8. Perasaan

1091 Words
Pagi ini ada yang berbeda dari Xian, selama mengikuti Dino meneliti zat-zat adiktif, gadis itu tidak bersuara sedikit pun. Xian yang biasanya cerewet dan banyak tanya, kini bungkan seribu bahasa. Sesekali Dino melirik Xian, beberapa kali juga Dino menarik perhatian gadis itu tapi gadis itu tetap diam. Dalam hati Xian merutui Dino yang menjadi cowok tapi sangat tidak peka. harusnya Dino menanyakan kenapa dia tidak ada di restoran kemarin. Namun, sudah menunggu pertanyaan itu, tapi tak kunung keluar dari bibir Dino. Suasana laboratorium sangat hening, karena hanya ada Dino dan Xian yang saling bungkam.  "Xian," panggil Dino membuat Xian yang mulanya meneliti cairan kimia dalam corong gelas yang dia zoom dengan kaca pembesar pun mendongakkan kepalanya.  "Iya, Profesor," jawab Xian.  "Em ... kemana kamu kemarin? Kok ngilang," tanya Dino dengan raut datarnya. Xian memicing Dino bertanya sungguhan atau hanya basa-basi saja? Kenapa kalau tanya tidak ada nada perhatian sedikit pun? nada yang digunakan Dino terkesan sangat datar dan membuat siapapun ingin menimpuknya saat ini juga.  "Pulang duluan," jawab Xian  "Ouhh ...." Dino beroh ria sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.  Mata Xian menatap cairan Klorin yang ada di hadapannya. Ingin rasanya Xian menyiramkan cairan itu ke wajah Dino saat mengingat Dino berciuman dengan Sivana. Saat cairan Klorin terkena kulit, pasti akan membuat kulit terbakar dan kemerahan.  "Nanti saat aku mengambil sampel di pabrik, kamu tidak usah ikut!" ujar Dino melepas masker yang dia gunakan setelah sedikit menjauh dari cairan-caioran kimia yang membuat hidungnya engap.  "Kenapa?" tanya Xian.  "Aku tidak ingin kamu celaka seperti yang terkahir kalinya," jawab Dino menatap intens mata Xian. Ditatap demikian membuat Xian terpaku. Mata jernih dan berwarna hitam legam milik Dino sangat candu untuk Xian. Mata Xian turun melihat ke arah bibir kemerahan milik Dino. Setau Xian, Dino tidak pernah merokok, itu menyebakan bibirnya sangat segar dan merah alami. Namun sayang, bibir itu sudah dicicipi oleh Sivana.  "Kenapa memandangku seperti itu?" tanya Dino menaikkan sebelah alisnya. Xian segera menggelengkan kepalanya, dia merutuki dirinya yang berpikiran aneh aneh tentang bibir Dino.  "Ya sudah, nanti tidak perlu ikut aku. Aku takut terjadi apa-apa. Kalaupun celaka, itu biar aku saja," ujar Dino masih menatap Xian dengan intens.  "Aku mau ikut Profesor saja. Aku akan jaga diri baik-baik," ucap Xian dengan mantab.  "Jangan, kamu baik-baik saja di sini, kemarin ada kejadian lagi yang persis  kayak waktu kita di kapal," jelas Dino menghela napasnya.  "Kapan? Profesor baik-baik saja?" tanya Xian dengan spontan memegang tangan Dino. Dino melirik tangannya yang dicekal oleh Xian, tampak raut khawatir di wajah Xian dengan keadaannya.  "Aku baik-baik saja, tapi aku tidak bisa memprediksi kapan ancaman itu akan datang. Yang aku bisa lakukan hanya waspada," ujar Dino.  "Kita tidak bisa hanya dengan waspada, Prof. Kita harus melakukan sesuatu, seperti menciptakan alat pendetiksi ancaman dengan robot kecil yang terhubung dengan sensor, kita juga harus meminimalisir bahaya datang. Kita harus memikirkan ini matang-matang sembari kita menemukan dalangnya. Aku akan bersama Profesor untuk mengungkapkan kejahatan ini," jelas Xian bertubi-tubi. Dino menatap tak berkedip pada Xian.  "Kamu tidak akan bisa, Xian. Aku sudah menemukan alat sensor, tapi tetap tidak bisa akurat," jawab Dino.  "Profesor meragukan kemampuanku?" tanya Xian mendelik. Buru-buru Dino menggelengkan kepalanya, dia tidak bermaksud untuk meragukan Xian.  "Aku akan buktikan pada Profesor kalau aku bisa menciptakan robot sensor yang bisa menangkap sinyal bahaya," ucap Xian dengan mantab. Menurut Xian, ini juga kesempatan untuk dirinya sendiri untuk membuktikan pada dunia tentang kemampuannya. Selama ini cita-cita Xian ingin membuat robotnya sendiri, dan kali ini mumpung ada kesempatan dia akan membuat robot.  "Kenapa kamu membantuku?" tanya Dino mengamati Xian yang tampak bersemangat.  "Kamu tidak menyukaiku, kan?" tanya DIno lagi. Xian membulatkan matanya, dia menggelengkan kepalanya cepat. Menurut Xian, rasa sukanya pada Dino tidak terlihat dengan jelas. Kalau Dino merasa, fiks sebenarnya Dino peka tapi hanya pura-pura.  Melihat keterdiaman Xian, Dino segera mendorong bahu Xian hingga tubuh Xian terbentur tembok. Tangan Dino terulur untuk melepas makser di bibir Xian. Xian gugup, baru kali ini dia berdekatan dengan seorang cowok. Hembusan napas Dino terasa jelas di wajah Xian yang terasa menghangat. Dino memiringkan wajahnya, tapi tanpa dia duga Xian mendorong bahu Dino untuk menjauh.  "Prof, apa yang Prof lakukan?" tanya Xian dengan gugup.  "Kamu menyukaiku?" tanya Dino lagi. Xian tidak bisa menggerakkan kepalanya untuk sekadar menggeleng atau mengangguk.  "Jawab, Xian!" desak Dino. Xian masih bungkam.  Tiba-tiba Dino makin memiringkan kepalanya, belum sempat Xian mengelak bibirnya sudah menyatu dengan bibir Dino. Dino mencium bibir gadis di depannya dengan pelan, makin lama ciuman Dino makin intens. Dino mencengkarm dagu Xian hingga bibir Xian terbuka. Dino melesakkan lidahnya ke sana. Xian terpekur, gadis itu bak patung yang tidak bisa bergerak.  Xian merasakan lidahnya ada yang mengecup, mengulum, dan membelit lidahnya. Namun untuk bereaksi apapun, Xian tidak sanggup. Air mata tiba-tiba menetes di pelupuk mata Xian. Bibir yang kemarin mencium Sivana, sekarang digunakan untuk menciumnya.  Dino melepas tautan bibirnya saat dia rasa cukup. Dino sedikit menjauhkan wajahnya, dia menatap wajah Xian yang sudah pucat sembari ada air mata yang menetes di sana.  "Ini first kiss?" tanya Dino menghapus air mata Xian. Xian menganggukkan kepalanya.  "Manis, beda dengan Sivana," ujar Dino. Xian menatap Dino dengan tidak percaya.  "Jadi, profesor menciumku hanya untuk pembanding?" tanya Xian yang matanya makin berkaca-kaca. Tangan Xian terkepal dengan erat, sakit hati rasanya saat Dino mengatakan untuk pembanding. Xian bersiap untuk pergi, tapi Dino segera mengukung tubuh mungil Xian agar Xian tidak bisa kabur.  "Prof, aku mau keluar!" ucap Xian dengan tegas.  "Tidak sebelum kamu menjawab. Kamu suka aku?"  "Tidak perlu aku jawab," ucap Xian menendang selakangan Dino dengan kencang.  "Akhhh!" Dino memekik kesakitan sembari memundurkan tubuhnya. Xian segera melenggang pergi meninggalkan ruang laboratorium. Xian mengusap air matanya kasar, dia tidak tau harus menjabarkan dengan kata apa ciuman Dino tadi. Dino menciumnya untuk pembanding, tapi di sisi lain dia senang saat Dino mengatakan bibirnya lebih manis.  Xian  terus berlari, gadis itu ingin menuju kamar mandi. Namun naas, karena tidak melihat ke depan, dia menabrak seseuatu yang membuatnya langsung jatuh terduduk. Karma yang dibayar kontan setelah menendang selakangan Dino.  "Akkhhh ... maaf!" ucap Xian mendongakkan kepalanya. Xian melihat Sivana yang tengah berdiri tegak sembari menatapnya.  "Kalau mau lari jangan lupa hadap ke depan. Untung aku tidak membawa cairan kimia, bisa-bisa wajah kamu rusak!" ujar Sivana. Tanpa menolong Xian, Sivana langsung melenggang pergi begitu saja.  "Xian!" panggil Dino dari kejauhan. Bukan hanya Xian yang menoleh, tapi juga Sivana. Dino menghampiri Xian dan membantu gadis itu untuk bangun.  Sivana melihat Dino dan Xian bergantian. Air mata Xian menarik perhatian Sivana, tangan perempuan itu terkepal dengan erat, "Tau begitu, aku akan mencincang habis dirimu, Dino!" batin Sivana melenggang pergi menjauhi dua orang itu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD