapat mengerti apa yang ia rasakan. Ayah Sora berdiri dan beralih pada mantan istrinya yang masih makan tanpa terganggu sedikitpun, "Gomawo (terima kasih).." Mantan istrinya tersebut mengalihkan pandangannya ke samping dan berdecih dengan seringainya merendahkan, "Aku tidak mengerti bagaimana bisa kau meninggalkannya sejauh itu. Jika aku tahu begini caramu membesarkannya, aku akan membawanya." "Mwo (apa)?" , ayah Sora tidak terima, "Apa maksudmu meninggalkannya? Apa kau tidak melihat pada dirimu sendiri? Kau yang meninggalkannya. Kau lupa?" Ibu Sora langsung berdiri tidak terima, "Ani (tidak)! Aku tidak meninggalkannya. Aku meninggalkanmu. Dan kau yang mengambilnya dariku." Ayah Sora membuang mukanya ke samping merasa muak mendengar omong kosong pembelaan yang mantan istrinya bicarakan, "Dengar, jika kau benar - benar peduli pada Sora, setidaknya kau akan bertahan demi Sora. Tapi lihat apa yang kau lakukan? Kau mengkhianatiku, kau juga mengkhianati Sora." Sora yang masih berada disitu, berusaha menahan amarah yang mendesak untuk keluar. Tangannya menggenggam pegangan kursi rodanya dengan erat. "Geurae (benar)! Aku akui aku meninggalkannya. Tetapi bukan berarti kau juga bisa meninggalkannya sesuka hatimu!" "Aku tidak meninggalkannya!" , balas ayah Sora ikut menaikkan nada suaranya. "GEUMANHAE (HENTIKAN)!" , teriak Sora sekencang yang ia bisa dengan wajah memerah dan mata yang berkaca - kaca. Ayah dan ibunya berhenti dan menatap Sora. "Dulda tteokgathae (Kalian berdua sama saja)." , ujar Sora dengan air mata yang menetes dan begegas memutar rodanya pergi dari sana. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD