Hujan sudah reda dan hanya menyisakan tetesan–tetesan air yang jatuh dari sisi atap rumah dan juga dari daun pohon–pohon. Sora sampai di rumah dengan tubuhnya yang setengah basah. Ia langsung membereskan cuciannya yang basah kuyup karena terguyur hujan dan tidak sempat diselamatkan. Setelah itu ia baru bergegas ke kamar mandi dan menyalakan shower. Begitu juga yang dilakukan Rei. Ia langsung bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan kekacauan akibat cipratan genangan air tadi dan mendinginkan pikirannya.
Ponsel Sora terus berbunyi karena pesan masuk yang bertubi–tubi dari group chat kelasnya. Sora keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit tubuhnya. Dengan santai ia menaiki tangga ke lantai dua menuju kamarnya.
Dari pintu kamarnya, ia bisa mendengar suara–suara notifikasi yang datangnya dari ponselnya yang tergeletak di atas meja belajarnya. Sambil menata handuk yang ia gunakan untuk menutupi sekaligus mengeringkan rambutnya, ia melenggak dengan santai menghampiri ponselnya. Ia bisa melihat notifikasi panggilan tak terjawab dari Rei yang sudah menelponnya sebanyak lima kali dan juga pesan dari Rei yang ingin makan tteokpokki. Sora tersenyum melihat notifikasi tersebut.
Notifikasi pesan masuk dari Seowoo yang menanyakan apakah Sora sudah tiba di rumahnya dengan selamat juga ada. Namun perhatian Sora lebih ke group chat kelasnya yang terlihat tidak biasa karena tidak biasanya seramai ini kecuali saat hari menjelang ujian dan saat akan ada karya wisata.
Di seberang kamar, rupanya Rei juga sudah selesai dengan mandinya. Ia sudah berpakaian dan tengah mengeringkan rambutnya dengan cara menggosok–gosokkan rambutnya dengan handuk. Saat berjalan menuju meja belajarnya, ia bisa melihat Sora yang tengah terlihat serius menatap ponselnya tanpa memakai baju dan tubuhnya hanya dibalut handuk. Rei salah tingkah melihat hal itu. Ia merasa malu, gugup, sekaligus senang. Ia merasa hal itu bukan sesuatu yang harus ia lihat namun merasa disayangkan jika ia menyia–nyiakan pemandangan seperti ini.
Di tengah perdebatan antara logika, hati nurani, dan juga nalurinya sebagai seorang laki–laki yang tertarik pada tubuh perempuan, ia melihat ekspresi terkejut Sora yang membuka mulutnya saat melihat sesuatu yang tampak di layar ponselnya. Rei menduga Sora sudah membuka group chat kelasnya dan sudah melihat foto dirinya dengan Seowoo yang diambil diam–diam. Belum lagi ditambah kata–kata pedas dari para siswi yang tidak menyangka akan hal itu.
Memikirkan resiko yang akan Sora hadapi ke depannya, membuat Rei sedikit khawatir. Setidaknya Sora akan mendapatkan sedikit protes dan cacian dari siswi–siswi yang menyatakan diri mereka sebagai fans dari Seowoo dan tidak ingin Seowoo bersama dengan sembarang orang apalagi yang tidak selevel dengan Seowoo. Mengingat Sora bukanlah siapa–siapa dibandingkan Seowoo di sekolah, sudah pasti Sora yang akan paling besar merasakan dampaknya.
Skenario terburuknya adalah Sora mendapatkan perundungan. Tetapi memikirkan bahwa hal seperti itu sangat sedikit kemungkinannya untuk terjadi karena di lingkungan sekolahnya belum pernah terjadi perundungan di kalangan para siswi. Rei pun berharap hal itu tidak akan terjadi. Di tengah lamunannya, Rei terkejut saat menyadari Sora sedang menatapnya sekarang.
Melihat komentar–komentar kurang menyenangkan dari beberapa siswi membuat Sora berkeringat dingin karena takut. Ia tidak pernah ingin menjadi pusat perhatian apalagi jadi pembicaraan banyak orang. Pada akhirnya ia mengerti apa yang dimaksud dengan -keributan- yang Rei maksudkan tadi saat mereka berteduh di bawah jembatan. Sora mulai panik memikirkan apa yang akan terjadi padanya besok. Hal seperti ini tidak pernah ia bayangkan ataupun harapkan untuk terjadi. Di tengah kepanikannya, saat melihat ke depan jendela, Sora melihat Rei tengah tertegun menatapnya dari seberang kamarnya. Ia pun langsung berniat untuk meminta saran dari Rei untuk solusi dari masalah ini.
Sora melambaikan tangannya untuk memastikan bahwa Rei menatapnya. Di seberang, Rei terlihat terkejut saat Sora melambaikan tangan padanya. Matanya membelalak tiba–tiba saat melihat hal itu dan dengan reflek langsung memalingkan wajahnya karena malu sekaligus takut karena ketahuan tengah menatap Sora yang belum berpakaian itu.
Namun Sora mengira Rei mengacuhkan dirinya karena Rei masih marah padanya atas apa yang sudah ia lakukan pada Rei dengan genangan air dan bus tadi. Sora pun segera membuka jendela kamarnya dan memanggil Rei dari kamarnya. Namun Rei masih membelakanginya dan tidak mau memutar tubuhnya untuk menatapnya. Sora mendengus sebal, disaat seperti ini mengapa sifat merajuk Rei harus kambuh. Sora berinisiatif mencari kontak Rei dan menelponnya. Matanya masih menatap Rei, menunggu Rei menjawab panggilan darinya.
Ponsel di tangannya bergetar tanda ada panggilan masuk, Rei langsung melihatnya dan menampilkan kontak yang menelponnya adalah kontak yang ia beri nama dengan menggunakan angka lima enam. Angka lima enam yang dimaksud adalah angka simbol nada sol yang dilambangkan dengan angka lima dan nada la yang dilambangkan dengan angka enam. Jika digabungkan akan menjadi sol la yang terdengar seperti nama Sora jika diucapkan. Rei mengangkat panggilan itu dan menunggu Sora yang berbicara lebih dulu.
“Rei? Hei, kau masih marah padaku? Kenapa membelakangiku saat aku memanggilmu? Apa kau sedang mencoba untuk mengacuhkan aku? Dengar, aku minta maaf atas kejadian tadi.” , Rei masih diam, ia masih ingin mendengar apa yang akan Sora katakan selanjutnya.
“Tapi tadi itu benar–benar lucu ahahaha, dadaku rasanya sesak menahan tawa-“ , Rei membalikan tubuhnya menatap Sora dengan tatapan tajam. Sora melihat hal itu dari kamarnya langsung menghentikan tawanya dan mengubah ekspresi wajahnya. Rei pun membalikkan tubuhnya lagi membelakangi Sora.
“Yak! Aku sudah minta maaf, aku harus bagaimana lagi? Ayolah, bantu aku Rei. Kau tahu kan, aku hanya punya kau.” , rengek Sora memelas.
“Baju. Pakai bajumu.” , jawab Rei dengan canggung. Sora yang mendengarnya pun langsung menyadari bahwa dirinya belum memakai bajunya dan hanya berbalutkan handuk.
Wajah Sora memerah dan ia pun spontan langsung mematikan ponselnya. Saat itu juga Rei bisa mendengar suara Sora yang menutup jendela kamarnya dengan membantingnya, hal itu membuat tubuh Rei terkejut mendengarnya. Sora langsung melemparkan tubuhnya ke kasur tempat tidurnya dan menenggelamkan wajahnya di bantal sambil berteriak karena malu. Rei menggaruk leher belakangnya yang tidak gatal dengan canggung. Mengingat hal yang baru saja ia lihat tadi membuat pipinya memerah tanpa sadar dan ia benar–benar merasakan perasaan yang aneh.
***
Layaknya mimpi buruk yang menjadi kenyataan, hari ini Sora benar–benar menarik banyak perhatian. Kemana pun ia pergi ataupun dimana pun ia berada, hampir semua mata memandangnya. Semua tatapan itu seakan menelanjanginya, Sora benar–benar merasa tidak nyaman karena hal itu. Ia tidak menyangka hal biasa yang ia lakukan akan berdampak sangat besar jika dilakukan dengan orang yang tidak biasa.
Semua tatapan tidak biasa itu juga bisa Rei lihat dengan jelas. Tebakannya benar dan ia merasa lega bahwa reaksinya tidak sebesar yang ia duga sebelumnya. Namun dengan hanya tatapan–tatapan seperti itu, bagi Sora itu adalah hal besar untuk dihadapi. Terkadang Rei merasa senang pada fakta Sora tidak memiliki teman sesama perempuan yang akrab, jadi ia tidak perlu merasakan dicap pengkhianat atau sebagainya yang akan terasa lebih menyakitkan dibandingkan semua tatapan ini.
Sora masih diam di dalam kamar mandi khusus perempuan yang ada di ruang olahraga walaupun ia sudah selesai membersihkan badan dan juga mengganti pakaian olahraganya dengan seragam sekolah. Satu–satunya alasan mengapa ia tidak berani keluar adalah karena di dalam toilet tempat dia berada juga ada beberapa siswi yang sedang merapikan riasan dan mengatur tatanan rambut mereka sambil mengobrol, dan yang sedang mereka bicarakan sudah pasti adalah tentang foto Sora dan Seowoo yang beredar di group chat yang sekarang sudah pasti menyebar hingga group chat kelas seluruh kelas yang ada di sekolah ini. Sora tetap diam di dalam bilik kamar mandi sambil menguping pembicaraan mereka yang sudah pasti dilebih–lebihkan dan hanya berdasarkan prasangka mereka belaka.
“Kalian sudah melihat foto yang ramai dibicarakan di group chat semalam?” , tanya salah seorang siswi yang sedang sibuk menata rambut–rambut poninya di depan cermin wastafel sambil melirik teman–temannya yang lain melalui pantulan cermin.
“Ahh, foto Seowoo dengan si shooting guard kiri itu?” , respon siswi berambut pendek yang sedang membuat ombre lipstik di bibirnya.
Siswi yang menata poninya mengangguk mengiyakan, “Menurut kalian apa hubungan mereka sudah sejauh itu? Maksudku, tidak biasanya Seowoo mau membonceng seorang perempuan, ya kan? Apa kalian pernah melihatnya melakukan hal itu sebelumnya?”
Siswi yang berambut pendek menutup lipstiknya dan memasukkan semua peralatan riasannya ke dalam tas riasnya, “Entahlah. Jika benar seperti itu, apa yang Seowoo lihat dari perempuan itu? Apa Seowoo tidak tahu jika perempuan itu sering keluar dengan laki–laki teman sekelasnya? Aku sudah sering melihat mereka kemana–mana selalu bersama. Apa ini? Apa perempuan itu sudah beralih pada Seowoo sekarang? Heol..”
Perkataan tersebut entah mengapa mudah diterima oleh teman–temannya dibandingkan mereka mencoba untuk menanyakannya langsung pada Sora ataupun pada Seowoo. Sora hanya diam mendengarkan dari dalam bilik kamar mandi. Bukannya ia tidak memiliki keberanian untuk melawan, hanya saja ia tidak ingin hal ini jadi semakin rumit jika ia melakukan perlawanan sekarang. Memilih untuk diam dan berharap agar isu ini segera berlalu adalah satu–satunya hal yang ingin Sora lakukan.
Setelah dirasa sepi, Sora pun membuka pintu bilik kamar mandi dengan perlahan dan mengintip keadaan diluar. Kosong, sekarang hanya ada dirinya di dalam toilet. Ia pun bergegas keluar sebelum ada siswi–siswi lain yang masuk.
Dengan terburu–buru Sora pergi dari kamar mandi dan hanya ingin sampai di ruang kelasnya secepatnya. Saat ini ia bahkan berharap memiliki pintu kemana saja milik Doraemon agar ia bisa pergi ke ruang kelasnya atau ke kamar di rumahnya, demi menghindari semua tatapan itu.
Seowoo yang sejak tadi mencari Sora, melihat Sora yang dengan tergesa–gesa keluar dari toilet perempuan sambil memeriksa isi tasnya. Seowoo pun berlari menghampiri Sora, kini hanya tinggal mereka berdua yang ada di ruang olahraga.
“Hei,” , tegur Sewoo saat ia sudah berhasil menghentikan langkah Sora.
Berbeda dengan Seowoo yang tampak senang, raut wajah Sora terlihat sangat khawatir sekaligus takut. Ia bahkan melihat sekeliling untuk memastikan bahwa mereka benar–benar berdua dan tidak ada orang lain lagi selain mereka berdua di ruangan ini.
“Ada apa?” , tanya Seowoo yang bingung dengan tingkah Sora saat ini.
Mata Sora berhenti memeriksa dan sekarang matanya menatap lurus pada Seowoo, “Sepertinya lebih baik kita tidak terlihat bersama, sunbae. Ah tidak, aku yang tidak boleh terlihat bersamamu.”
Seowoo menaikkan sebelah alisnya, “Apa maksudmu?”
“Maksudku-“ , Sora menghentikan kata–katanya saat melihat beberapa siswi dari tim cheerleaders memasuki ruang olahraga. Dengan sigap Sora langsung berlari tanpa suara menuju samping podium dan menyelinap melalui belakang podium penonton menuju pintu masuk.
Seowoo melihat tingkah Sora dengan bingung. Ia tidak mengerti mengapa Sora menghindar darinya sejak pagi dan mengabaikan semua pesan masuk darinya. Pikirannya memaksa untuk mengingat-ngingat apakah ada sesuatu yang salah yang ia lakukan kemarin.
Terlalu fokus pada pikirannya, ia tidak menyadari bahwa beberapa siswi tim cheerleaders tadi sedang memperhatikannya dengan malu–malu sambil berbisik–bisik satu sama lain. Tanpa pikir panjang, Seowoo pun langsung memberikan mereka senyuman mautnya yang memperlihatkan lesung pipinya yang dalam. Hal itu spontan membuat para gadis tadi salah tingkah dan kegirangan. Setelah membuat para gadis tadi luluh hanya dengan senyumannya, Seowoo memberi mereka semangat dan pergi meninggalkan ruang olahraga berniat untuk menyusul Sora.
Menaiki tangga menuju lantai dua sekolahnya dan juga harus melewati lorong koridor sekolah yang tadinya adalah hal yang sangat mudah untuk dilakukan, entah mengapa hari ini terasa berbeda bagi Sora. Rasanya amat berat hanya untuk melakukan hal itu. Ia tahu betul ia tidak melakukan kejahatan ataupun kesalahan, tetapi ia tidak mengerti mengapa kepalanya tertunduk seperti yang sedang ia lakukan sekarang.
Rei yang sudah mengikuti Sora sejak Sora keluar dari ruang olahraga, memperhatikan Sora yang berjalan di depannya. Ia pun menyadari semua tatapan itu yang begitu mengintimidasi Sora. Melihat Sora yang berjalan dengan takut membuatnya tidak tahan lagi. Rei pun segera menyusul Sora dan menyamakan langkahnya dengan Sora sambil tangannya meraih tangan Sora dan menggenggamnya. Hal itu sontak membuat Sora terkejut dan para siswa dan siswi yang ada di lorong pun terkejut melihatnya.
Mereka terkejut pasalnya setelah tertangkap basah sedang bersama Seowoo, bagaimana bisa sekarang terang–terangan bergandengan tangan dengan laki–laki lain. Beberapa siswi bahan ada yang diam–diam mengambil foto mereka dan mengirimkannya pada yang lainnya.
“Kenapa kau..” , raut wajah terkejut Sora terlihat jelas saat melihat orang yang tengah menggenggam tangannya adalah Rei.
Rei tersenyum pada Sora yang memandangnya dengan tatapan terkejut, “Memangnya uangmu jatuh nona? Mengapa menundukkan kepalamu seperti itu? Ck. ”
‘Bu-bukan begitu..” , Sora kembali menundukkan kepalamu lesu.
“Tsk, angkat kepalamu. Orang–orang akan mengira aku sedang memarahimu.”
Sora menarik sedikit sudut bibirnya mendengar perkataan Rei. Ia melirik Rei dan dilihatnya Rei mengangguk dengan yakin. Melihat hal itu, Sora akhirnya mengangkat kepalanya dan mencoba untuk berjalan dengan percaya diri seperti biasanya. Saat melihat tatapan orang lain yang melihat dirinya dengan tatapan yang lebih parah dari sebelumnya membuatnya ingin menundukkan kepalanya lagi atau setidaknya memejamkan matanya agar ia tidak melihat semua tatapan itu.
Rei yang juga menyadari hal itu, menggenggam lebih erat tangan Sora memberi sinyal pada Sora untuk tetap mengangkat kepalanya dan menahannya untuk sebentar saja. Seowoo yang menyusul Sora melihat hal itu dan ia menghentikan langkahnya. Hatinya enggan melihat hal itu, ia pun berbalik pergi.