BAB DUA PULUH DELAPAN

1717 Words
   Di atap sekolah, Chaerin tengah menunggu dengan gugup. Hanya dirinya seorang yang ada disana saat ini. Tidak ada yang mau membiarkan diri mereka tertiup angin dingin musim gugur apalagi di atap sekolah yang terbuka dan tinggi hingga membuat angin bertiup lebih kencang.  "Johahae (Aku menyukaimu)!"  "Sebenarnya aku sudah lama ingin menyukaimu! Tidak, tidak."  "I like you (aku suka kamu)."  "Saranghae (aku mencintaimu)! Tidak, tidak, itu terdengar berlebihan."  "Sunbae, nan sunbaeneun johahaesseumnida (sunbae, saya menyukai anda, sunbae). Tidak! Tidak! Itu bahkan terdengar sangat aneh."     Chaerin berkali - kali mencoba berbagai kata untuk menyatakan perasaannya. Namun, semakin ia mencoba lebih banyak kalimat, ia semakin merasa mengacaukannya dan kepercayaan dirinya semakin pudar. Tetapi ia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Walaupun ia khawatir dirinya akan menerima penolakan, tetapi setidaknya ia sudah mencoba. Lagipua, ia yakin bahwa Seowoo tidak akan menolaknya. Ia merasa kecantikannya sudah cukup untuk membuat laki - laki lain terpesona padanya.  "Oke, Chaerin. Ini lah saat - saat penentuannya. Ayo wujudkan cinta pertamamu!" , semangat Chaerin pada dirinya sendiri.     Lima belas menit telah berlalu dan masih belum ada tanda - tanda seseorang datang ke atap. Chaerin masih menunggu dengan khawatir.Dalam hatinya ada sedikit perasaan tidak yakin Seowoo akan datang menemuinya. Tetapi ia memilih untuk menyingkirkan perasaan itu dan kembali yakin pada dirinya.     Pintu menuju atap terbuka, Chaerin berbalik dan melihat sesosok siswa keluar dari sana, benar - benar ada disana. Kegugupan yang tadinya hanya terasa dalam hatinya, kini terasa sangat nyata seperti saat ujian akhir yang sesungguhnya.  "Mwoya (apa ini)?!" pekik Chaerin saat menyadari orang itu bukanlah Seowoo yang ia tunggu - tunggu, melainkan teman sekelasnya yang dikenal sebagai reporter karena keahliannya dalam menyebarkan isu dan berita terhangat yang terjadi di sekolah.  "Huh? Chaerin? Neo geogiseo mwohae (Apa yang kau lakukan disini)?" , tanya siswa tersebut sambil menggaruk kepalanya yang rambutnya tidak tertata rapi.  Chaerin memutar matanya jengah, "Bukan urusanmu!" , jawab Chaerin ketus dan berbalik badan membelakanginya.  Siswa tersebut mengangkat bahunya, memilih untuk tidak mempedulikan Chaerin dan melanjutkan tujuannya ke atap untuk tidur siang.  'Sial, bagaimana kalau nanti dia akan menyebarkan isu diriku yang menyatakan perasaanku pada Sewoo sunbae?' , pikir Chaerin cemas. Ia tidak ingin hal ini menjadi pembicaraan seluruh sekolah.     Chaerin pun mengurungkan niatnya dan memutuskan untuk kembali saja dan melakukan pengakuannya lain kali. Namun baru saja dua kali ia melangkah, Seowoo keluar dari pintu dan menampakan dirinya.  'sial!' , batin Chaerin.    Mata Seowoo menyipit karena silau matahari menghalangi matanya untuk membuka sepenuhnya, ia melihat sosok Chaerin berdiri sepuluh meter di depannya. Dengan sedikit perasaan berat, Seowoo menghampiri Chaerin hingga mereka benar - benar saling berhadapan.  "Kau sudah lama disini?" , tanya Seowoo sambil berjalan menghampiri Chaerin.     Siswa laki - laki yang mendapat julukan reporter itu menatap kepada mereka berdua yang ada di belakang punggungnya.  "Itu.. Seowoo? Apa yang ia lakukan disini? Menemui Chaerin?" , bisiknya pada dirinya sendiri Chaerin menatap Seowoo dan siswa reporter tersebut dengan khawatir. Namun, walaupun begitu ia tetap memaksakan tersenyum kepada Seowoo.  'Aku tidak bisa mengatakannya disini saat ini. Apa bocah itu tidak berniat untuk pergi? Aish!" , keluh Chaerin begitu Seowoo berjalan semakin mendekatinya.     Seowoo berhenti hanya beberapa meter di hadapan Chaerin. Walaupun tidak dekat, ia merasa jarak seperti ini sudah cukup untuk bisa mendengar Chaerin bicara.  "Maaf aku terlambat. Pelajaran sejarah benar - benar memakan banyak waktu dan pikiran." , ujar Seowoo mencoba permintaan maafnya diterima karena sudah membuat seorang perempuan menunggu di tengah hari berangin seperti ini.  "Aniya (tidak), gwaenchanha (tidak apa - apa), sunbae." , Chaerin tidak bisa menyembunyikan wajah khawatirnya.     Sesekali ia melihat ke arah belakang Seowoo dimana siswa reporter tersebut sedang menatap ke arahnya dan juga Seowoo.  'Apa dia benar - benar berniat untuk menguping dan melihat semuanya?!' , batin Chaerin tidak tahan untuk tidak menjulidnya.  "Jadi.. Apa yang ingin kau katakan tadi?" , tanya Seowoo langsung ke intinya.     Chaerin yang tadinya sudah mempersiapkan dirin mendadak rasanya semua persiapannya menghilang tertiup angin musim gugur di sekitarnya.  "A-anu.."  "Hmm?" , Seowoo berusaha sabar menunggu kata - kata yang sudah familiar di telinganya sebelumnya.  "A-aku.." , Chaerin menatap pria reporter di belakang Seowoo yang masih menatapnya dengan intens seperti sedang menonton sebuah film dan menunggu adegan selanjutnya.  "..kau.. kenapa?"     Chaerin menggeleng cepat berusaha menghilangkan semua rasa cemasnya dan mengembalikan semua kepercayaan dirinya yang tadi. Tidak tahu mengapa, perasaan dirinya akan ditolak oleh Seowoo terasa begitu kuat saat Seowoo benar - benar di hadapannya. Ia tidak menginginkan penolakan adalah hasil dari penantiannya selama ini. Ia pun berpikir ia harus membiarkan Seowoo mengenalnya lebih jauh, jadi Seowoo pasti akan bisa mempertimbangkannya terlebih dahulu dan dirinya pun diberi kesempatan untuk menunjukkan bahwa dirinya layak untuk menjadi pasangan bagi Seowoo.   Dengan mantap, Chaerin menatap Seowoo, "Aku ingin mengajakmu dan Sora pergi nonton film." , ujar Chaerin mengubah tujuannya dalam waktu singkat.     Seowoo terkejut, hal yang dikatakan Chaerin ternyata di luar sekpetasinya. Ada sedikit perasaan malu dalam dirinya karena sudah salah menyangka, tetapi di sisi lain ia merasa Chaerin belum mengatakan apa yang sebenarnya ingin ia katakan.  "Boleh saja." , jawab Seowoo agak lambat karena berbagia pikiran yang datang ke dalam kepalanya.  Chaerin tersenyum lega dirinya bisa melewati kesulitan seperti ini, "Baiklah. Kalau begitu hari Minggu nanti aku tunggu di bioskop dekat swalayan A."  "Kau menyuruhku datang hanya untuk mengatakan hal ini?" , tanya Seowoo curiga dan sedikit tidak terima fakta perkiraannya meleset.  Chaerin tersenyum garing, "Geunyang (cuma ingin saja).." , jawabnya seadanya sambil menaikkan kedua bahunya.  "Kalau begitu sampai bertemu hari Minggu nanti. Jangan lupa bilang pada Sora, ya." , pamit Chaerin undur diri lebih dulu dan bergegas pergi dari sana.  'Ini semua salahmu!' , kutuk Chaerin dalam hatinya dengan matanya menatap tajam pada siswa reporter yang matanya juga tengah mengikuti langkah Chaerin pergi.     Seowoo masih berdiri di sana beberapa saat. Ia tengah memikirkan apa maksud sebenarnya Chaerin memanggilnya ke tempat yang sepi seperti ini. Dirinya masih tetap teguh pada perkiraannya tentang Chaerin yang ingin mengakui perasaannya padanya.     Angin dingin yang bertiup menyadarkan driinya dan menyuruhnya untuk segera kembali ke dalam. Ia pun berbalik dan melangkah pergi dari sana. Namun, baru beberapa langkah ia berjalan, maniknya menangkap seseorang yang juga tengah ada disana. Ternyata dirinya tidak sendirian disini. Orang tersebut adalah siswa yang mendapat julukan reporter di sekolah ini. "Apa yang sedang kau lakukan disana?" , tanya Seowoo dengan suara agak lantang karena jauhnya jarak diantara mereka.  Siswa itu hanya menggelengkan kepalanya pada Seowoo meminta untuk tidak mempedulikan soal dirinya.  Karena Seowoo tidak mengenalnya, ia pun mengikuti permintaan siswa tersebut untuk tidak mempedulikannya dan masuk ke dalam.  ***     Mata Sora mengerjap - ngerjap saat dirinya mulai mendapatkan kembali kesadarannya dari tidur siangnya. Saat matanya sudah mulai membuka dengan penuh, ia menyadari kepalanya terasa berat karaena ada sesuatu di atas kepalanya. Matanya pun menangkap kaki Rei yang tepat berada di samping kakinya.  'Oh, ini pundak Rei..' , gumamnya pada dirinya sendiri.     Ada sedikit percikan api dalam dirinya saat menyadari dirinya tengah bersandar pada Rei dan Rei pun tengah bersandar padanya. Tanpa ia sadari, bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah simpul senyum kecil untuk menunjukkan betapa senangnya dirinya karena hal kecil dan manis seperti ini. Ia pun memutuskan untuk tetap berada pada posisi ini untuk beberapa saat sambil menunggu Rei terbangun dengan sendirinya.     Sambil menunggu Rei terbangun, SOra menikmati memandangi tiap inchi bagian tubuh Rei yang bisa ia lihat dengan antusias. Mulai dari kaki Rei yang tertutupi kaus kaki juga sandal selop bermodel sama seperti semua siswa dan siswi yang ada di sekolah ini, celana bahan berwarna hitam yang terlihat rapi dengan lipatan bekas setrika yang kokoh di tengah bagian celana kaki kiri dan kananya, dan juga tangan Rei dengan jemari - jemari panjangnya yang besar dan sedikit kurus.     Semua kebahagiaan kecilnya itu tidak berlangsung lama kala ia menatap angka yang terdapat pada jam tangan yang melingkar di tangan Rei. Matanya langsung membelalak tidak percaya saat menyadari mereka telah melewati waktu istirahat dan terlambat untuk mata pelajaran ketiga.     Sora langsung menarik kepalanya keluar dari himpitan pundak dan kepala Rei hingga Rei terbangun dari tidur siangnya karena gerakan tiba - tiba tersebut.  "Rei kita terlambat!" , pekik Sora yang sudah panik.  Rei yang belum sadar sepenuhnya dari tidur siangnya tidak mengerti apa yang Sora katakan, "Mwo (apa)? Terlambat untuk apa?" , jawab Rei santai karena masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.     Sora yang tidak ingin menjelaskannya secara detail karena dirasa percuma, langsung menarik tangan Rei dan memperlihatkan waktu yang tertrera pada jam tangan tersebut.  Rei menyipitkan matanya berusaha menormalkan pandangannya yang masih agak kabur, "Sial!" , seketika itu juga kesadaran Rei kembali sepenuhnya dan membuatnya sama paniknya seperti Sora.     Dengan terburu - buru mereka keluar dari ruang musik dan segera berlari menuju ruang kelasnya yang pintunya sudah tertutup.     Mereka membuka pintu dengan wajah panik dan semua mata yang ada di dalam kelas tersebut menatap ke arah mereka berdua termasuk guru sejarah yang tengah berdiri di depan kelas sambil memegang buku sejarah yang sedang mereka pelajari.  Tatapan guru sejarah mereka terlihat sangat marah karena menatap mereka hanya dari sudut matanya, "Kalian berdua, kemari." , perintahnya dengan dingin.     Rei pergi lebih dulu diikuti Sora di belakagnnya yang tidak berani menatap guru tersebut secara langsung.  "Darimana saja kalian berdua?" , pertanyaan pertama dari interogasi guru sejarah pun dimulai. Semuanya hening dan tidak ada yang berani bicara.  "Kami tidak sengaja tertidur di ruang musik, pak." , jawab Rei terus terang.  Guru sejarah yang sudah berumur kurang dari separuh abad itu mengangaguk mengerti, "LAlu bagaimana bisa kalian berdua ada disana?” "A-anu.. Rei memang sudah terbiasa ada disana setiap jam istirahat untuk berlatih piano. Aku.. Aku tadi kesana karena mencari tempat yang tenang untuk menghafal pelajaran." , jelas Sora dengan nada suara sedikit takut.  "Baiklah, kalian berdua silahkan duduk." , ujar guru sejarah tanpa bertanya apa - apa lagi.  "Ne (apa)?" , tanya Sora dan Rei berbarengan. Mereka tidak percaya guru sejarah yang terkenal dingin itu langsung mempersilahkan mereka duduk begitu saja tanpa memberikan hukuman apapun.  "Kalian tidak dengar yang kukatakan? Apa harus kuulangi lagi kata - kataku? Kubilang kembali ke tempat dudukmu!" , perintahnya dengan menaikan intonasinya sedikit. Sora dan Rei pun bergegas langsung duduk setelah mereka membungkuk memberi hormat.  "Baik, kita lanjutkan yang tadi. Sampai mana kita tadi?"     Rei dan Sora kembali ke tempat duduk mereka masing - masing dengan perasaan bingung. Mereka menatap satu sama lain seakan - akan mengajukan sebuah pertanyaan yang sama. Tetapi mereka memutuskan untuk tidak memikirkannya saat ini karena hal itu sudah berlalu.  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD