Saat ayahnya Sora turun dari lantai dua, ia mendapati putri satu-satunya sudah mandi dan berpakaian sedang menyantap sarapannya lebih awal dari biasanya.
“Ini masih jam enam, kenapa sudah rapi?” , tanya ayahnya Sora sambil menatap jam tangan yang melingkar di tangannya.
Sebelum menjawab pertanyaan ayahnya, Sora memastikan terlebih dahulu bahwa makanan di mulutnya sudah ia telan seluruhnya. “Aku ada latihan khusus untuk tim yang akan bertanding sebelum jam pelajaran pagi. Jadi aku harus berangkat lebih awal.”
Ayahnya Sora mengangguk kepalanya pelan mengerti. “Berarti tidak berangkat dengan Rei?”, tanya ayahnya sambil mencuci tangannya di wastafel. Sora menggeleng mengiyakan perkataan ayahnya.
Sora melihat jam yang dinding yang terpasang pada dinding bagian atas dapur menunjukkan pukul enam lewat lima belas, dan ia pun mempercepat makannya karena ia tahu ia akan terlambat jika tidak segera berangkat.
Ayahnya Sora melihat Sora yang makan dengan terburu–buru pun angkat suara, “Makanlah dengan perlahan. Appa akan mengantarmu ke sekolah.” , Sora meneguk minumnya sampai habis dan menggeleng.
“Tida perlu appa. Aku akan melatih kakiku dengan sepedaku. Aku berangkat dulu ya.” , Sora segera menyambar tasnya yang ia letakkan di atas bangku di sampingnya dan juga memakai jaketnya sambil berjalan ke pintu depan.
“Hati–hati dan jangan memaksakan diri.” , sahut ayahnya sambil menatap kepergian Sora.
Matahari belum muncul sepenuhnya tetapi Sora sudah mengeluarkan sepedanya untuk segera berangkat ke sekolah. Ia tidak memakai seragam sekolahnya, tetapi memakai pakaian olahraganya. Sedangkan seragamnya ia masukkan ke dalam tas untuk berganti pakaian nanti.
Hari ini merupakan hari di penghujung musim panas dan sudah akan musim gugur. Udara jadi lebih dingin dari biasanya. Sora pun menarik resleting jaketnya hingga ke lehernya untuk menjaga tubuhnya dari angin dingin di pagi hari.
Saat Sora sampai di jembatan Jamsu, matahari sudah muncul untuk menyapanya. Sinarnya langsung menghangatkan udara dingin pagi itu. Sora pun tersenyum bersemangat. Ia selalu suka saat sinar matahari pagi menerpa wajah dan tubuhnya, merasa diberkati.
Namun di tengah kegembiraan sederhana itu, tiba–tiba rantai sepedanya putus dan roda sepedanya pun berhenti berputar. Perjalanan menuju sekolah masih lumayan jauh dan disaat seperti ini rantai sepedanya malah putus.
“Ah kenapa harus di saat seperti ini..” , keluh Sora.
Hatinya bimbang ingin melanjutkan atau menelpon ayahnya untuk mengantarkannya ke sekolah. Tapi jika ia tidak bersegera, ia akan terlambat. Ia pun mengambil ponselnya dan mencari kontak ayahnya namun ia ragu untuk melakukan panggilan. Akhirnya ia pun kembali memasukkan ponselnya dan melanjutkan perjalanannya dengan sedikit berlari sambil mendorong sepedanya.
Tak jauh dari tempat Sora, di sisi lain jembatan terlihat ada sebuah mobil berhenti. Di dalamnya ada ayahnya Sora yang memantau putri kesayangannya. Ia membaca situasi yang terjadi dari gerak–gerik Sora dan langsung mengambil ponselnya saat melihat Sora yang terlihat sedang kebingungan. Ia menunggu Sora menelponnya saat melihat Sora mengambil ponsel, tetapi tak juga kunjung datang panggilan yang ia tunggu–tunggu. Ia menatap putrinya dengan kasihan, dan meletakkan kembali ponselnya ketika melihat Sora yang memutuskan untuk melanjutkan perjalannya dengan mendorong sepedanya. Ayahnya Sora merasa sedih karena Sora yang tidak menghubunginya ketika sedang dalam kesulitan.
***
Sesampainya di sekolah Sora langsung berlari ke tempat olahraga setelah memarkirkan sepedanya di tempat parkir khusus sepeda. Nafasnya sudah tersengal saat ia sampai di pintu ruang olahraga, dan ketika ia masuk ke dalam semuanya sudah berbaris untuk mendengarkan arahan dari pelatih. Diantara yang berbaris ada Seowoo juga, dan semua mata langsung tertuju pada Sora yang baru datang dengan terengah–engah.
“Maaf.. hosh hosh..” , Sora menarik nafas panjang untuk mengatur nafasnya. “Maaf aku terlambat coach-nim.”
“Kenapa bisa terlambat Sora?” , tanya pelatih sambil melipat tangannya di dadanya.
“Rantai sepedaku putus tadi. Maaf.” , pelatih pun menganggukkan kepalanya mengerti. Ia menerima alasan Sora.
“Baiklah, karena terlambat kau harus berlari mengelilingi lapangan sebanyak dua puluh putaran.” , perintah pelatih dan terlihat Sora putus asa mendengarnya.
Ia sudah susah payah berlari agar tiba tepat waktu, tetapi pada akhirnya ia mendapat hukuman lari mengelilingi lapangan. Sora hanya bisa pasrah. Ia sudah terlalu lelah untuk membela diri.
Saat pelatih sudah selesai memberikan arahan, barisan pun dibubarkan dan mereka mengambil posisi masing–masing untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu. Disaat yang lain melakukan pemanasan, Sora berlari mengelilingi lapangan. Kecepatan larinya tidak secepat biasanya. Ini dikarenakan ia sudah kelelahan sebelum sampai kesini. Seowoo berdiri di tengah–tengah semuanya dan memimpin pemanasan. Badannya bergerak melakukan pemanasan tetapi matanya tertuju pada Sora yang berlari mengelilingi lapangan. Seowoo merasa kasihan pada Sora, rasanya ingin menggendong di punggungnya.
***
Rei mencium ibunya berpamitan sebelum pergi ke garasi tempat di mana sepedanya diparkirkan. Menuntunnya keluar gerbang, tak lupa ia menutup gerbang, memakai headset di telinganya, memainkan musik–musik piano klasik dari ponselnya dan bersiap menaiki sepedanya. Saat hendak melewati rumah Sora, ia berpapasan dengan ayahnya Sora yang baru datang dengan mobilnya. Rei pun dengan sigap langsung membukakan gerbang untuk ayahnya Sora.
Ayahnya Sora menurunkan kaca mobilnya dan berhenti saat sejajar dengan Rei untuk mengucapkan terima kasih.
“Ohayou, Rei. Terima kasih ya.” , ucap ayahnya Sora dengan senyum di wajahnya. Ia tahu betul Rei menjunjung tinggi budaya dan bahasa negeri tempat kelahirannya.
Rei pun membalasnya dengan senyuman, “Ohayou, oji-san.”
“Sora sudah berangkat lebih awal pagi tadi.”
Rei mengangguk, “Iya, Sora sudah memberitahuku semalam. Kalau begitu aku berangkat dulu, oji-san.” , tak lupa Rei sedikit membungkukkan tubuhnya untuk menunjukkan hormatnya pada ayahnya Sora. Yang diberi hormat pun membalasnya dengan anggukkan dan senyuman.
“Oh iya Rei!”, panggil ayahnya Sora. Ia teringat sesuatu. Rei pun menghentikan sepedanya dan membalikkan badannya.
Ayahnya Sora turun dari mobil dan menghampiri Rei. “Rei, oji-san ingin minta tolong sedikit padamu. Maaf kalau ini merepotkan, tapi, apa kau bisa mengawasi Sora beberapa hari ke depan? Ia terlihat bekerja keras untuk pertandingannya, oji-san khawatir ia akan terlalu memaksakan dirinya.” , jelas ayahnya Sora.
Rei yang mendengarnya langsung teringat insiden beberapa minggu lalu ketika Sora terjatuh saat latihan. Ia berpikir sejenak, ia tidak yakin bahwa adalah hal yang bagus jika ia menceritakan kejadian itu. Ia pun tersenyum menenangkan, “Akhir–akhir ini Sora memang terlihat berlatih dengan keras untuk pertandingannya. Oji-san tahu, itu artinya dia benar–benar berusaha yang terbaik untuk menang. Oji-san tidak perlu khawatir, Sora pasti akan baik – baik saja.”
Ayahnya Sora menepuk pundak Rei, “Baik, aku percayakan padamu. Kapan–kapan oji-san akan mentraktirmu makan siang ya.”
“Ahaha tidak perlu oji-san. Aku temannya, itu sudah jadi tugasku untuk memastikannya baik–baik saja.”
***
Rei sudah sampai di sekolah. Ia tak lupa untuk menyapa pak Min- satpam yang berjaga, dan membeli roti bakar yang ia beli di kedai yang berdiri tepat di depan sekolah. Roti bakar ini adalah kesukaannya Sora, apalagi roti bakar dengan keju.
Setelah memarkirkan sepedanya, ia pun segera menuju ruang olahraga dengan senyum di wajahnya sambil membawa kantong plastik yang berisi roti bakar keju yang masih hangat. Langkahnya terhenti ketika melihat Sora yang sedang terengah – engah berlari mengelilingi lapangan dengan menundukkan kepalanya. Rei bisa langsung tahu bahwa Sora sudah kelelahan.
Rei segera mencari tempat duduk di podium dan memilih yang paling belakang agar tidak terlalu terlihat oleh Sora. Ia tetap terus berada disitu menunggu Sora selesai dengan hukumannya. Sesekali ia melihat jam yang melingkar di tangannya untuk melihat berapa lama Sora berlari. Dari tempat duduknya, ia pun bisa melihat dengan jelas semua murid yang sedang melakukan pemanasan. Ia juga bisa melihat dengan jelas Seowoo yang sesekali memperhatikan Sora. Dari sorot matanya, Rei terlihat tidak senang dengan hal ini.
Melihat Sora yang sudah selesai dengan hukumannya membuat Rei langsung bergegas menghampirinya.
“Paket untuk Sora-san~” , ucap Rei sambil mengayun – ayunkan bungkusan plastik putih bening berisi rot bakar keju di hadapan Sora.
Wajah lelah Sora langsung menunjukkan senyum senang. Ia tersenyum lebar sampai menunjukkan gigi–gigi putihnya. Rei yang melihat hal itu terkekeh geli. Ia tidak mengerti bagaimana bisa Sora yang terlihat begitu kelelahan tadi bisa langsung tersenyum sumringah hanya dengan roti bakar keju.
“Aku tidak percaya begitu besar kekuatan dari roti bakar keju ini.” , oceh Rei.
“Apa maksudmu?” , Sora menerima bungkusan plastik itu dengan senang dan membukanya, menghirup dalam–dalam aroma keju dan mentega dari roti bakar keju itu.
“Kau terlihat begitu kelelahan tadi. Tapi sekarang sudah segar kembali seperti habis mandi. Kau suka sekali dengan roti bakar keju?” , tanya Rei.
Sora mengangguk dengan cepat, “Ne, aku suka sekali. Sangat menyukainya.” , sahut Sora sambil menatap Rei dengan berbinar–binar. Rei tertawa sambil membuang muka mendengar jawaban Sora.
Seowoo yang sudah selesai memimpin pemanasan, melihat Sora yang sedang tertawa bersama Rei. Ia tidak percaya Sora yang tadi terlihat lesu karena kelelahan sekarang sudah terlihat segar kembali. Bahkan dari suara tawanya ia bisa merasakan kebahagiaan yang sedang Sora rasakan.
Pak pelatih meniup priwitan yang membuat seluruh mata tertuju padanya dan meminta semuanya untuk berkumpul menemuinya, termasuk Sora.
“Aku dipanggil. Kau akan langsung ke kelas?”, tanya Sora.
Rei menggeleng dan langsung duduk di samping tas Sora, “Aku akan menunggu disini saja.” , Sora menatapnya sabil menyipitkan matanya.
“Tenang, aku tidak akan memakan roti bakarnya. Sudah sana.” , tambah Rei. Sora lega mendengarnya, ia pun melambaikan tangannya sambil berlari menuju tengah lapangan dimana semuanya berkumpul.
***
Siang hari itu suasana kelas lebih ramai dari biasanya. Semuanya sibuk dengan kesibukannya masing–masing di jam pelajaran bebas hari ini karena para guru sedang ada rapat untuk ujian mendatang. Beberapa siswa ada yang belajar masing–masing di mejanya, ada juga yang belajar berkelompok dengan menyatukan meja mereka dan meletakkan kursi mereka membentuk lingkaran melingkari meja. Ada juga yang menjadikan buku mereka sebagai bantalan kepala mereka.
Para siswi yang menyandang gelar sebagai fangirl melakukan ritual mereka saat waktu senggang yaitu menonton penampilan idol kesayangan mereka dari ponsel mereka dan sesekali berteriak saat idolanya muncul di layar. Sedangkan para siswa yang tidak suka belajar hanya berkumpul di belakang dan saling melemparkan ejekan dan tertawa.
Sora yang kelelahan tertidur di kelas dengan pulpen di tangannya. Pagi tadi ia mendorong sepedanya ke sekolah karena rantai sepedanya terputus di tengah jalan, dan saat itu ia tidak sedang berangkat bersama Rei karena ia harus berangkat pagi–pagi untuk latihan ekstra. Tetapi kenyataannya waktu ia sampai di sekolah tidak terlalu berbeda jauh dengan waktu Rei sampai di sekolah. Setelah itu ia harus berlari mengelilingi lapangan sebanyak dua puluh putaran karena terlambat datang latihan, dan ia juga tetap ikut berlatih. Walaupun hari ini belum berakhir, tetapi sudah cukup melelahkan untuk Sora.
Tepat di samping meja Sora, ada Rei yang sedang serius mengerjakan soal–soal yang ada di buku bahasa Inggris miliknya. Dari wajahnya terlihat jelas bahwa dirinya sedang sangat fokus. Bahkan suara–suara teriakan dari murid–murid perempuan yang sedang fangirling beberapa meja di depannya dan juga murid laki–laki yang tertawa–tawa di meja pojok belakang kelas tidak mengganggunya sama sekali.
Beberapa saat kemudian soal–soal yang ia kerjakan mulai semakin sulit. IA berpikir keras sambil mengerutkan keningnya namun tidak berhasil mendapatkan petunjuk apapun. Ia pun berniat untuk bertanya pada Sora walaupun ia tahu ia dua peringkat lebih tinggi daripada Sora.
“Hei Sora, soal no-“ , Rei terhenti saat melihat bahwa Sora sudah terlelap menghadap ke arahnya dengan buku sebagai bantalnya dan tangannya yang masih memegang pulpen.
Dari suara dengkurannya, nampak jelas Sora benar–benar terlelap dalam tidurnya karena kelelahan. Ditambah angin sepoi–sepoi yang masuk melalui jendela mendukung suasana untuk Sora tertidur. Rei memangku dagunya dengan tangannya sambil menatap Sora lama. Ia tidak ingin menyia–nyiakan kesempatan seperti ini.
Sora terlihat begitu cantik dalam tidurnya, pikir Rei. Pipi Sora yang sedikit gembul terlihat sangat lembut ketika terhimpit buku. Bibir kecilnya membentuk huruf o karena tertekan oleh pipi dan gravitasi. Rei tersenyum geli. Ia tidak habis pikir bagaimana Sora yang bisa berubah sifatnya jadi seperti singa itu mempunyai bibir yang begitu imut untuk mengucapkan semua keluhan dan omelan padanya. Angin yang datang meniup rambut Sora dan membuatnya jatuh menghalangi sebagian wajahnya. Rei yang melihat hal itu pun mengulurkan tangannya mendekat ke wajah Sora. Dengan perlahan ia mengaitkan rambut Sora ke belakang telinga Sora agar wajah Sora dapat terlihat dengan jelas.
Rei yang mulai menikmati saat–saat seperti ini langsung menutup bukunya dan menumpuknya dan ia jadikan sebagai sandaran untuk kepalanya. Membaringkan kepalanya sambil menatap sora, siang itu waktu terasa begitu lambat. Mendadak suara-suara berisik yang ada di kelasnya sirna, dirinya hanya terpaku pada Sora saat ini. Ia tidak tahu menatap orang lain bisa semenyenangkan ini.
***
Langit sudah berwarna jingga dan sang matahari pun sudah mulai merendahkan sosoknya. Udara sore hari ini sudah mulai dingin karena sudah memasuki penghujung musim panas dan angin dingin musim gugur sudah menyapa. Sora memakai jaket olahraganya dan menaikan resletingnya sampai atas. Walaupun Sora rajin berolahraga dan staminanya bagus, tubuhnya yang kurus tetap tidak bisa melindunginya dari udara dingin.
Rei dan Sora keluar kelas bersama dan pergi ke tempat dimana murid–murid di sekolah ini memarkirkan sepeda mereka.
“Berarti besok kau juga akan berangkat bersamaku? Atau minta diantarkan oleh ayahmu?” , tanya Rei setelah mendengar insiden rantai putus yang Sora alami pagi tadi.
Sora menurunkan bahunya lesu, “Entahlah, aku tidak yakin ayahku akan pulang atau tidak nanti malam. Mungkin aku akan naik bis.” , Rei mengangguk mengerti. Ia menepuk bahu Sora memberi semangat.
Langkah Sora terhenti saat melihat sepedanya, “Eh? Bagaimana bisa?” , ia pun bergegas menghampiri sepedanya dan berjongkok untuk memastikan yang ia lihat adalah benar.
Rei mengikuti di belakangnya, “Siapa yang melakukannya?” , tanya Rei spontan saat melihat rantai sepeda Sora yang sudah diperbaiki. Sora menatap Rei, ia pun punya pertanyaan yang sama dengan yang baru saja Rei lontarkan.
“Kau yang melakukannya?” , tuduh Sora pada Rei.
“Kau gila? Aku baru tahu rantaimu yang putus beberapa menit yang lalu.” , ucap Rei membela diri. Ia memasukkan tangannya pada saku celananya sebagai bentuk ketidaktahuannya soal ini.
Sora berpikir sebentar untuk memastikan beberapa kemungkinan, namun hasilnya nihil. Sejenak ia berpikir mungkinkah Seowoo? Tapi hal itu dirasa mustahil. Seowoo nyaris tidak pernah ke parkiran sepeda. Entahlah, Sora sama sekali tidak punya petunjuk sama sekali.
“Ah sudahlah ayo cepat kita pulang. Aku sudah lapar sekali.” , gerutu Rei tidak sabar.
“Iya iya, kau ini. Aku hanya berpikir siapa orangnya karena aku ingin berterima kasih padanya.”
Akhirnya Sora pun menyerah dan tidak memikirkannya lagi. Bagaimanapun ia tetap ingin berterima kasih pada orang yang telah melakukan hal ini.
FLASHBACK
Ayahnya Sora pergi menuju sekolah Sora lebih dulu daripada Sora. Seturunnya dari mobil, ia langsung menghampiri pos satpam yang berada dekat pintu gerbang sekolah dan disana ia menemui pak Min yang sedang bersiap – siap menyantap sarapannya.
“Permisi..” , ayahnya Sora memunculkan wajahnya dari jendela. Pak Min yang terkejut dengan kedatangan seseorang yang tidak biasanya langsung membuka pintu dan keluar untuk menemui ayahnya Sora.
“Annyeonghaseyo, saya ayahnya Sora, Kang Sora dari kelas 11 B.” , sapa ayahnya Sora sambil sedikit membungkukan badannya memberi hormat karena pak Min lebih tua darinya.
Pak Min pun membungkukan sedikit badannya balas memberi hormat, “Ne, annyeonghaseyo. Ah Kang Sora,”
“Iya pak, Kang Sora yang biasa naik sepeda kesini.”
“Oh iya iya aku ingat, Kang Sora. Di yang selalu bersama dengan Rei, orang Jepang itu.” , jelas pak Min yang membuat ayahnya Sora lega karena pak Min mengenali Sora.
“Iya betul Rei. Dia tetangga sebelah kami.”
“Ada hal mendesak apa yang membuat anda kemari pagi–pagi seperti ini?” , tanya pak Min terus terang.
Ayahnya Sora tersenyum canggung, “Begini, aku ingin meminta tolong sesuatu untuk Sora.” , pak Min diam mendengarkan.
“Nanti anda akan melihat Sora datang lebih awal sambil mendorong sepedanya karena rantainya putus. Aku membututinya pagi ini untuk memastikan ia aman, tetapi malah terjadi hal seperti itu dan ia sama sekali tidak menghubungiku untuk sekedar meminta bantuan dari saya. Jadi saya pikir ia memang tidak berniat ingin dibantu oleh saya. Itu sebabnya saya ingin meminta bantuan pada anda.” , pak Min tersenyum mengerti.
“Ah baik, saya mengerti maksud anda. Tentu nanti akan saya perbaiki rantai sepedanya diam–diam. anda tidak perlu khawatir.” , senyum orangtua seperti pak Min benar–benar menenangkan.
Ayahnya Sora pun mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompetnya tetapi langsung ditahan oleh pak Min.
“Tidak tidak, tidak perlu. Sudah menjadi tugasku untuk menjaga anak–anak di sekolah ini. Simpan kembali uang anda, tidak perlu khawatir, saya pasti akan memperbaiki rantai sepeda Sora.” , ayahnya Sora tersenyum hangat. Ia merasa seperti sedang bicara dengan ayahnya yang sekarang sudah tiada.
“Terima kasih pak. Kalau begitu aku permisi. Semoga harimu menyenangkan pak.” , ayahnya Sora membungkuk pamit dan pak Min pun membalasnya dengan hal yang sama.