Chapter 1

1451 Words
Selamat membaca Riana mencubit pipinya untuk yang kesekian kalinya. "Sakit," gumamnya pelan. "Jadi, ini memang nyata," ucapnya seakan masih tidak percaya dengan semua ini. Riana melentangkan kedua tangannya lemas di atas kasur, lalu tatapannya menerawang ke arah langit-langit kamar. Sekarang statusnya bukan lagi seorang wanita lajang. Padahal sebenarnya ia masih ingin menikmati masa-masa bebasnya dan belum mempunyai keinginan untuk menikah dalam waktu dekat ini. Namun karena kedua orang tuanya terus mendesaknya agar segera menikah, ditambah lagi ia juga mendapatkan tekanan dari berbagai pihak yang tidak ada habisnya terus menyuruhnya untuk menikah karena usianya yang sudah 26 tahun. Karena sudah sangat setress, jadi akhirnya ia memilih untuk menyerah dan mengikuti kemauan kedua orang tuanya untuk dijodohkan dengan putra sahabat mereka yang lebih tua tiga tahun darinya. Tapi alasan utama yang membuat ia mau menerima perjodohan ini adalah karena ia pikir calon suaminya benar-benar pria idaman seperti yang dikatakan oleh kedua orang tuanya. Karena mereka mengatakan Jika pria yang akan menikah dengannya adalah seorang pria yang memiliki sifat dewasa dan hangat, sekaligus pria yang ramah dan sopan kepada orang tua. Dan jangan lupakan wajah tampan berkharisma yang tidak henti-hentinya mereka ucapkan ketika sedang membujuknya dengan semangat 45. Sempurna ... setidaknya itulah kata yang ia pikirkan sebelum bertemu dengan calon suaminya yang ternyata adalah Alfa Erlangga. Seorang pria kaku dan tidak menyenangkan, sekaligus seorang guru olahraga yang mengajar di SMA yang sama dengannya. Riana mengembuskan napas berat. Ia tidak bisa membayangkan jika harus menghabiskan seluruh hidupnya dengan pria yang membosankan seperti itu. Saat Riana masih bergulat dengan pikirannya, tiba-tiba pintu kamar dibuka oleh seseorang. Ia menoleh ke arah pintu dan mendapati Alfa sedang berjalan masuk ke dalam kamar sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Kemudian Alfa mengambil remote tv dan berjalan mendekat ke arah ranjang. Sontak saja Riana terbangun dari tempat tidur saat melihat Alfa yang dengan santai duduk di sebelahnya sambil menekan tombol remote untuk menyalakan tv. "Jangan bilang, Pak Alfa mau tidur di sini," tukas Riana panik. "Dua kamar yang lain dikunci sama mama. Kalau Bu Riana nggak mau tidur seranjang sama saya, silahkan tidur di sofa," ungkapnya enteng tanpa melihat ke arah Riana. Riana memasang wajah kesal. Inikah pria hangat yang terus dibangga-banggakan oleh kedua orang tuanya itu? Huh! Benar-benar sangat jauh seperti apa yang ia bayangkan. Baru juga sehari menikah, sifat aslinya langsung keluar. "Tenang aja, saya nggak akan menyentuh Bu Riana. Hanya sebatas ingin tidur," ucap Alfa seakan mengerti apa yang Riana cemaskan. Meskipun Alfa terlihat kaku di mata orang lain, tapi sebenarnya ia memiliki perasaan peka yang tinggi. Itulah kenapa orang-orang yang sudah lama mengenal Alfa seringkali mengatakan jika Alfa adalah pria yang hangat dan super pengertian. Tapi tentu saja, Riana tidak mempercayai tentang hal itu. Riana menatap ke arah Alfa dengan tatapan serius. "Terus kedepannya kita harus gimana? Apa saya juga harus menyiapkan segala keperluan Pak Alfa seperti layaknya seorang istri?" Alfa menoleh ke arah Riana. "Kalau Bu Riana nggak berkenan, saya juga nggak akan memaksa. Dan untuk masalah pekerjaan rumah, Ibu nggak perlu khawatir. Karena kita bisa pakai jasa cleaning service." "Walaupun sekarang status Bu Riana udah menjadi istri saya, tapi saya nggak akan membatasi aktifitas ataupun melarang kemana pun Bu Riana akan pergi. Silahkan lakukan apa pun yang Ibu mau selama itu masih di dalam batas wajar." Riana tertegun seakan masih tidak percaya dengan apa yang baru saja Alfa ucapkan. Tunggu dulu... Kenapa kisahnya ini tidak sama seperti di novel-novel romansa yang selama ini ia baca? Kemana perginya pria posesif yang arogan itu? Kenapa ia dibiarkan dan dibebaskan begitu saja? Apa Alfa tidak ingin mengurungnya di rumah ataupun mengekangnya? Ah! Lupakan saja, pria yang seperti itu hanya ada di dalam novel, kenyatannya tidak sama seperti yang dipikirkan. "Jadi saya nggak perlu melayani Pak Alfa, kan?" tanya Riana terang-terangan tanpa basa-basi. "Melayani dalam hal apa?" "Seks," sahut Riana santai. Alfa tertegun. Kenapa Riana bisa sesantai itu membicarakan sesuatu hal dewasa dengan seorang pria. Meskipun ia sudah menjadi suaminya, tapi ini tetap terlalu vulgar baginya. Mengingat ia dan Riana tidak pernah dekat sebelumnya. "Saya bukan laki-laki yang hanya memikirkan tentang hal itu," sahutnya dengan raut wajah serius. "Walaupun saya tidur dengan berpakaian sexy di samping, Pak Alfa?" "Bu Riana sedang menggoda saya?" "Hanya memastikan," sahutnya singkat. Alfa terdiam sejenak. "Ini bukan sekedar nasehat, tapi peringatan untuk, Bu Riana. Jangan pernah sekali pun mencoba menguji iman seorang laki-laki. Karena kita nggak akan pernah tau apa yang akan terjadi selanjutnya," pungkasnya tegas dan beranjak dari ranjang menuju pintu. "Loh? Pak Alfa mau kemana?" tanya Riana basa-basi. "Tidur di sofa," sahutnya singkat tanpa menoleh ke belakang. Riana memekik kegirangan ketika rencana dadakan untuk mengusir Alfa berhasil. Ia menghela napas lega. Akhirnya malam ini ia bisa tidur dengan tenang tanpa ada orang asing di sebelahnya. ***** Jam menunjukkan pukul 01.37. Riana membuka mata ketika mendengar suara ketukan di jendela kamar. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk mempertajam penglihatannya yang masih sayup-sayup. Saat penglihatannya sudah terlihat jelas, Riana berteriak histeris dan segera berlari keluar dari kamar ketika melihat seorang wanita berpakaian putih dan berambut panjang sedang melambai-lambaikan tangan ke arahnya dibalik tirai jendela yang tidak tertutup rapat. "Aaaaaaaa!!!!!! Pak Alfa!!!" teriaknya ketakutan dan berlari ke arah sofa untuk mencari Alfa. Tapi karena saat itu gelap gulita, dan Riana juga belum tau dimana saklar lampu di ruangan itu. Jadi akhirnya Riana hanya terus berteriak memanggil nama Alfa sambil menangis ketakutan seperti anak kecil. "Pak Alfa!!" "Bapak dimana?!" "Saya takut ...." Hiks Hiks Hiks Dan saat itu juga lampu tiba-tiba menyala. Riana berhenti menangis dan menoleh ke arah seseorang yang sedang berdiri di dekat saklar lampu dengan raut wajah kesal. "Pak Alfa!" teriak Riana ceria sambil berlari ke arah Alfa. Kemudian ia memukul-mukul lengan Alfa kesal karena baru saja muncul. Padahal ia sudah hampir mati ketakutan. "Bu Riana, stop! Kenapa mukul saya? Harusnya saya yang marah." "Ada kuntilanak di kamar," ungkap Riana ketakutan. "Jangan ngawur!" "Kalau nggak percaya Bapak lihat aja sendiri." Alfa mengembuskan napas berat. Kemudian ia berjalan ke arah kamar, diikuti oleh Riana yang bersembunyi di belakangnya sambil menggandeng erat lengannya. "Kalau Bu Riana terus seperti ini, saya nggak bisa jalan," ucap Alfa kesal sambil berusaha melepaskan lengannya dari genggaman Riana. "Ihhhh, takut," rengek Riana tidak mau melepaskan lengan Alfa. Alfa memasang wajah geregetan dan melotot tajam ke arah Riana. Ekspresi yang belum pernah Riana lihat sebelumnya. Akhirnya dengan perasaan dongkol, Alfa berjalan masuk kedalam kamar dan melihat sekelilingnya. "Mana kuntilanaknya?" tanya Alfa dengan raut wajah menantang. Riana menunjuk ke arah tirai jendela yang sedikit terbuka. Saat Alfa berjalan ke arah jendela, Riana baru melepaskan lengannya. Alfa membuka lebar tirai jendela dan melihat ke arah luar. Kemudian ia menutup kembali dengan rapat. "Nggak ada apa-apa. Tirainya udah saya tutup rapat, jadi Bu Riana bisa tidur lagi sekarang," ucapnya sambil berjalan keluar. Tapi sebelum sampai di depan pintu, tiba-tiba tangannya ditahan oleh Riana. Riana hanya diam sambil memasang wajah memelas ke arah Alfa. Alfa terdiam sejenak. Lalu ia melepaskan tangan Riana dan berjalan kembali ke arah pintu. Klap "Ayo tidur," ucapnya setelah menutup pintu kamar. "Nanti kalau saya tidur, Pak Alfa jangan diam-diam pindah." "Saya nggak ada waktu untuk main-main," pungkasnya datar sambil menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Riana mendekat ke arah Alfa. "Pak Alfa geser, saya nggak mau tidur di dekat jendela." "Dasar penakut," cibir Alfa tanpa dosa. "Bodo amat!" Kemudian Riana menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya dan tidur membelakangi Alfa. Sedangkan di luar sana, Ridwan dan Nirma keluar dari persembunyiannya dan segera menuju ke arah mobil yang terparkir agak jauh dari rumah Alfa. "Huh! Akhirnya," ucap Nirma lega sambil menyenderkan tubuhnya lelah setelah masuk ke dalam mobil. Kemudian ia melepas rambut palsu yang ia gunakan untuk menakuti menantunya agar tidak berani tidur sendiri. "Kurang kerjaan banget kita, Ma. Dari tadi ngawasin mereka sampai jam segini," ucap Ridwan tidak habis pikir. "Pengorbanan biar cepat dapet cucu, Pa," sahut Nirma enteng. "Kalau nggak begini, nggak ada kemajuan dari mereka berdua. Apalagi anak kita itu kan nggak gercep. Udah tau ada kesempatan, bukannya langsung disikat malah milih tidur di sofa. "Untung kamar-kamar lain udah Mama kunci, jadi mereka nggak bisa tuh tidur terpisah lagi." "Terus apa itu tadi? Bapak, ibu? mereka itu sebenarnya suami istri apa kolega kerja, sih?" "Mungkin mereka masih kikuk, Ma. Lama-kelamaan juga terbiasa manggil nama masing-masing." "Udahlah, besok-besok kita nggak usah kayak begini lagi. Mereka berdua udah sama-sama dewasa, kita juga harus hargain privasi mereka." "Ihhhhh," pekik Nirma tidak suka sambil menatap sewot ke arah suaminya. "Papa ini memang nggak bisa diajak kerjasama," cetus Nirma dengan nada ketus, lalu membuang wajahnya ke arah kaca jendela mobil. "Bapak, anak, sama aja," cibirnya kesal. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD