2. Di Mana Ayahku?

1558 Words
“Luka apa itu? Perasaan tadi siang tidak ada,” ujar Adam sambil berjalan menghampiri meja Brick, yang mana orangnya masih sibuk mengurus dokumen-dokumen yang hendak diberikan ke atasan. “Bukan apa-apa, cuman goresan kuku aja.” “Masih menggaruk wajah tanpa sebab lagi?” “Hmm, ada apa?” tanya Brick yang akhirnya menoleh dan melihat Adam, yang masih santai seperti tidak ada beban sama sekali. Brick selalu salut sama Adam. Temannya seperti orang yang tidak memiliki permasalahan berat, atau orang-orang yang mememiliki banyak tekanan dalam hidupnya. Brick pikir, kebanyakan orang-orang seperti mereka telah banyak mengalami stress berat, baik tekanan dari dalam maupun tekenan dari luar. Namun, apa yang dilihat dari dalam diri Adam, tidak ada mencirikhaskan orang yang punya permasalahan banyak. Meskipun begitu, ia selalu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. “Apa pekerjaanmu sudah selesai?” “Belum,” singkat Adam. “Kamu tidak merasa mendapat tekanan? Atasan sudah meminta laporan segera dan masyarakat selalu menyalahkan kinerja kita?” “Brick, kurasa kamu harus memikirkan dirimu sendiri,” ujar Adam yang mengambil kursi lalu menaruhnya di dekat meja Brick. “ Kamu masih muda, jangan terlalu rajin dan dibawa stress. Kalau begitu terus, kamu bisa cepat mati, karena terlalu memikirkan semua tekanan itu.” Adam memutar-mutar pena di tangannya. “Bro! Dibawa santai saja. Menjadi polisi yang baik memang bagus, tapi terlalu baik kita bisa dimanfaatkan dengan orang-orang dengan mudah.” Suara ketikan keyboard masih berbunyi di dalam ruangan, yang kini, suasanya tidak seramai pagi tadi. Keadaan tidak riuh dan sesak, tetapi masih ada beberapa polisi yang masih bekerja sampai melewati batas kerja yang telah ditentukan. Itu bukan keinginan mereka untuk melakukan pekerjaan sampai kurang tidur, tetapi keadaan dan tuntutan yang terjadi, baik dalam pekerjaan maupun masyarakat yang membuat mereka harus bekerja keras. Di antara mereka. ada yang harus menyelesaikan laporan kasus yang sudah selesai, atau ada yang masih memikirkan kasus-kasus yang belum terselesaikan. “Menjadi orang rajin bukan keinginanku, tapi ini adalah kewajiban yang harus kulakukan. Ini adalah tanggungjawab. Aku tidak sama sepertimu.” “Iya, iya. Terserah apa kata polisi teladan saja.” Adam memberi hormat pada Brick sebagai bentuk antara pujian dan mengejek. “Ngomong-ngomong, apa kau sudah melacak keberadaan Papaku?” “Belum, alatnya lagi bermasalah dan sedang diperbaiki. Kita tunggu saja sampai besok.” Brick mellihat arloji coklat yang melingkar di tangan kirinya. Melihat jarum jam yang membuatnya teringat sesuatu yang hampir ia lupakan, ia pun langsung menyimpan dokumen yang sedang diketik, lalu mengkopi paste file tersebut ke dalam flashdisk. Dia akan melanjutkannya di rumah nanti. Brick bergegas berdiri, segera mengambil kunci mobil lalu berjalan menuju pintu keluar. “Kau udah mau pulang? Jangan bilang kau mendengarkan perkataanku tadi untuk tidak jadi orang rajin?” “Aku tidak sebodoh itu. Aku harus menjemput anakku. Jika terlambat, ia bisa marah padaku,” teriak Brick yang hendak membuka pintu, ia tidak menoleh ke belakang. “Lihatlah! Polisi teladan ini yang memiliki kehidupan sempurna. Istri cantik, anak baik, rumah bagus dan-“ perkataan Adam terhenti karena Brick sudah kedulu keluar dari ruangan dan menutup pintu.”Aku seperti bicara dengan udara.” Suara bising kendaraan terlalu bising masuk ke gendang telinga serta ditambah suara orang-orang yang jalan lalu-lalang. Brick meraih gagang pintu mobil yang ia beli bekas temannya yang sudah kepepet utang. Selain bisa menolong temannya, ia juga dapat keuntungan membeli mobil bekas yang masih terbilang sangat bagus dengan harga yang sangat murah. Brick bisa memaklumkan apa yang dialami temannya, tidak punya pilihan lagi untuk menjual dengan harga murah. Bagi temannya, yang terpenting, bisa mendapatkan uang secepatnya karena telah terdesak kebutuhan, dan utang-utang yang terus mengejar temannya. Setelah berada di dalam mobil dan memasang sabuk pengaman, Brick meraih ponselnya. Namun, tiba-tiba ia termenung melihat wallpaper keluarga yang ada di dasbor mobil. Matanya berbinar saat menatap wajah ayahnya yang tersenyum sambil duduk dan memangku Maxime. Retak hati dan rindu menyelimuti batin. Di mana Papa sekarang? Ke mana aku harus mencarimu lagi? Lamunan Brick buyar setelah mendengar nada dering panggilan. Layar ponsel memunculkan nama penitipan anak, tempat Brick menitip anaknya. Dia pun segera mengangkatnya dan menjawab, “halo!" “Ah iya, Pak. Ini saya Sintia dari Penitipan Anak Rumah Pintar. Maaf mengganggu, saya pengen nanya, kapan Bapak bisa menjemput anaknya? Anak bapak sudah menunggu sedari tadi. Saya berusaha mengajaknya main biar dia tidak bosan.” “Maafkan saya, pekerjaan membuat saya jadi lupa waktu.” “Tidak masalah, Pak. Apa Bapak mau ke mari?” “Iya, ini saya sedang menuju ke sana.” “Baik, kami tunggu ya, Pak.” *** Rembulan sudah terlihat dan matahari telah bersembunyi, ini menandakan waktu malam telah tiba. Waktu sebagian orang-orang kembali melepas penatnya dari tugas-tugas wajib yang harus mereka lakukan demi mendapatkan penghasilan yang dapat menghidupi perekonomian mereka. Meskipun begitu, juga ada sebagian orang yang masih bekerja sampai tengah larut malam bahkan sampai pagi. Tiap orang punya waktu mereka masing-masing sesuai bidang yang mereka geluti. Suasana jalan juga semakin ramai, dan menjadi macet akibat banyaknya orang-orang yang pulang karena habis menyelesaikan aktifitasnya. Setelah mematikan mesin mobil. Brick beranjak keluar mobil dan segera berjalan menemui anaknya yang telah menunggu. Ia sangat tidak sabar ingin melihat senyum manis putranya dan segera memeluknya. Makhluk kecil yang mengemaskan itu, sangat sulit bagi Brick untuk berpisah begitu lama. Berkat anugerah Tuhan, anak itu menjadi pelengkap kebahagiaan keluarga kecilnya. Maxime juga menjadi pengobat lelah Brick, yang seharian telah membuat tubuhnya menjadi pegal, dan kepalanya berdenyut karena terlalu berpikir keras dan menghadapi terik matahari yang begitu panas. “Maxime!” teriak Brick sambil melambaikan tangan di luar jendela. Dia melihat anaknya masih sibuk menyusun permainan puzzle besar yang sedang ditemani pengasuh wanita berkulit sawo matang. Anaknya menoleh dan mengukir senyuman yang sangat mengemaskan di wajah kecilnya. Brick yang tidak tahan ingin memeluk anaknya, yang sudah seharian tidak ditemuinya, ia segera masuk ke dalam. Brick menjumpai pengasuh Maxime untuk berterimakasih, karena telah menjaga anaknya dengan baik. Meskipun, itu sudah kewajiban si pengasuh, tetap saja, Brick ingin berterimakasih. Setidaknya pengasuh bisa memegang amanah dengan baik. Sebab, Brick yang sudah lumayan lama bekerja di dunia kepolisian, tentu ia sudah begitu banyak menemui orang-orang aneh dari berbagai profesi termasuk salah satunya adalah pengasuh atau baby sitter. Terkadang, ia pernah menemui kasus pengasuh yang tidak bisa memegang amanah dan tidak bertanggung jawab. Mereka yang terpaksa mengasuh, bisa membuat mereka termakan amarah hingga menyiksa anak asuhannya, karena kurangnya pengalaman. Ada juga yang memang dari awal sudah berniat jahat saat melamar kerja. Meskipun begitu, tidak semua pengasuh seperti itu. Ada banyak juga, yang masih berkerja memegang amanah, dan bahkan ada banyak pengasuh yang sangat penyayang sampai disayangi oleh anak asuhannya sendiri. Sejauh ini, Brick sangat bersyukur bahwa anaknya dijauhi dari semua itu. Setelah berbicara bentar dengan pengasuh anak, pria berdarah Amerika itu langsung mendekat anaknya yang masih berkonsentrasi menyusun puzzle. Ia berkata sambil membelai kepala anaknya, “Apa Papa terlalu lama menjemput, nak?” “Tidak.” “Kamu sedang apa?” “Seperti Papa lihat.” “Hmm ... mau Papa bantu?” “Tidak boleh.” Maxime langsung menggeser permainan puzzle-nya agar sedikit menjauh dari ayahnya, supaya tidak dipegang oleh Brick. Pengasuh wanita bernama Sintia mendekat ke arah Brick dan Maxime. Pakaian kaos kemeja putih yang ujungnya gerigi, serta dilengkapi rok panjang berwarna hitam yang sudah mulai kusut—karena berurusan dengan anak-anak. Dia dengan sopan bersimpuh di depan Brick sambil mengatakan bahwa Maxime memang anak yang memiliki konsentrasi yang sangat tinggi. Anak itu juga memiliki kecenderungan suka melakukan apa saja seorang diri. Bahkan dalam poin kerjasama, dalam berkelompok, itu sangat kurang. Brick yang mendengar hal itu pun setuju, karena ini bukan pertama kalinya. Guru TK-nya Maxime juga pernah mengatakan hal yang demikian. Ia tidak terkejut lagi mendengar pendapat orang-orang mengenai anaknya. Brick merasa sifat anaknya hampir mirip dengan istrinya yang juga memiliki konsentrasi tinggi. Bahkan, jika sudah menyukai sesuatu, mereka tidak ingin siapapun menganggu apa yang sedang dilakukannya. Brick pun tersenyum ke arah Sintia. “Dia anak yang baik dan penurut. Meskipun dia pendiam, tetapi dia sangat cerdas. Cara berpikirnya lebih cepat dari yang lain.” “Aku pikir, kecerdasannya didapat dari ibunya,” sahut Brick. “Ya, hampir semua anak pasti sifatnya tidak jauh dari orangtuanya.” Brick hanya tersenyum mendengar ucapan Sintia. Setidaknya, ia setuju hampir sepenuhnya. Mendengar tentang orang tua, mengingatkannya kembali kepada sang Ayah, yang sekarang, entah ada di mana. Keegoisan dan emosi yang tak terkendali membuat hati sang ayah terluka pada saat itu. Di mana Papa sekarang? Dia menjadi overthinking mengenai ayahnya. Rasa bersalah terus menghantam hatinya. Seharusnya aku tidak membentaknya saat itu. “Pak, Anda baik-baik saja?” “Oh?” Brick tampak linglung saat Sintia memanggilnya. Beberapa detik, ia sempat melamun memikirkan pria yang telah mengadopsinya di gereja Chicago, dan membesarkannya penuh dengan kasih sayang. “Yah, saya baik-baik saja.” Maxime sudah menyelesaikan permainan puzzle-nya. Ia kembali tersenyum dan memperlihatkannya ke sang Ayah. Wajahnya menaruh harapan, agar mendapatkan pujian. “Bagaimana?” “Wah, anak Papa sangat pintar. Kamu bisa menyelesaikannya!” “Tentu, aku sudah menyelesaikan semua permainan puzzle yang ada di sana.” Maxime menunjuk arah ke rak-rak buku yang dipenuhi buku-buku bergambar, susunan puzzle dan berbagai macam jenis permainan yang bisa menyenangkan dan juga meningkatkan kereativitas tiap anak. “Papa sangat bangga sama kamu. Kalau begitu, karena kamu sudah menyelesaikannya dengan baik, maka sekarang waktunya kita pulang!” Maxime pun mengangguk dan tersenyum. Begitupun Brick dan Sintia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD