Housemates With The Boss - 05

2125 Words
Setelah menempuh perjalanan yang seharusnya hanya lima belas menit, tapi menjadi satu jam karena kemacetan Ibukota, akhirnya Eilish tiba di kediaman sang kekasih, Evan. Eilish tersenyum menatap bangunan yang mirip rumah susun di depannya itu. Dia pun segera melangkah masuk. Bangunan itu membentuk leter U dengan gedung tiga tingkat. Bangunan itu berwarna putih. Suasananya cukup padat. Di depan tiap-tiap pintu kamar terlihat banyak kain jemuran. Halaman yang berada di tengah-tengah bangunan pun dipenuhi oleh parkiran motor dan mobil yang tampak berdesak-desakan. Eilish mengembuskan napas kasar sejenak, lalu beranjak menaiki anak tangga yang ada di sisi kanan gedung. Dia tersenyum canggung saat berpapasan dengan beberapa orang yang ia temui. Eilish terus melangkah sambil membaca setiap nomor kamar yang tertulis di pintunya. Dia melalui gang kecil itu sambil menggeleng pelan karena kondisinya yang berantakan. Ada banyak tumpukan barang dan juga rak sepatu yang tidak tertata rapi. Semua itu membuat langkah Eilish tersendat-sendat. Bahkan dia juga harus melompat saat melewati sebuah kamar yang di depannya terdapat tumpukan kantong plastik yang entah apa isinya. “207 … 208 ….” Eilish terus melangkah sampai kemudian dia tersenyum begitu tiba di pintu yang bertuliskan angka 210. Tiba-tiba gadis itu tersenyum pelan. Dia merapikan tatanan rambutnya sejenak, memeriksa penampilannya di cermin bedak, lalu kemudian barulah mengetuk pintu kamar itu. Eilish mengetuk pintu perlahan dan menunggu sambil mengembuskan napas pelan. Hening. Pintu itu tidak terbuka. Eilish mengetuknya lagi, kali ini sedikit lebih kencang. “Apa dia tertidur?” bisik Eilish. Eilish mengetuk lebih keras, tapi pintu kamar itu tidak juga terbuka. Dia beralih mengeluarkan handphone-nya dan langsung menghubungi Evan. Panggilan itu langsung terhubung dan Evan juga langsung menjawabnya. “Halo, Van … kamu di mana?” Eilish langsung bertanya tanpa menyapa terlebih dahulu. “Aku di kamar kost! Kenapa sayang?” Eilish menautkan alis karena bingung, tapi kemudian dia kembali berbicara. “Sekarang kamu buka pintu kamar kost kamu, deh!” Hening. Evan sepertinya bingung mendengar kalimat itu. “A-apa? Buka pintu kamar? Emangnya kenapa?” tanya Evan. “Udah, buka aja!” sergah  Eilish tak sabar. Terdengar suara embusan napas Evan yang terdengar kasar. “Kenapa, sih? Emangnya kamu ngirim paket atau apa gitu?” “BUKA AJAAA …!” Eilish kemudian memutus sambungan telepom itu dan kembali menatap pintu yang masih menutup. Tak lama kemudian terdengar suara derap langkah kaki di dalam sana, dilanjutkan oleh suara kunci yang diputar dan kemudian … Pintu itu terbuka dengan mengayun pelan disertai suara derit. Eilish langsung tersenyum. Sementara sosok lelaki berkacamata dengan rambut kusut itu tampak terkejut dan langsung membeku melihat sosok Eilish yang kini berdiri di hadapannya. “TARAAAAA …!” teriak Eilish sambil merentangkan kedua tangannya. Lelaki yang kini hanya mengenakan baju kaos berwarna biru dan juga celana boxer warna putih itu masih menatap tak percaya. Dia melepas kacamatanya sejenak, mengucek-ucek mata, memasang kacamatanya kembali dan menatap Eilish. “I-ini beneran kamu?” Eilish tidak menjawab. Dia langsung mendekat dan memeluk pria itu. Dan seperti biasa, pria itu terlihat risih dan langsung mendorong tubuh Eilish untuk menjauh dengan dorongan yang lembut. Eilish langsung merengut. “Masa peluk aja nggak boleh … aku kangen tau, sama kamu!” Evan menelan ludah, lalu kemudian mengusap rambut Eilish perlahan. “Kenapa kamu tiba-tiba ada di sini? Kamu lagi liburan atau gimana?” Eilish tersenyum penuh arti. “Jawabannya panjang. Sebaiknya kamu mandi dulu dan setelah itu kita cari makan sambil bercerita. Gimana?” Evan mengangguk setuju. Ekspresi kaget di wajahnya masih belum sepenuhnya menghilang. “O-oke kalau begitu,” jawab Evan kemudian. . . Eilish masih memerhatikan keadaan kamar kost Evan dengan tatapan takjub. Bagaimana tidak, kondisi dalam kamar itu sangat kontras dengan luarnya yang terlihat sedikit kumuh dan berantakan. Kamar itu sangat bersih dengan cat putih polos di bagian tengah hingga atas dinding. Bagian bawahnya ditutupi oleh walpaper berwarna hijau yang membuat suasana kamar itu tampak segar. Ada tiang gantungan pakaian yang dipenuhi oleh pakaian khusus kemeja. Di sebelahnya juga ada tiang gantungan lain yang dipenuhi oleh hodie dan jaket berbagai warna dan model. Selain itu terdapat lemari pakaian, lemari hias dengan kaca yang menampilkan ada banyak jam tangan dan aneka botol parfum di dalamnya. “Sejak kapan dia jadi rapi seperti ini?” bisik Eilish. Tatapannya beralih pada rak sepatu yang juga dipenuhi oleh sepatu branded. Eilish makin terkejut saat menyadari bahwa kamar kost Evan juga dilengkapi oleh AC yang menempel di atas pintu. “Gila … dia pasang AC segala.” Eilish menggeleng pelan. Dia sangat-sangat terkejut dengan perubahan Evan. Sepertinya lelaki itu hidup makmur di tanah perantauan. Apa Evan sudah memiliki gaji yang cukup prestise hingga dia bisa memiliki gaya hidup seperti sekarang ini? Masih terbayang jelas di ingatan Eilish bagaimana kehidupan Evan saat kost di kota Padang dulu. Sosok lelaki itu berasal dari kota Payakumbuh yang mengharuskannya hidup sebagai anak kost saat berkuliah di kota Padang. Kala itu kehidupan Evan bisa dikatakan serba kekurangan. Dia hanya menyimpan baju-bajunya dalam kotak kardus indomie, untuk kasur dia hanya tidur beralaskan kasur santai tipis yang keras. Evan juga sering sakit-sakitan karena sering menahan lapar. Wajar saja, Evan sudah tidak memiliki ayah sejak ia berusia tujuh tahun. Ibunya hanya berprofesi sebagai pedagang jajanan yang berjualan di Sekolah Dasar dekat rumahnya. Evan tidak ingin membebani hidup ibunya. Apalagi dia juga mempunyai dua orang adik kembar yang juga bersekolah. Alhasil kehidupan Evan di bangku kuliah cukup penuh dengan tantangan. Tapi lelaki itu terus berjuang. Berbagai pekerjaan sambilan pun ia lakoni. Mulai dari penyiar radio, pelayan kafe, hingga menjadi buruh angkut di pelabuhan teluk bayur pada malam hari yang kemudian menyebabkan ia terkena penyakit tipes. Hal itu jugalah yang membuat Eilish semakin jatuh cinta pada sosok Evan. Lelaki sederhana dan pekerja keras itu sudah berhasil memporak-porandakan hatinya.  Eilish yang hidupnya cukup berada akhirnya turun tangan memperbaiki kehidupan Evan sebagai anak kost. Eilish membelikan perlengkapan kamar kost yang layak untuk sang kekasih. Eilish yang memang jago memasak juga selalu mengantarkan makanan untuk Evan. Sosok Evan pun kadang marah dan acapkali melarang Eilish untuk bersikap demikian, tapi gadis itu tetap melakukan apa yang dia mau. Hal itu terus berlangsung hingga Evan wisuda. Sementara Eilish yang kuliah sambil berleha-leha harus menambah dua semester untuk menuntaskan pendidikannya. Dan motivasi terbesar yang membuat dia akhirnya fokus adalah memang karena sebuah keinginan untuk menyusul Evan ke Jakarta. Sosok Evan yang sudah selesai mandi pun keluar dari kamar mandi dan sudah berpakaian lengkap. Dia beralih ke meja rias, Eilish pun memerhatikannya lekat-lekat. Evan mengawalinya dengan memakai doedorant. Setelah itu ia tampak membasahi mukanya dengan toner. Pemandangan itu sukses membuat Eilish mengernyit. Apalagi kemudian Evan juga memakai suncream setelah toner di wajahnya mulai mengering. “Sejak kapan kamu peduli sama penampilan seperti ini?” tanya Eilish. Deg. Gerakan tangan Evan yang sedang memakai cream suncream ke wajahnya itu pun terhenti. Dia berbalik menatap Eilish, lalu tertawa pelan. “Hahaha … ini tuh, sebenernya sampel dari perusahaan. Karena gratis, ya udah … aku pake aja.” Eilish kembali melirik berbagai produk yang dipakai Evan. Merek produk itu jelas berbeda-beda dan setahu Eilish produk perawatan muka yang dipakai pacarnya itu mempunyai kisaran harga yang cukup menguras kantong. Eilish masih merasa bingung, tapi dia mengabaikan perasaan itu, lalu kemudian tersenyum. “Tapi bagus deh … kamu udah mulai peduli sama perawatan. Dulu setiap aku beliin pelembab aja kamu nggak pernah mau pake. Pantes sekarang kulit kamu jadi bening gitu … kulit kamu bahkan sekarang tampak lebih sejat dari kulit aku.” Evan hanya tertawa canggung, dia menyudahi sesi dandannya dengan memakai hair spray dan juga parfum. “Kamu mau makan apa? Kita keluar … atau pesan makanan aja dan makan di sini?” tanya Evan kemudian. “Makan di sini aja, deh … lagian nyaman kok di sini. Ada AC-nya lagi,” jawab Eilish. Evan menjadi kikuk. Sedangkan tatapan mata Eilish kini mulai terlihat berbeda. Ada binar kerinduan yang teramat dalam dari sorot kedua mata itu. “Apa kabar kamu selama ini?” suara Eilish terdengar melunak. Evan tersenyum. Sosok lelaki berkulit sawo matang dengan kacamata bulat itu balas menatap Eilish dengan tatapan hangat. “Aku baik-baik aja dan selalu berkutat dengan rindu karena jauh dari kamu.” Jawaban itu membuat Eilish tersipu. “Kamu emang paling bisa membuat aku melting setiap waktu.” “By the way kapan kamu nyampe di sini dan dalam rangka apa? Apa jangan-jangan kamu sengaja datang ke sini untuk nyamperin aku aja?” tanya Evan sambil mengulum senyum. Eilish tersenyum, tapi saat dia akan menjelaskan, Evan tiba-tiba bangun dari duduknya. “Bentar ya, aku buka pintunya dulu.” Lagi-lagi Eilish terenyuh. Evan sengaja membuka pintu kamarnya karena hanya ada mereka berdua di dalam kamar itu. Sungguh sopan sekali bukan? Jika itu lelaki lain pasti ia sudah memanfaatkan situasi. Ruang tertutup, situasi aman dan bebas memang sejatinya adalah hal yang paling diinginkan oleh kebanyakan laki-laki saat bersama dengan pasangannya. “Jadi kenapa kamu datang ke sini?” Evan mengulangi pertanyaannya. Eilish tersenyum malu. “Karena aku kangen dan pengen ketemu sama kamu!” Jawaban itu membuat Evan tersipu malu. “Jadi kamu emang sengaja dateng buat menemui aku?” “Iya. Tapi selain itu aku juga punya alasan yang lain.” Evan memiringkan kepalanya menatap Eilish. “Apa itu?” “Aku akan bekerja di sini.” Deg. Anehnya raut wajah evan langsung berubah kaget. Senyum manis dengan lesung pipi itu menghilang seketika. “K-kenapa kamu terlihat tidak suka?” tanya Eilish. Evan tersadar dan kembali tersenyum. “Hahaha … b-bukannya nggak suka. Cuma aku kaget aja.” Eilish tersenyum pelan. “Akhirnya moment ini datang juga. Akhirnya kita bisa dekat dan selalu bersama.” Evan tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, tapi terlihat tidak tulus dengan senyuman itu. Tatapan matanya menyiratkan bahwa lelaki itu sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sepertinya mulai mengganggu pikirannya. “Oh iya. Kamu mau makan apa, nih! Biar aku pesan sekarang,” ucap Evan kemudian. “Apa aja, deh! Kamu tau sendiri kan … kalau aku nggak ada pantangan kalo soal makanan.” Evan tertawa. “Hahaha … dasar pemakan segala. . . . Pasangan sejoli itu pun asyik bercerita sambil melepas rindu. Eilish terlihat sangat antusias menceritakan bagaimana perjuangannya hingga bisa terbang ke Jakarta. Dia menceritakan bagaimana perselisihannya dengan sang papa, bagaimana sang mama berusaha mencegah kepergiannya, Eilish menceritakan segala yang terjadi tanpa jeda. Di sisi lain Evan hanya menyimak semua cerita itu dengan raut wajah yang tidak fokus. Bahkan dia acapkali tidak menyimak apa yang sedang dikatakan oleh Eilish. “Van … kamu kok bengong, sih!” sergah Eilish. Evan tersadar dan kembali tersenyum. “K-kamu ngomong apa tadi?” Eilish mengembuskan napas kasar. “Kamu kenapa sih? Apa kamu nggak seneng ketemu sama aku? Kita itu udah nggak ketemu hampir delapan bulan, lho, Van sejak putus dan balikan lagi!” Evan memejamkan matanya sejenak. Tatapannya kembali tertuju pada layar handphone yang sesekali menyala. “Maafin aku, Lish … tapi sebenarnya aku ada pekerjaan siang ini.” Eilish enatap bingung. “Bukannya kemarin kamu ngomong kalau hari ini libur?” Bola mata Evan berputar pelan memikirkan sebuah alasan. “Awalnya memang begitu. Tapi tiba-tiba aja pihak kantor ngasih pemberitahuan kalo aku harus datang.” Eilish menatap sendu. Dia masih ingin berlama-lama  dengan sang kekasih. Dia masih ingin mengobrol lebih lama. Dia masih ingin menatap wajah itu lebih lama. “Jadi sekarang kamu harus pergi?” tanya Eilish dengan suara lirih. Evan men-desah pelan. “Maafin aku, ya! Besok aku akan menyempatkan diri buat ngunjungin kamu ke kost-annya Aqina. Aku janji!” Eilish mengangkat jari kelingkingnya. “Kamu beneran janji, ya!” Evan mengaitkan kelingkingnya ke jari itu. “Iya sayang … aku janji! Lagian kamu kan, akan menetap di sini… kita bisa sering-sering ketemu.” “Iya. Aku mengerti.” Evan mengambil handphone-nya. “Aku akan pesan grab buat kamu.” Eilish hanya mengangguk. Sembari menunggu jemputan grap datang, Eilish kembali asyik bercerita. Evan pun kali ini mendengarkan semuanya dengan baik. Eilish benar-benar bahagia bisa bertatapan langsung dengan evan seperti saat sekarang ini. Segala kegelisahan, ketakutan dan rasa gamang yang kemarin memenuhi pikirannya terasa menguap. Eilish kini merasa aman di tempat asing berkat keberadaan pujaan hatinya itu. “Kamu kabarin aku kalau udah nyampe di kost-an ya!” ucap Evan saat Eilish akan naik ke dalam mobil. Eilish memasang wajah manyun. “Aku masih kangen sama kamu!” Evan tersenyum. “Besok aku akan nemuin kamu!” Dengan berat hati, Eilish pun masuk ke dalam mobil. Dia masih sempat-sempatnya melongokkan wajah sendu saat mobil itu mulai melaju. Evan pun melambaikan tangannya melepas kepergian Eilish. Setelah mobil itu menghilang di ujung jalan, handphone milik lelaki itu kembali berdering. Evan mengembuskan napas gusar, lalu menjawab panggilan itu. “Maaf … tadi ada temen yang tiba-tiba mampir! Sekarang kamu bisa datang. Aku tunggu ya, I love you ….” . . . Bersambung …      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD