Bab 05

700 Words
Pagi itu, rumah masih sunyi. Diana sudah berangkat ke kantor lebih awal, meninggalkan rumah hanya dengan dua penghuninya: Mark dan Giana. Gadis itu turun dari kamar dengan wajah masih setengah ngantuk, rambut terikat seadanya, mengenakan kaos oversized dan celana pendek. Ia berencana sarapan cepat sebelum berangkat kuliah. Namun langkahnya terhenti mendadak. Di ruang tamu, Mark berdiri santai sambil meneguk segelas air dingin. Tubuhnya hanya terbalut celana training abu-abu, tanpa kaos. Otot-otot perutnya terlihat jelas, kotak-kotak sempurna yang selama ini hanya bisa dilihat Giana di iklan-iklan olahraga. Keringat tipis masih menempel di kulitnya karena ia baru saja selesai push-up di balkon. Mata Giana refleks membesar, jantungnya berdegup tak beraturan. Ia bahkan tanpa sadar menelan saliva, lalu buru-buru membuang pandangan ke arah lain. Mark menangkap reaksi kecil itu. Senyum dingin langsung mengembang di wajahnya. Ia berjalan perlahan mendekat, membawa aura percaya diri yang membuat suasana menjadi pengap. “Pagi, cantik,” suaranya rendah, berat, dan penuh godaan yang disengaja. Giana buru-buru menegakkan tubuhnya, mencoba mengalihkan perhatian dengan membuka kulkas. Namun wajahnya masih terasa panas. Ia menggertakkan gigi, lalu berbalik dengan tatapan tajam. “Pakai bajumu, dasar gila! Kau pikir rumah ini gym? Aku tidak mau melihat hal menjijikkan seperti itu!” seru Giana, nada suaranya tinggi, tapi sebenarnya lebih untuk menutupi rasa gugup yang tiba-tiba menyerang karena matanya ingin sekali melihat perut kotak-kotak tersebut. Mark terkekeh pelan. Ia menyandarkan tubuh ke meja dapur, sengaja semakin memperlihatkan otot dadanya. “Menjijikkan? Atau sebenarnya kau hanya berusaha menutupi rasa kagummu?” Giana mendengus keras, darahnya mendidih. “Dasar narsis! Jangan sok tahu! Aku tidak akan pernah kagum pada orang seperti kau!” Mark mengangkat alis, menatapnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Senyuman miringnya semakin jelas. “Hmm… jadi tadi aku salah lihat, ya? Bukankah dirimu yang menelan ludah ketika melihatku? Kau bahkan sempat memandang cukup lama. Apa itu bukan tanda kalau sebenarnya kau tergoda?” Ucapan itu membuat wajah Giana memanas, tapi bukan karena malu—melainkan karena marah luar biasa. “Aku ingin muntah mendengar omonganmu! Jangan pernah bermimpi aku akan tergoda padamu! Tidak sudi! Mengerti?” Mark menegakkan tubuhnya, mendekat perlahan hingga jarak mereka hanya beberapa langkah. Tatapannya dalam, suara rendahnya bergetar di udara. “Kalau kau benar-benar tidak tergoda, kenapa kau harus bereaksi sebesar ini? Kenapa kau harus teriak? Hm?” Giana mundur selangkah, namun sorot matanya tetap berani. “Karena aku muak denganmu! Kau hanya tamu di rumah ini, jangan bertingkah seenaknya!” Mark menyeringai, senyum dingin yang selalu berhasil membuat gadis itu semakin benci. “Kalau begitu, jangan terlalu memperhatikanku. Aku memang seperti ini, bebas. Kalau kau tidak tahan, tutup saja matamu. Atau… kau mau aku yang menutupinya untukmu? Atau … kau bisa memelukku untuk menutupi tubuh indahku ini.” Giana hampir saja menamparnya, tapi ia menahan tangannya. Ia tahu, melawan hanya akan membuat Mark semakin puas. Dengan napas terengah, ia melangkah cepat ke arah pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sebentar dengan tatapan menusuk. “Jangan pernah berpikir kau bisa menyentuhku. Tidak sekarang, tidak besok, tidak selamanya.” Pintu dibanting keras, meninggalkan Mark berdiri sendirian. Namun alih-alih marah, lelaki itu justru tertawa kecil, suara rendahnya bergema di ruang tamu. “Tidak selamanya, ya?” gumamnya, seakan mengulang ucapan Giana. “Kita lihat nanti.” Ia mengambil rokok dari saku celana, menyalakannya, lalu duduk santai di sofa. Senyum dingin itu masih menghiasi wajahnya. Bagi Mark, penolakan keras Giana hanya membuatnya semakin tertantang. Gadis itu boleh saja berteriak tidak sudi, boleh saja marah-marah, tapi ia yakin cepat atau lambat… semuanya akan berbeda. Di luar rumah, Giana berjalan cepat menuju mobilnya, wajahnya masih merah karena emosi. Ia menggenggam setir dengan kuat, berusaha menenangkan diri. “Aku harus tahan. Aku tidak boleh kalah. Dia hanya lelaki tua yang menyebalkan. Aku tidak akan membiarkan dia mengacaukan hidupku.” Namun jauh di dalam hatinya, ada getaran aneh yang tak bisa ia hilangkan. Getaran yang membuatnya semakin benci, karena justru itulah yang ditangkap dengan jelas oleh Mark. Dan sejak hari itu, rumah itu semakin dipenuhi permainan psikologis antara mereka—Mark dengan tatapan dan sikapnya yang penuh provokasi, dan Giana dengan kemarahan serta penolakannya yang keras kepala. Permainan berbahaya yang semakin hari semakin menegangkan. Dan Mark begitu menginginkan Giana dibawahnya. Ouhhhh… milik Mark menjadi tegang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD