BAB SEBELAS

2903 Words
Seowoo mengajak Sora ke zona permainan yang ada di pusat perbelanjaan yang tak jauh dari jembatan Jamsu dan Banpo. Pengunjung yang datang semakin ramai ketika hari semakin sore. Banyak siswa siswi sekolah menengah yang datang sepulang sekolah sama seperti mereka. “Jadi ini maksudmu tempat yang bagus untuk bermain basket?” , Sora melihat sekeliling zona permainan yang cukup ramai pengunjung. Seowoo tidak menjawab, ia mendorong kedua bahu Sora, membawanya ke depan mesin permainan memasukkan bola ke dalam keranjang yang nantinya akan bergerak ke kanan dan ke kiri. “Ini dia. Bermain basket bersama, tanpa harus terkena udara dingin diluar.” Sora tersenyum geli. Ia tidak pernah memperkirakan hal ini sebelumnya. “Mau bermain?” , tanya Seowoo dengan nada gentle yang disengaja. Sora mengangguk mengiyakan. *** Mobil milik keluarga Rei sudah terlihat memasuki garasi. Ibunya lah yang pertama keluar dari mobil begitu mesin mobil dimatikan. Rei dan ayahnya saling bertukar pandang melalui kaca spion yang tergantung di atas tengah dashboard mobil. “Rei, hari ini kita pesan makanan saja, tidak apa–apa?” , tanya Ayahnya yang menatap Rei melalui spion tengah. Rei hanya mengangguk mengerti. Ayahnya Rei sudah keluar dari mobil menyusul istrinya, sedangkan Rei masih terpaku di kursi tengah mobil. Pikirannya agak kacau. Selain sedih karena melihat kondisi ibunya, ia juga merasa tidak karuan karena Sora. Sampai sekarang Sora masih belum membalas pesannya sama sekali. Status pesannya masih centang dua. Pikiran Rei pun mulai meracau kemana–mana. Ia menelungkupkan kedua tangannya menutupi wajahnya dan menyandarkan kepala juga badannya pada sandaran kursi mobil. Namun sesaat itu juga itu sadar, “Kenapa aku begini? Memangnya dia siapa? Kenapa aku harus merasa terganggu saat dia pergi bersama yang lain? Ah, aku pasti sudah gila.” , Rei menggeleng–gelengkan kepalanya cepat dan segera keluar dari mobil. *** Sora dan Seowoo sudah menyelesaikan permainan pertama mereka yang dimenangkan oleh Seowoo. Menurut Sora , Seowoo terlalu gentle. Ia bahkan tidak menyombongkan kemenangannya, berbeda sekali dengan Rei. Saat itu Sora mendadak teringat pada Rei. Ia khawatir Rei akan kesulitan untuk menenangkan beban mental yang sedang ibunya hadapi. Sora juga tahu betul seberapa besar kasih sayang yang ibunya Rei miliki untuk ibunya. Sudah pasti bukan hal yang mudah. “Mau bermain lagi?” tegur Seowoo membuyarkan lamunan Sora. Respon Sora agak lambat karena ia masih terhanyut dalam pikirannya, namun ia tetap mendengar apa yang Seowoo katakan padanya. “Hm? Apa? Ah iya boleh.” , jawab Sora tanggap. Namun Seowoo menyadari ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran Sora. “Mau makan es krim?” , Seowoo mengganti pertanyaannya. “Umm.. boleh.” “Ayo.” , Seowoo menarik tangan Sora mencoba untuk bergandengan tangan. Namun Sora berhenti dan menepisnya, “Aku bisa jalan sendiri.” “Ah maaf. Ayo.” , Mereka pun berjalan beriringan dengan canggung. *** Hari sudah semakin gelap. Sang mentari pun sudah menyembunyikan sosoknya, semua lampu–lampu yang ada di jalan–jalan, rumah–rumah, ataupun yang ada pada kendaraan sudah unjuk gigi dengan bersinar seterang yang mereka bisa. Namun hal itu tidak berlaku pada rumah Sora. Di antara rumah – rumah yang ada di sekitar rumah Rei dan Sora, hanya rumah Sora yang gelap. Tidak ada cahaya sama sekali keluar dari rumah tersebut, tanda penghuni rumah tersebut belum pulang sama sekali. Rei menunggu dengan bimbang. Ia tidak yakin apa ia harus menghubungi lagi atau tidak. Pasalnya pesan–pesan yang ia kirimkan sebelumnya masih belum kunjung mendapat balasan ataupun dibaca oleh penerima. Hal itu membuatnya semakin tidak tenang. Ia pun berniat untuk memainkan pianonya untuk mengusir kegelisahannya. Namun ia mengurungkan niatnya teringat kondisi ibunya. Pada akhirnya ia hanya berbaring di tempat tidurnya berharap kegelisahan ini segera berlalu. *** Malam hari ini terasa berbeda dari malam kemarin. Langit gelap yang tenang itu tiba–tiba kedatangan awan hitam membawa air yang siap ia muntahkan beserta kilat petir yang menjadi sambutan sebelum muntahan air hujan turun membasahi kota Seoul. Saat Seowoo dan Sora keluar dari pusat perbelanjaan dengan es krim masing–masing di tangannya, hujan sudah turun dengan derasnya. Mereka mematung di tempat. Hal ini tidak pernah mereka perkirakan sebelumnya. “Wah.. hujan.” , ujar Rei sambil menadahkan tangannya keluar dengan sengaja agar air hujan membasuh mengenai tangannya. Sora menatap langit gelap yang tidak terlihat tanda–tanda hujan akan segera berhenti. Sebenarnya ia tidak masalah dengan hujannya, namun ia teringat pakaian–pakaian yang ia cuci pagi tadi dan ia jemur di halaman rumah belum ia angkat. Sora pasrah saja jika cuciannya yang sudah kering harus basah lagi karena hujan. Seowoo melihat wajah lesu Sora, ia mencoba untuk menebak apa yang sedang Sora khawatirkan, namun tidak sepenuhnya yakin akan semua dugaannya. “Ada hal yang kau khawatirkan, Sora?” “Hmm?” , Sora menoleh pada Seowoo yang sudah menatapnya, “Ah tidak, bukan apa–apa. Bukan masalah besar.” , Sora berusaha memperlihatkan senyumnya sebagai bukti bahwa ucapannya adalah benar adanya. Seowoo membalas tersenyum dan mengalihkan kembali padangannya pada hujan. Senyum Sora pun langsung sirna saat itu. Pemikiran tentang Rei tiba–tiba melintas di otaknya, hal itu membuatnya menghela nafas diam–diam. Ia ingin segera pulang saat ini juga, tetapi ia tidak ingin pulang dalam keadaan basah kuyup. Jadi ia memutuskan untuk menunggu sama seperti Seowoo. *** Rei terbangun oleh suara petir dan juga kilatan cahaya yang cahayanya terpancar hingga ke dinding dalam kamarnya. Ia segera bergegas menutup jendelanya ketika melihat air hujan masuk membasahi lantai kamarnya karena ia lupa menutup jendelanya tadi. Ia melihat rumah di seberang kamarnya masih gelap gulita padahal tidak mati listrik. Rei menyambar ponselnya dan melihat jam pada ponselnya sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Melihat derasnya hujan diluar membuat Rei khawatir pada Sora. Ia yakin Sora tidak membawa payungnya ataupun jas hujan. Ia pun langsung mencari kontak Sora dan langsung menelponnya. Menunggu dengan khawatir, panggilannya tidak mendapat jawaban di seberang sana. Ia mencoba lagi, lagi, dan lagi. Nomor yang anda tidak menjawab. Silahkan tinggalkan pesan suara setelah mendengar nada- Namun hasilnya sama. Tidak ada jawaban sama sekali. Tanpa menunggu lagi, ia pun bergegas turun ke bawah dengan terburu–buru. *** Hujan sudah reda, Seowoo dan Sora pun sudah dalam perjalanan pulang. Mereka berjalan bersama dengan Seowoo yang memegang sepeda Sora setelah paksaan dan perdebatan yang cukup panjang sebelumnya. Tidak banyak pembicaraan diantara mereka. Lebih banyak Seowoo yang bercerita ataupun bertanya, sedangkan Sora hanya menjawab dan merespon setiap cerita dari Seowoo. Tak terasa sudah berapa lama mereka berjalan, mereka berhenti di sebuah pemberhentian bus. Seowoo memberikan sepeda Sora pada pemilik aslinya. “Rumahku ke arah sana. Bagaimana denganmu?” , tanya Seowoo sambil menunjuk jalan arah rumahnya berada. Sora menengok ke arah sebaliknya dan menunjuk dengan telunjuknya , “Rumahku setelah menyebrangi jembatan disana.” Seowoo mengangguk lambat, “Berarti arah kita berlawanan. Kau mau aku antar sampai ke rumahmu?” Sora segera menggeleng dengan cepat, “Oh tidak tidak. Tidak perlu sunbae. Takutnya nanti akan turun hujan lagi. Lagipula aku akan naik sepeda.” , jelas Sora. Seowoo mempertimbangkan sebentar, dan saat itu juga bus yang mengarah ke rumahnya datang. “Hmm oke, baiklah. Kalau begitu aku akan pergi lebih dulu. Sampai bertemu besok.” , tak lupa Seowoo melambaikan tangannya pada Sora dan Sora pun balas melambaikan tangannya sampai bus yang Seowoo naiki menjauh pergi. Kilatan petir mulai terlihat kembali di langit, Sora yang melihat ha; itu bergegas mengayuh sepedanya secepat yang ia bisa.Setidaknya ia harus sudah sampai jembatan Jamsu agar dirinya tak kehujanan sebab jembatan Jamsu berada tepat di bawah jembatan Banpo.Jadi ia tidak perlu khawatir akan kehujanan karena jembatan Jamsu memiliki atapnya sendiri yang adalah jembatan juga. Seowoo juga melihat kilatan cahaya petir tersebut. Ia reflek langsung melihat ke belakang, memastikan bahwa Sora sudah beranjak juga dari tempat itu. Rintikan hujan kembali membasahi jalanan Seoul tak lama setelah itu dan rintikannya menjadi semakin deras hanya dalam hitungan detik. Jembatan Jamsu sudah di depan mata, hanya tinggal beberapa meter lagi di depan. Namun Sora tidak sempat sampai di sana saat hujan kembali turun, sehingga dirinya basah sedikit, lebih tepatnya pada bagian rambutnya yang membuatnya jadi terlihat lepek. Hujan kali ini tidak kalah derasnya dengan yang sebelumnya, namun Sora berjalan dengan santai di atas jembatan Jamsu sambil menikmati rintikan hujan di sampingnya. Entah sudah berapa lama ia berjalan, tidak terasa ia sudah hampir sampai di ujung lain jembatan Jamsu. Ia berhenti sejenak, menghela nafas karena ini artinya ia harus menunggu atau menerobos hujan karena hujan masih belum juga reda. Namun rasa bimbangnya terjawab ketika ia melihat seseorang yang tidak asing tengah berdiri di ujung jembatan. Sora menyipitkan matanya, mencoba untuk melihat lebih jelas. “Rei?” ,duga Sora melihat dari postur badan dan juga potongan rambut orang tersebut. Namun ia tidak segera menghampiri orang tersebut. Ia khawatir jika ia hanya salah orang. Sora pun kembali berjalan dengan tempo biasa sama seperti sebelumnya. Sora terbelalak ketika semakin ia mendekat pada ujung jembatan- yang artinya juga semakin mendekat pada orang tersebut, yang dlihatnya benar–benar Rei tengah berdiri sambil memainkan payung yang ia lipat. “Sedang apa dia disini?” . gumam Sora pada dirinya sendiri. Setelah mengetahui dengan pasti bahwa orang tersebut adalah benar-benar Rei, Sora mempercepat laju langkahnya bersemangat dengan senyum yang tidak bisa ia sembunyikan. Rei sendiri pun bisa melihat dengan jelas senyum itu dari tempatnya berdiri. “Kau sedang menungguku?” , tanya Sora penuh percaya diri. Rei membuang nafas meremehkan, “Ha, kau kira aku apa. Aku sedang berteduh dari hujan. Kau tidak lihat?” Mata Sora menyipit dan sebuah senyum meledek tertarik ke atas,”Eumm.. untuk apa menunggu hujan saat kau sendiri membawa payung, Rei? Kau ini.” “Nae mam daerohae (terserah aku, suka–suka aku).” Sora memilih diam untuk mengakhiri perdebatan tersebut. Ia tahu betul tidak ada yang berniat untuk mengalah dalam hal ini diantara mereka. Sora pun berdiri diam di samping Rei menunggu sama seperti Rei. “Kau tidak pulang?” , tanya Rei membuka pembicaraan. Sora menatap pada Rei, “Terserah aku.” , sahut Sora dengan nada yang sama persis seperti yang Rei katakan beberapa saat sebelumnya. Rei menatapnya datar atas responnya yang terlihat jelas sedang mengejeknya. Mereka pun akhirnya sama–sama diam, Membiarkan suara hujan mendominasi menghilangkan keheningan diantara mereka. Sora menatap jalanan di depannya yang sudah basah oleh hujan dan mobil–mobil yang keluar dari terowongan langsung disambut oleh tetesan–tetesan air dari langit malam itu. Memikirkan alasan Rei ada di sini bersamanya saat ini, membuat Sora tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Nampak jelas senyum itu terlukis di wajahnya, Rei sendiri pun bisa melihatnya. “Kenapa kau senyum–senyum? Apa ada yang lucu dari mobil–mobil itu?” Sora menggeleng, “Ah tidak. Aku teringat kejadian lucu. Ah iya, bagaimana ibumu sekarang? Aku yakin dia pasti masih belum bisa menerimanya.” Rei menghela nafas panjang lalu mengangguk sambil menatap lurus ke depan pada jalanan basah di depannya, “Kau tahu, aku berharap hubungan ibuku dengan nenekku sama seperti hubunganmu dengan ibumu. Jadi ibuku tidak akan terlalu sedih dengan kepergiannya.” , Sora terkejut dengan perkataan Rei. Ia menatap Rei dengan ekspresi tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar barusan, “Apa? Jadi maksudmu aku tidak akan sedih jika aku kehilangan ibuku?” Mendengar nada bicara Sora yang berubah, Rei bertanya–tanya apakah ia baru saja mengatakan hal yang tidak sepatutnya. “Kau terlihat.. baik–baik saja, tidak seperti ibuku.” , Sora menatap lurus pada Rei, menunggu untuk mendengar kalimat selanjutnya yang akan Rei lontarkan. Melihat pandangan Sora yang tampak serius membuat Rei diliputi rasa bersalah, “Tidak, maksudku, aku pikir.. ya kau tahu..” , sambil memejamkan matanya, Sora menggeleng tidak setuju. “Tidak. Aku tidak tahu. Apa maksudmu?” , balas Sora dengan dingin. Rei merasa bersalah, ia merasa tidak enak. Melihat ekspresi Sora yang dingin menyadarkannya bahwa ia sudah melakukan kesalahan dengan membuka kembali ingatan lama Sora pada ibunya. “Maaf. Aku tidak bermaksud..” “Tidak. Kau benar. Aku memang seperti itu.” Sora mengalihkan pandangannya kembali ke depan. Pikirannya menerawang kembali ke masa lalu saat ayah dan ibunya bercerai. Sora benar–benar tidak menangis dan bertanya kemana ibunya pergi. Melihat kepergian ibunya membawa koper besar yang berisi semua pakaian–pakaian dengan yakin dan tanpa penyesalan sedikitpun, membuat Sora tahu bahwa dirinya tidak seharusnya bersedih atas kepergian seseorang yang memang ingin pergi meninggalkannya. Meskipun Sora berkata seperti itu, rasa bersalah yang Rei rasakan tidak hilang sama sekali. Pada akhirnya mereka hanya saling diam kembali untuk beberapa saat. Rasa ingin segera pergi dari tempat itu meningkat, namun ia sadar ia tidak bisa melakukannya tanpa basah kuyup dengan hujan sederas ini dan meninggalkan Sora di tempat ini. Ia pun harus bersabar menunggu langit berbaik hati padanya dengan segera menghentikan hujan ini secepatnya. “Kapan aku bisa mengunjungi ibumu?” , tanya Sora tiba–tiba. “Hm? Apa? Oh, aku tidak yakin. Ibuku benar–benar dalam suasana hati yang tidak baik hari ini.” , kaki Rei menendang–nendang debu di jalan dengan malas. Sora mengangguk–angguk mengerti. “Hei Sora,” “Hm?” , jawab Sora singkat sambil menatap Rei yang masih menatap kakinya yang menendang–nendang debu dan kerikil kecil jalanan. Rei menghentikan kakinya dan menggerakan seluruh badannya untuk menatap Sora, “Kenapa kau tidak menjawab pesan–pesanku? Dan juga telponku, apa yang sebenarnya kau lakukan bersamanya sampai tidak sempat untuk memeriksa ponselmu sama sekali? Apa kau sengaja mensenyapkan ponselmu agar kau tidak diganggu sama sekali saat bersamanya?” , tanya Rei dengan cepat dan membabi buta. Sora terkejut dengan serangan dadakan seperti itu. Ia bahkan tidak yakin bahwa ia mendengar semua pertanyaan Rei yang beruntun itu. “Apa maksudmu?” Rei menghela nafas sebal, “ Apa kau tidak tahu keributan macam apa yang sudah kau perbuat dengan pergi bersama.. bersama..” , Rei ragu untuk menyebut nama orang itu saat melihat reaksi Sora yang tatapannya seakan berkata –kau memata-matai aku ya- “Bersama siapa?” , tuntut Sora pada Rei, menuntut untuk menyelesaikan kalimatnya. “Bersama tuan populer itu!” Dahi Sora mengernyit, “Bagaimana kau tahu aku pergi bersamanya?” Sebelum menjawab, Rei memejamkan mata dan menarik nafas agar ia tidak bicara terlalu cepat, “Oleh karena itu, aku tadi bertanya, kemana ponselmu?” “Ponselku? Ah, tertinggal di rumah. Aku terburu–buru pagi tadi.” Rei pun mengangguk - angguk pasrah, tubuhnya kembali menatap depan. “Memangnya kenapa? Apa hubungannya ponselku dengan kau yang tahu aku pergi bersama siapa?” , Sora mulai tidak sabar sekaligus penasaran. “Kau bisa tanya pada ponselmu nanti.” “Bertanya pada ponselku? Kau gila?” “Iya aku gila. Kau juga. Jadi menurut saja.” “Heol..” Rei menadahkan tangannya ke depan untuk memeriksa hujan, “Hujannya sudah agak reda, ayo pulang.” , ajak Rei sambil membuka payungnya. “Lalu sepedaku?” , Rei menatap sebentar pada Sora dan sepeda milik Sora bergantian, lalu tersenyum saat sebuah ide muncul di kepalanya. “ARGH! KUPIKIR KAU MEMANG BENAR–BENAR GILA, REI!” , umpat Sora yang terengah–engah mengayuh pedal sepedanya yang terasa semakin berat karena beban yang dibawanya semakin berat. Ya,, tentu saja, Rei duduk di boncengan belakang menambah bebannya lebih dari dua kali lipat. Sora yang terlihat kesal, sementara Rei tersenyum senang sambil memegangi payung yang juga memayungi kepala Sora. “Jangan mengeluh. Seorang pemain basket harus memiliki kaki yang kuat. Kau akan berterima kasih padaku nantinya.” “Persetan dengan pemain basket.” , umpat Sora mendengar pembelaan dari Rei yang terdengar seperti omong kosong di telinganya walaupun perkataan yang Rei ucapkan ada benarnya. Merasa tidak adil diperlakukan seperti ini, sebuah ide datang ke dalam benak Sora saat ia melihat ada genangan air di pinggir jalan besar, atau lebih tepatnya di jalur bus. Ia pun menengok ke belakang untuk melihat apakah ada bus yang dekat dengan mereka. Sora merasa beruntung, tak jauh dari mereka, di belakang mereka ada sebuah bus yang datang dengan kecepatan stabil. Sora pun mempercepat lajunya agar ia sampai di dekat genangan air terlebih dahulu dan membiarkan Rei berada tepat di depan genangan air tersebut. Sora menghentikan sepedanya dan menunggu. Rei tidak bertanya alasan Sora menghentikan sepedanya karena Sora sudah melakukan hal itu beberapa kali sebelumnya dengan alasan ingin mengambil nafas dulu karena ia terengah–engah. Namun Rei tidak tahu bahwa kali ini alasannya berbeda. Sora tersenyum jahat, sedangkan Rei tersenyum bodoh menunggu Sora mengambil nafasnya dengan sabar. SPLASH!! Cipratan pertama saat ban depan bus melewati genangan air tersebut benar–benar tepat mengenai wajah Rei. Tak berselang lama, ban belakang bus juga melewati genangan air dan kali ini juga tepat mengenai wajah Rei untuk yang kedua kalinya. “Oh ya ampun, Rei!” , reaksi Sora berpura–pura terkejut. Rei tidak bereaksi apa–apa. Ia hanya diam dengan wajah datar sambil mengepalkan tangannya erat. Ia tahu betul bahwa Sora melakukannya dengan sengaja. “Rei, kau tidak apa–apa? Dasar bus kurang ajar! Kau mau aku mengejar bus itu, Rei? Aku bisa membalasnya.” , sahut Sora berusaha menghibur. Padahal dalam hatinya ia benar–benar senang atas keberhasilannya. “Tidak. Kita pulang saja.” , jawab Rei dengan datar. Sora mengangguk mengerti dan mulai mengayuh sepedanya kembali. Namun kali ini ia mengayuhnya dengan riang gembira. Ia ingin tertawa puas, tetapi tidak bisa melakukannya di hadapan Rei atau nanti dia akan terkena hajar dari Rei.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD