1. Salahku

2090 Words
Dalam ruangan yang tidak begitu luas, tetapi juga tidak sempit, terdapat berbagai aroma bercampur di dalamnya—keringat, wewangian, asap rokok dan aroma lainnya, terbang terangkat ke udara. Hal yang membuat ruangan itu semakin sumpek, karena aroma keringat itu, tidak hanya berasal dari satu atau dua orang saja, tetapi juga berasal dari belasan orang yang ada di dalamnya, sibuk dengan urusannya masing-masing. Belasan orang yang memiliki tugas dan tujuan yang berbeda. Ada seorang ibu menenteng tas coklat besarnya, yang entah apa isinya, selain dompet dan perangkat telepon, ia menunggu anaknya yang bermasalah karena melakukan keributan di rumah tetangga. Ada juga dua saudara yang sedang bernegosiasi dan saling melaporkan mengenai perebutan tanah milik orangtuanya, yang baru saja meninggal seminggu yang lalu. Ada juga mahasiswi yang datang melaporkan dompetnya yang hilang. Masih banyak lagi keluhan para manusia ada di dalam tersebut. Selain ada orang-orang yang datang melaporkan masalah mereka, ada juga orang-orang yang mondar-mandir mengurus dan melayani orang-orang yang melapor, yaitu polisi. Keringat polisi yang tidak kalah jauh banjir dari yang lain, ikut tercium menusuk hidung. Pergerakan makin banyak, aroma keringat semakin kuat terangkat ke udara yang sangat berapi. Meskipun berbagai aroma-aroma bercampur menjadi kurang sedap untuk dihirup di ruangan sempit, itu tidak mempengaruhi konsentrasi seorang pria keturunan asing, yang sedang fokus mengetik laporannya mengenai kasus pembunuhan yang terjadi tiga bulan yang lalu. Kasus yang lumayan rumit, akhirnya selesai terpecahkan. Sekarang, ia harus menyelesaikan sisa-sisanya, lalu lanjut memecahkan kasus-kasus lain yang tidak pernah berakhir. Pembunuhan yang tidak pernah berakhir di dunia ini. "Brick, laporannya sudah selesai?" tanya Adam menghampiri Brick yang jarinya masih menari sesuai irama ketikan keyboard-nya. "Hampir selesai." "Yang cepat, ya! Pak Tomo sudah minta, tuh." Adam menepuk dan memijit pundak kanan Brick. "Hmm," gumam Brick. "Adam, apa kamu pikir kasus ini sudah selesai?" "Maksudnya?" "Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam teka-teki ini. Seakan semuanya belum menyatu," ujar Brick yang akhirnya menghentikan jarinya setelah mengetik selama satu jam. Kemudian, ia mengambil beberapa berkas mengenai kasus model cantik yang dibunuh di sebuah apartemennya. Ia menekan jari tunjuknya ke tulisan pernyataan dari hasil forensik. Memberi kode pada Adam untuk fokus ke pernyataan tersebut. "Tidak ada tanda pemerkosaan atau paksaan." Adam membaca line yang ditunjuk Brick. "Lah, terus? Letak anehnya ada di mana? Kan sudah ada keterangan dari pihak pelaku kalau dirinya adalah pacar dari si model cantik itu, si pelaku sakit hati karena diselingkuhi. Karena itulah, ia membunuh si pacar dengan menjebak menggunakan minuman yang telah diracun menggunakan sianida." "Lalu kenapa dia tidak memerkosa pacarnya?" "Yah, nggak semua pria jahat di dunia ini ingin melakukan hal itu, apalagi detik-detik sebelum membunuhnya. Nggak usah memperumit pekerjaan!" "Aku tahu, tapi pria ini punya riwayat di penjara dua kali karena telah memerkosa teman ceweknya. Bukankah itu aneh?" "Menurutku tidak juga. Kalau si cowok sudah terlanjur sakit hati, mungkin tidak ada lagi nafsu ingin meniduri si perempuan.Yang ada, hanya nafsu ingin mengakhiri hidup si cewek." "Tapi... " ucapan Brick terpotong saat Ade datang sambil berdehem. "Brick, istrimu datang, tuh." "Wuu... kakak ipar cantik datang. So sweet kali, didatangi bidadari cantiknya. " Adam melayangkan kepalan tangannya pelan ke dada Brick sambil pasang muka mengejek. "Makanya, cari istri cepat sana. Jangan jomblo aja dipertahankan." "Kampret! Malah bahas-bahas kejombloan pula." "Emang iya, kan. Biar gak makan hati mulu, lihat keuwuan orang." "Ampun suhu!" Adam memberi hormat dengan tubuh yang tegap. Adam lebih tinggi 7 sentimeter dari Brick yang tingginya 175 sentimeter. Reaksi Adam mengundang tawa orang yang sedang memperhatikan percakapan mereka. Adam memang terkenal memiliki humor yang dapat mengundang tawa. Selain lucu, ia juga sangat jahil. Meskipun sifatnya terlihat kekanak-kanakan, tapi dia juga punya sisi yang dewasa dalam pemikiran. Brick pergi menemui istrinya yang sedang menunggu di ruang tunggu. Ia melihat istrinya yang cantik dengan kulit putih kemerahan dan senyum yang sangat manis. Brick memeluk dan mencium pipi kanan istrinya. Pipi lembut dan kenyal itu, rasa hati Brick ingin mencium lebih dalam. Hanya saja, mengingat dia berada di tempat umum, apalagi tempat kerja, ia harus menahannya. "Sayang! Kok, kamu ada di sini? Ada masalah?" "Oh, nggak! Kamu nggak usah khawatir, tidak ada masalah yang perlu dikhawatirkan," ujar Vitalia sambil mengusap pipi kiri suaminya. "Aku hanya datang untuk minta izin ke Bali hari ini buat bertemu klien aku." "Oh, gitu." Brick menyuruh istrinya duduk. Setelah duduk berdua di kursi kayu yang panjang berwarna coklat pekat, Brick bertanya tentang berapa hari Vitalia berada di Bali. "Tiga hari." "Selama itu?" tanya Brick dengan wajah pura-pura sedih. "Duh, sayang. Kamu tidak malu apa? Bersikap manja seperti itu di tempat kerja. Jaga wibawanya, dong! Kamu nih polisi." "Bagaimana mungkin aku bisa menahan diri, dengan istriku yang paling cantik ini. Emangnya polisi nggak boleh bersikap manja pada istrinya sendiri? Huh? " Brick mengusap kepala Vitalia dan menatapnya penuh cinta. Vitalia hanya menghela napas melihat tingkah laku suaminya. Dia tidak habis pikir, meskipun pernikahan mereka sudah berjalan kurang lebih delapan tahun, tapi ia tidak habis pikir, sikap Brick masih sama saja saat masa mereka pacaran. Brick pun memegang tangan Vitalia. "Jangan lama-lama, kamu tahu, aku tidak begitu pintar merawat Maxime." Vitalia tidak merespon permintaan Brick. Ia pun menatap sebentar suaminya yang manja dan menghela napas kasar. "Sayang, apakah kamu sudah menghubungi Papa?" Ekspresi Brick dari senyum merekah seperti bunga, tiba-tiba berubah layu menjadi kusam dan terlihat sangat sedih. Rasa bersalah langsung menghantam dirinya. Bersalah karena telah membentak ayahnya begitu keras. Tidak seharusnya ia melakukan itu. Pria itu sudah sangat tua. Seperti orang-orang bilang, semakin umur seseorang bertambah, seseorang itu akan semakin sensitif. Apalagi umur ayahnya sudah masuk tujuh puluh tahun bulan depan. Umur itu udah masuk umur lansia, yang mana secara ilmiah, kepribadian mereka akan kembali seperti anak kecil yang rentan berkecil hati dan mudah tersinggung. Apalagi ayahnya dibentak sama anak kesayangan dan satu-satunya, itu pasti menyakitinya. Siapapun orangtua yang ada di dunia, akan sedih jika diperlakukan seperti itu. Hati mereka akan terluka. Brick menghela napas dan mengusap wajahnya. "Aku sudah menghubungi semua orang kenalan Papa, tapi tidak satupun yang tahu keberadaannya. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, ini salahku." Vitalia mengelus punggung suaminya. Suaranya yang lembut dan halus itu berujar, "kamu tidak perlu khawatir. Aku yakin, Papa kamu akan baik-baik saja. Mungkin, dia butuh waktu untuk menenangkan dirinya. Siapa tahu, kalau dia udah tenang, dia pasti bakal kembali lagi ke rumah." "Aku berharapnya begitu. Nanti, aku akan coba lagi, minta tolong pada Adam untuk melacak keberadaan Papa. Semoga saja nomornya aktif kembali, biar kita bisa melacaknya." "Kita berdoa, semoga Papa baik-baik saja, dan segera pulang," kata Vitalia sambil mengelus rambut pirang suaminya dan mengecup keningnya. Hal sekecil itu mampu membuat Brick menjadi sangat tenang. Setidaknya, ia merasa paling beruntung memiliki istri yang paling cantik, lembut dan sangat mengerti dirinya. Tidak heran, dia selalu membanggakan istrinya di depan teman-temannya. "Oh, ya! Sekarang sudah pukul dua belas siang. Aku harus segera berangkat. Dan juga, aku sekalian membawa bekal makan siang buat kamu. Kebiasaan deh, lupa bawa bekal makanannya. Padahal aku rela bangun pagi sekali untuk nyiapin bekal buat kamu.Tapi, malah dilupain, atau kamu sengaja melupakannya, agar aku datang ke kantor membawa bekal untuk kamu." Brick cengengesan mendengar gurauan istrinya dan ia pun membalas,"Sebenarnya lupa dengan sengaja, biar aku bisa melihat istriku di siang hari dan jadi semangat bekerja." "Dasar! Mulutnya manis sekali." Vita menyentuh bibir tipis Brick. Mereka pun tertawa berdua tanpa disadari sedang diperhatikan oleh beberapa orang. Ada yang merasa senang melihat keromantisan di siang hari, ada juga yang merasa iri dan tidak senang. Yah, berbagai orang punya cara mereka masing-masing untuk merespon akan hal sesuatu. Vitalia berdiri yang diikuti Brick. Kemudian, pamit mau pergi, karena ia harus siap-siap berangkat ke bandara sebelum jam dua. Brick pun mengiyakannya. Tidak lupa memberikan pelukan dan ciuman pipi kiri-kanan, sebelum benar-benar berangkat. Saat hendak pergi, Vitalia bilang untuk jangan lupa menjemput anaknya di penitipan anak. Dia juga bilang, kalau besok ada festival anak di sekolahnya. Vita pun menyuruh Brick untuk hadir. Kalau tidak, anaknya akan sedih. "Kenapa mendadak? Kan tahu sendiri, aku sibuk mengurus pekerjaan di kepolisian. Apalagi besok?" "Ayolah, sayang. Minta cuti setengah hari saja, kok gak bisa untuk anak sendiri? Aku baru dikasih tahu dua hari yang lalu sama gurunya, kalau ada festival hari ini, dan para orangtua diwajibkan untuk hadir. Sementara, pertemuan aku sama klien aku sudah jauh-jauh hari. Yang mana, aku tidak mungkin untuk cancel." "Yasudah, kalau begitu." Brick hanya bisa pasrah kalau sudah melihat istrinya memelas seperti itu. Dia tidak tega buat istrinya jadi sedih. Bagaimanapun, Maxime juga anaknya. Dia juga punya tanggungjawab untuk mengurusnya. Setelah mengantar Vitalia sampai parkir dan melihat istrinya pergi sampai butut mobil tak terlihat lagi. Brick pun kembali masuk ke dalam kantor. Sudah berada di dalam, Brick melihat dua orang yang sedang berseteru. Memang ini bukanlah pemandangan yang baru baginya. Mungkin, hampir tiap hari ada saja keributan-keributan yang terjadi. Terkadang, masalah sepele juga dibawa ke kantor polisi. Brick tidak mengerti sama pekerjaannya, apakah tugas polisi juga termasuk mengurus permasalahan kecil orang juga? Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala, melihat keributan yang terjadi. Brick pun kembali duduk di seberang meja, yang mana ada dua orang yang masih bertengkar meskipun sudah berada di depan polisi. Satu sama lain tidak ada satupun yang mengalah. Mereka merasa benar, menurut pendapat mereka masing-masing. Brick pun bertanya kepada Adam yang kebetulan lewat di samping kanannya. "Masalah apa lagi tu?" "Penipuan jenis kelamin." "Mengenai apa?" "Mereka berdua pacaran, yang kenalannya lewat facepen. Si cowok melapor bahwa dirinya telah ditipu sama pacarnya. Menipu tentang status jenis kelamin, yang dikira 'cewek' ternyata cowok juga. Padahal hubungannya sudah hampir setahun berjalan, akhirnya baru ketahuan identitas pacarnya," jelas Adam sambil mengangkat dua jarinya untuk menekankan kata cewek. "Selama setahun itu mereka tidak pernah ketemu sama sekali?" "Pernah, sudah sering ketemuannya malah. Bahkan—" ucapan Adam terpotong, dan mendekatkan bibirnya ke telinga Brick, lalu lanjut berbisik, "mereka juga pernah berhubungan badan, layak suami-istri." Mendengar ucapan tersebut membuat jantung Brick berdetak sangat kencang. Dadanya terasa sesak. "Ah, itu sangat plot-twist." "Inilah alasannya, aku gak mau berkenalan dengan cewek lewat sosmed. Iya, kalau beruntung dapat cewek secantik istrimu. Lah, kalau zonk kayak kasus di depan ini? Duh, amit-amit jangan sampai. Yang normal-normal sajalah." Brick tidak merespon ujaran Adam. Dia hanya tersenyum. Tersenyum terpaksa lebih tepatnya. "Apa pendapatmu mengenai pasangan sesama jenis?" "Jujur saja, aku tidak menyukai adanya kehadiran mereka. Entahlah, mungkin karena dari kecil aku sudah diajarkan bahwa hubungan sesama jenis itu tidak diperbolehkan. Jadi ... yah ... ajaran itu sudah terpatri di kepalaku, hingga aku belum bisa terbuka untuk menerimanya. Namun, kita juga tidak bisa memungkiri kehadiran mereka. Di sisi lain aku kasihan, tapi di sisi lain aku juga merasa geli liatnya. Amit-amit aku punya keluarga seperti itu, jangan sampai adik atau siapapun orang terdekatku seperti itu. Bulu kudukku jadi merinding jadinya. "Wah, aku jadi tidak bisa membayangkan bagaimana caranya mereka berdua berhubungan badan? Pedang sama pedang? Lebih parahnya, si cowok masa nggak tahu kalau lawannya bukan perempuan. Aku nggak bisa membayangkannya gimana, " ujar Adam yang panjang lebar hingga tidak menyadari Brick tidak merespon sama sekali. Dia melihat ke kiri. "Eh, Bule pirang! Malah diam?" "Dam, aku mau ke toilet dulu." Suara Brick sangat gemetar dan dia keringat dingin. Adam tidak mengerti apa yang terjadi pada Brick karena ia tidak akan pernah mengerti. Kloset putih diduduki oleh Brick. Dia menundukkan kepala sambil menopang dua sikunya di dua siku kakinya. Kepala Brick seakan dihantam sangat kuat hingga mendengar dengungan di telinganya. Bahkan suara orang baru selesai menggunakan kloset di sebelah, terdengar samar di telinga, karena dengungan itu lebih nyaring dan kuat. "Dasar menjijikan! Pergi sana! " teriak anak-anak kecil itu sangat nyaring dan memenuhi kepala Brick. "A-aku tidak seperti apa yang kalian pikirkan," isak Brick sewaktu kecil. "Jangan pukul aku! Aku mohon." Anak-anak itu tetap memukul Brick. Ada yang melempar kontak pensil hingga sepatu. Meskipun Brick kecil sudah menangis dan memohon pada mereka agar berhenti, tapi anak-anak itu malah tertawa, dan terus melontarkan kata-kata yang menyakitkan hatinya. "Aku mohon! Ini bukan salahku! Aku tidak mengerti, kenapa kalian seperti ini padaku." Brick terus menangis sampai cegukan. Tubuhnya menjadi remuk karena dilempar benda-benda dari yang tidak berat sampai berat. Dia hanya menangis dan memohon untuk berhenti menyiksanya. Kembali ke masa sekarang. Tanpa disadarinya, ia terus mengucapkan 'Aku mohon berhenti' sambil mengaruk wajah dan badannya. Padahal, tubuhnya tidak gatal sama sekali. Ini adalah kebiasaan buruk Brick setiap ia panik, dan mengingat masa kecil yang sangat menghancurkan hatinya. Kebiasaan waktu kecil yang terbawa sampai dewasa. Brick terus menangis sambil menggigit beberapa tisu untuk menyumbat mulutnya, agar suaranya tidak terdengar sampai ke luar toilet. Dia tidak ingin orang lain mendengar suara tangisnya. Dia tidak ingin orang lain mengetahui masa lalunya yang menyakitkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD