Selesai dari kantin, Sora memutuskan untuk pergi ke aula untuk menemui guru olahraga sekaligus pelatih tim basket sekolahnya. Dari lorong menuju aula, sudah dapat terdengar samar - samar suara decitan - decitan sepatu olahraga yang bergesekan dengan lantai aula.
Dengan langkah setenang mungkin, Sora masuk ke dalam aula sambil memperhatikan adik - adik kelas yang tengah menjalani pelajaran olahraganya yaitu voli.
Sora merasa takjub dengan kekuatan - kekuatan tamparan tangan yang mereka berikan pada bola voli yang datang ke arah mereka. Kerja sama diantara mereka pun terlihat cukup baik walaupun mereka baru bertemu satu sama lain terhitung enam bulan. Sora merasa penerus tim voli sekolah ini akan lebih baik dari yang sekarang ini sedang dipersiapkan untuk pertandingan yang berbarengan dengan pertandingan basketnya nanti.
Di antara suara - suara decitan sepatu dan juga suara pukulan tangan yang mengenai bola, terdengar suara teriakan berat seorang laki - laki yang tengah berdiri di sisi lapangan berteriak memberi arahan. Dia adalah guru olahraga sekaligus pelatih basket dan voli di sekolah mereka. Seorang pria berumur tiga puluh tahunan dan masih single.
“Annyeong haseyo coach-nim (halo, apa kabar, coach)?” , sapa Sora menghampiri pelatihnya tersebut.
Pria yang selalu memakai setelan olahraga tersebut melihat ke arah Sora yang menyapanya, “Oh? Sora-ya? Ada apa kemari jam segini? Kau sudah makan siang?”
“Eung, meokgosseoyo (Iya, sudah makan kok).” , Sora selalu suka dengan keramahan pelatih tim mereka, “Aku datang hanya ingin mengatakan aku mulai besok sudah bisa ikut latihan pagi.”
“Oh begitu. Baguslah.”
“Sepertinya kau sedang sibuk, kalau begitu aku pamit dulu. Maaf sudah mengganggu jam pelajaranmu.” , ujar Sora sambil membungkukkan badannya memberi hormat.
“Ah ne (Iya), kalau begitu sampai bertemu besok pagi ya.” , Sora tersenyum dan mengangguk mengerti sebelum beranjak dari sana.
Saat Sora berjalan keluar, seseorang dari podium tengah memperhatikan Sora dari sudut matanya. Karena hal itu, tiba - tiba Sora merasa seseorang sedang mengawasinya. Namun, saat ia melihat ke belakang dan sekeliling, ia tidak menemukan seorangpun sedang melihat ke arahnya. Karena merasa aneh, Sora bergegas pergi dari sana sambil berjalan cepat dengan kepala menunduk.
***
Ruang musik kosong saat ini karena semua murid dan guru fokus pada ujian yang akan datang minggu besok. Begitu juga dengan Rei, namun ia tidak begitu mempedulikan soal ujiannya dan lebih fokus pada kompetisi pianonya yang akan berlangsung minggu selanjutnya setelah ujian. Oleh sebab itu, ia akan berlatih piano kapanpun waktunya luang.
Seperti sekarang ini saat waktu jam istirahat masih lama, saat murid - murid yang lain memilih untuk belajar mandiri di kelas untuk mengerjakan soal latihan ataupun menghafalkan materi, Rei memilih untuk pergi ke ruang musik dan melatih kemampuan pianonya agar permainannya benar - benar maksimal nanti saat harinya datang.
Saat tidak digunakan, semua tirai jendela yang ada di ruang musik ditutup dan lampunya dimatikan. Ruang musik begitu gelap dan sunyi saat Rei masuk. Namun ia masih bisa melihat piano hitam yang ada di depan kelas dekat jendela dengan bantuan sinar - sinar matahari yang menyelinap masuk melalui sela - sela tirai yang sedikit terbuka.
Rei menutup pintu ruang musik dan membuka semua tirai jendela yang ada di ruang musik. Cahaya dari sinar matahari yang masuk sudah cukup untuk menghilangkan gelap yang ada di sudut -sudut. Suasananya benar - benar berbeda dari sebelumnya. Dibandingkan cahaya terang dari lampu, Rei lebih suka cahaya terang dari sinar matahari di luar yang terlihat kekuningan saat menelusup masuk ke dalam.
Sebelum duduk, Rei terlebih dahulu membereskan kertas - kertas partitur yang berserakan di atas piano akibat orang yang tidak bertanggung jawab membereskan kembali semuanya seperti semula sehabis memakai piano.
Setelah membereskan kembali kertas - kertas partitur dan meletakannya kembali berjejer pada rak kumpulan partitur piano, Rei menarik salah satu buku tipis namun sampulnya tebal yang berisi partitur piano yang rencananya akan ia mainkan daalm kompetisinya nanti, yaitu, Nocturne karya Chopin.
Rei membawa partitur tersebut dan meletakannya pada pegangan partitur di depan atas badan piano dan memposisikannya agar sejajar dengan pandangannya jadi ia bisa duduk dengan nyaman.
Rei memposisikan tubuhnya senyaman mungkin dan menarik nafas bersiap untuk menyelami permainan pianonya. Saat menutup mata, ia membayangkan banyaknya mata dari para penonton tengah menatapnya dan menunggu untuk mendengarkan permainannya. Sambil membayangkan saat ini adalah hari kompetisi dan juga tempat ia duduk saat ini adalah di atas panggung dan bukannya di dalam ruang musik yang sepi.
Setelah mencoba untuk membayangkan semuanya sampai benar - benar terasa sangat nyata, Rei mulai menekan tuts - tuts secara bersamaan sesuai dengan petunjuk nada yang tertulis dalam partitur. Semuanya berjalan lancar sampai tiba - tiba seseorang membuka pintu ruang musik dan Rei membuka matanya mengaburkan bayangan dirinya sedang tampil di hari kompetisi.
Matanya menangkap sosok Sora yang tengah menutup pintu dan berjalan ke arahnya sambil membawa buku catatannya. Tangan Rei tetap terus menari - naro di atas tuts - tuts piano tanpa terdistraksi oleh kehadiran Sora.
"Sudah kuduga kau ada disini." , ujar Sora yang langsung duduk bersender pada dinding di bawah jendela. Ia duduk dengan meluruskan kakinya dan membuka buku yang dibawanya di atas pahanya.
Rei pun menghentikan permainannya di tengah - tengah lagu dan membalikkan tubuhnya melihat Sora, "Kenapa kau kemari?" , tanya Rei.
Sora yang tadinya fokus pada bukunya beralih menatap Rei dengan kedua alisnya yang menukik ke bawah, "Apa makasudmu? Kau tidak senang aku disini?"
"Tidak, bukan itu maksudku."
"Di kelas terlalu berisik. Aku tidak bisa berkonsentrasi pada hapalanku."
"Aah. Bagaimana dengan temanmu yang tadi? Siapa namanya? Chae.." , Rei berusaha mengingat - ingat namanya walaupun ia belum pernah berkenalan langsung dengannya, ia ingat pernah mendengar Sora menyebut namanya, "Charin, maja (benar)?"
Sora menutup kasar bukunya, "Neo jinjja wae irae (Kau ini kenapa)? Kau benar - benar tidak ingin aku disini, begitu?"
"Ani (tidak).."
"Kalau begitu abaikan," , pandangan Sora kembali fokus pada bukunya , "Anggap saja aku tidak ada."
Rei berbalik kembali pada pianonya, "Bagaimana bisa menganggapmu tidak ada padahal kau tepat berada di belakangku." , gerutu Rei membelakangi Sora.
"Mwo (apa)?!" , protes Sora yang bisa mendengar gerutuan Rei karena pendengarannya yang tajam.
"Aniya (tidak). Gongbuhae (belajarlah)." , balas Rei tidak ingin membuang waktunya untuk berlatih saat ini untuk bertengkar hal konyol dengan Sora.
Rei mulai memainkan pianonya lagi dari awal. Melihat Rei sudah fokus pada yang lain, Sora kembali membuka bukunya sambil mendengarkan permainan piano Rei.
'Permainannya semakin hari semakin bagus.' , gumam Sora dalam hati sambil tersenyum bangga.
Tujuh menit berlalu, dan Rei menyelesaikan lagunya hingga selesai. Ia berbalik menatap Sora yang ternyata sudah tertidur lelap dengan posisi sama seperti awal dia duduk di tempatnya tadi.
"Apa - apaan perempuan ini? Apa permainanku bgeitu membosankan hingga membuatnya tertidur? Dia ini benar - benar.." , ujar Rei masih di tempat duduknya.
Ia memperhatikan wajah Sora yang tertunduk - tunduk karena gravitasi dan juga perlawanan dari kepalanya yang berusaha untuk tetap tegak. Bibir Rei berkedut merasa kesulitan untuk tidak tersenyum senang melihat hal itu.
Lelah menahan kepalanya untuk tetap tegak, kepala Sora dengan inisiatif mengubah posisinya menyandar pada dinding di belakangnya. Namun bukannya ia bisa tidur dengan tenang, kali ini kepalanya bergerak miring ke kanan dan ke kiri mengikuti kemana tarikan gravitasi bumi menarik sisi yang dirasa lebih berat.
Di tengah keasyikannya memandangi Sora seperti itu, Rei dibuat mendekat pada Sora saat kepala Sora perlahan benar - benar miring jatuh ke kanan. Dengan sigap Rei langsung melompat dan tangannya menahan kepala Sora agar tidak terjatuh membentur lantai.
Dengan perlahan, Rei menegakkan kembali kepala Sora, namun, lagi - lagi miring dan jatuh perlahan lahan sehingga Rei harus menangkapnya lagi. Akhirnya, Rei memutuskan untuk menjadikan pundaknya sebagai tempat sandaran untuk kepala Sora.
Udara yang bertiup melalui ventilasi udara di atas jendala, meniupkan angin dingin musim gugur. Namun sinar matahari yang masuk menghangatkan udara di dalam ruang musik. Suasana yang tenang benar - benar membuat siapapun yang ada disana akan merasa mengantuk. Seperti Rei yang sudah mulai menguap karena kantuk yang datang. Ia melihat jam tangannya untuk melihat waktu istirahat yang tersisa.
"Hoaam, masih ada dua puluh menit lagi." , gumam Rei merasa lega karena sudah diberikan kesempatan untuk tidur siang yang sudah lama tidak pernah ia lakukan sejak sekolah dasar.
Rei menyandarkan kepalanya di atas kepala Sora yang bersandar pada bahunya. TInggi badan Sora pas sekali untuk bersandar pada kepalanya. Sehingga tidak butuh waktu lama untuk Rei tertidur.
***