"Fira, aku harap setelah ini, kamu bisa mengikhlaskan hubunganku dengan Mas Ditya."
Tadinya, Fira sedang membeli minuman di sebuah mesin otomatis setelah mendapatkan akta cerai. Tiba-tiba, Hana sudah berdiri di belakangnya. Fira mengira jika kekasih mantan suaminya itu juga ingin membeli minuman, tapi ternyata wanita itu sengaja ingin mengajaknya berbicara.
"Kamu tahu sendiri kalau kami sebenarnya saling mencintai, tapi karena sesuatu, kami berpisah. Aku harus mengejar mimpiku menjadi model. Mas Ditya sangat bersedih. Itu sebabnya, dia menyempatkan diri untuk mengikuti kegiatan CSR di desamu. Bukannya Mas Ditya ingin mempermainkan kamu, tapi...."
Fira memutar matanya, lalu menutupnya dengan rapat seolah wanita dengan tinggi di atas rata-rata yang sedang berbicara di depannya ini hanya mengeluarkan omong kosong belaka.
Lihatlah dia! Sudah tahu jika dirinya merusak rumah tangga seseorang, tapi gayanya seolah dia bukanlah pembuat masalah. Sungguh memuakkan!
"Apa sudah selesai?" potong Fira dengan cepat. Telinganya mulai jengah mendengarkan suara Hana. "Katakan saja apa maksudmu! Kita tidak begitu dekat untuk bisa mengobrol santai seperti ini."
Fira menatap Hana. Tatapan matanya lurus dan datar seolah ingin menguliti kekasih Aditya itu untuk mencari tahu apa yang ada dalam rencana busuknya.
"Fira, aku tidak bermaksud buruk. Aku berterima kasih kamu bisa mengerti hubungan kami. Aku hanya tidak ingin kita memiliki hubungan buruk. Bagaimanapun juga, kamu adalah mantan istri Mas Ditya. Untungnya selama menikah, kamu tidak pernah hamil. Aku sempat khawatir prosesnya akan lama dan berbelit-belit jika ada seorang anak di antara kalian."
Tangan Fira sontak mengepal. "Aku tidak mandul!"
Ya, bagaimana dirinya bisa hamil jika Ditya selalu memakai pengaman setiap kali mereka berhubungan?
"Fira, aku tidak bermaksud begitu. Jangan salah paham!" Hana mendekat dengan raut ketakutan. Dia memegang tangan Fira untuk meminta maaf. Namun, hati Fira yang sudah terlanjur sakit menepisnya.
Hana terkejut. Tubuhnya oleng, menabrak mesin otomatis penjual minuman, lalu terjatuh.
"Hana!!" Teriakan Aditya sangat kencang hingga membuat semua mata menoleh.
Pria yang pernah merajai hati Fira itu berlari mendekat dengan wajah penuh kecemasan. "Hana, apa kamu baik-baik saja?"
Beberapa orang mendekat untuk mencari tahu. Menyadari hal itu, Hana berusaha untuk berdiri. Ditya, dengan sigap, segera membantunya.
"Aku tidak apa-apa, Mas. Fira tidak sengaja melakukannya. Mungkin karena kalian baru saja bercerai, jadi masih syok." Hana mencoba tersenyum di antara rasa sakit yang dia rasakan.
Melihat kekasihnya kesakitan, Aditya merasa emosinya naik. Dengan mata menyalang, dia berseru pada Fira, "Apa yang kamu lakukan?"
Wajah terkejut Fira masih terlihat jelas. "Aku,,, aku...."
Wanita itu tidak bisa mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya. Dia bingung, syok, dan tidak mengerti kenapa Hana bisa jatuh hanya dengan satu sentakan kecil?
"Aku tidak menyangka jika kamu ternyata berwatak kasar dan jahat. Beruntung aku sudah menceraikan mu. Aku semakin yakin kalau kamu tidak pantas berdiri di sampingku. Posisi nyonya muda Mahendra sejak dulu seharusnya menjadi milik Hana. Jadi, jangan sampai kamu melakukan hal bodoh untuk menarik perhatianku!"
Fira terhuyung. Kakinya bergerak mundur. Dadanya naik turun karena sesak. Tidak pernah dia membayangkan Ditya akan mengatakan hal sejahat itu padanya.
Sakit. Sakit sekali!!
Semua pengorbanan dan perjuangannya berakhir sia-sia. Fira merasa ribuan jarum menusuk-nusuk hatinya tanpa ampun. Matanya memanas. Namun, sekuat tenaga dia menahan air matanya agar tidak turun. Rasanya, dia tidak Sudi menangis di depan dua orang ini.
"Aku yang bersyukur kita sudah bercerai. Aku tidak perlu lagi melakukan hal bodoh dan menyia-nyiakan hidupku. Sekarang, kita sudah resmi menjadi orang lain. Aku harap kita tidak akan lagi bertemu."
Fira melangkah menjauh, namun baru dua langkah, dia berbalik, "Ingat! Aku yang menceraikan dirimu. Bukan sebaliknya! Jadi, untuk apa aku mencelakakan kekasihmu kalau aku sendiri menginginkan perpisahan??"
"Kamu..!" Ditya melotot. Namun, Hana segera mengelus lengannya, mencoba meredakan amarahnya.
"Satu lagi! Kalau aku benar-benar ingin membuatnya celaka, aku tidak hanya akan mendorongnya," sambung Fira dengan suara tajam.
Seluruh tubuh Hana langsung meremang. Dia menatap Fira, tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Bukankah Fira adalah wanita kampung yang hanya bisa menuruti perintah semua orang? Sejak kapan dia jadi begitu menakutkan?
Di sisi lain, Aditya dibuat semakin geram. Dia tidak terima Fira mengancam kekasihnya. Berbagai kalimat pedas keluar dari mulutnya.
Fira tidak mengindahkan keduanya dan melanjutkan langkahnya. Hatinya terlalu sakit melihat adegan tersebut. Pria yang telah mati-matian dia perjuangkan dan pertahankan tidak lebih dari seorang yang tidak tahu malu!
Satu titik air matanya keluar, namun dengan cepat diusapnya. Sudah cukup dia bersedih. Sudah cukup dia menangisi Aditya dan masa lalunya. Dengan akta cerai di tangannya, Fira mantap akan mengukir masa depannya lebih indah.
Di area parkir, Fira segera menemukan sosok Adam yang tengah berada dalam sebuah panggilan telepon. Fira gegas mendekatinya.
Adam menoleh, merasakan kehadiran seseorang. Dia mengangkat telunjuknya, memberi kode untuk memberinya beberapa detik lagi sebelum menutup telepon.
"Sudah?" tanya Adam begitu dia mengakhiri panggilannya.
Fira mengangguk. "Ayo pergi!"
Saat membukakan pintu mobil, Adam menyadari sesuatu. "Ada apa?" tanyanya menelisik.
"Tidak ada." Fira melangkah masuk, enggan menceritakan apa yang terjadi sebelumnya.
Adam ingin bertanya lebih lanjut. Bagaimanapun juga, adiknya telah mengalami mas sulit selama dua tahun. Dirinya akan merasa sangat bersalah jika Fira kembali kesulitan saat berada di dekatnya. Namun akhirnya, Adam menahan lidahnya.
"Kak, aku ingin mampir belanja. Antarkan aku ke sana ya," sambungnya sambil memasang sabuk pengaman.
Adam baru saja menutup pintu saat Fira mengatakan itu. Gerakannya berhenti beberapa saat sebelum melanjutkan memasang sabuk pengaman.
"Aku bisa pergi sendiri, Kak. Kakak pergi saja ke kantor. Sudah cukup kamu menemaniku kemari," lanjut Fira.
Adam menghela nafas. Tidak bisa dipungkiri, dia memang baru saja mendapat telepon dari kantor. Ada suatu hal yang harus dia urus.
"Apa kamu yakin bisa sendiri?"
Fira terkekeh. "Kak, aku sudah dewasa. Umurku sudah sudah sangat cukup. Aku bahkan baru saja bercerai."
Adam tersenyum pahit. "Baiklah, kabari aku kalau ada apa-apa."
"Kakak tenang saja."
Tidak lama kemudian, Adam menghentikan mobilnya tepat di depan pintu masuk sebuah pusat perbelanjaan. "Jangan lupa menghubungi sopir kalau sudah selesai."
Fira mengangguk, sambil mengangkat jempolnya. "Kakak juga jangan lupa makan."
"Iya, tenang saja!"
Setelah itu, Fira turun, dan bergegas masuk.
Sudah lama sekali sejak dirinya berbelanja. Hidup di desa membuatnya terbiasa dengan kehidupan yang sederhana. Berharap menemukan seorang pria yang mampu menerimanya apa adanya sebelum akhirnya dia akan mengatakan yang sejujurnya. Namun, ternyata impiannya tidak sesuai kenyataan. Sebenarnya, Fira tidak keberatan memberikan beberapa persen sahamnya untuk aditya. Sayangnya, pria itu terlalu tidak sabar. Kini, Fira telah kembali ke rumah utama keluarga Waskita.
Salah satu hal yang perlu dia lakukan adalah untuk penampilannya, make over habis-habisan! Tujuan pertama adalah salon. Dia butuh semua perawatan dari ujung rambut sampai kaki. Setelah tiga jam, penampilan wanita yang baru saja menjadi lajang itu berubah total. Dia tampak lebih percaya diri. Setelah mengalami kejadian buruk dengan Hana dan Ditya, kini suasana hatinya jauh lebih baik. Tanpa sadar, kedua sudut bibirnya sedikit terangkat.
Selanjutnya, Fira perlu membeli beberapa baju, sepatu, dan tas baru. Namun, dia merasakan perutnya keroncongan. Karena tidak terbiasa dengan masakan asing, dia memutuskan untuk memasuki sebuah restoran yang menyajikan masakan khas Indonesia. Untungnya, Tuhan sedang berbaik hati. Tidak jauh di depannya, dia melihat sebuah restoran yang cukup menarik. Dengan langkah lebar, Fira memasuki rumah makan tersebut.
"Selamat datang. Untuk berapa orang?" Seorang pelayan menyapa Fira di depan pintu dengan ramah.
"Satu orang," jawabnya tidak kalah ramah.
"Mari sebelah sini." Pelayan tersebut mengantar Fira pada sebuah meja kosong, lalu menyerahkan menu. Setelah mencatat apa saja yang dipesan Fira, dia berbalik menuju dapur.
Fira mengedarkan pandangan. Suasana rumah makan ini cukup tenang. Pemilihan aksesoris dan warna cat juga tidak norak. Fira cukup nyaman meskipun dia hanya sendiri. Matanya melihat beberapa meja diisi oleh dua orang. Ada juga yang menikmati makan siang bersama buah hati mereka. Lalu, seorang wanita dengan rambut putih hampir menutupi seluruh kepalanya yang juga sedang sendiri, seperti dirinya.
Dilihat dari pakaian dan caranya menikmati makanan, Fira yakin dia berasal dari keluarga yang terpandang. Begitu lembut dan anggun. Entah kenapa dia suka melihatnya. Namun, dia merasa iba. Apakah wanita itu hidup sendiri? Apakah tidak ada suami atau anak yang bisa mengantarnya berbelanja? Jikapun ada, kenapa tidak mengantarnya? Beliau terlihat berumur sekitar lima puluh atau enam puluhan. Sangat riskan untuk bepergian sendiri. Jika saja itu ibunya, Fira tidak akan berpikir dua kali untuk menemaninya.
Mungkin karena merasa diperhatikan, perempuan anggun itu mendongak, membuat tatapan mereka bertemu. Fira sontak salah tingkah. Dia merasa seolah baru saja ketahuan melakukan kesalahan besar. Untungnya, makanan yang dia pesan tiba. Jadi, rasa canggung itu sedikit memudar.
Fira mengubur rasa malunya sambil menikmati hidangan. Rasa lezat yang memasuki mulutnya berhasil membuat dirinya terlena hingga menghabiskannya hanya dalam beberapa menit. Setelah menghabiskan isi piringnya, Fira merasa dia perlu ke kamar mandi. Wanita dengan gaya rambut yang baru itupun berdiri.
Saat berjalan melewati lorong, dia melihat seorang wanita berjalan tergesa-gesa sambil membawa sebuah dompet berwarna hitam berjalan keluar. Dia tampak panik dan langkahnya semakin cepat. Firasat Fira mengatakan ada hal buruk yang terjadi.
Keningnya berkerut dan langkahnya melambat dengan mata yang terus memperhatikan wanita tersebut. Tiba-tiba, wanita tua yang tadi duduk sendiri keluar dari kamar mandi sambil berteriak, "Copet! Hentikan dia! Pencuri!"
Fira refleks menghadang jalan wanita yang mencurigakan itu. Saat wanita itu hendak melawan, Fira langsung memberikan pukulan ke wajahnya. Gerakannya cepat dan kuat seolah dia sudah terbiasa melakukannya.
Wanita yang dipanggil copet itu langsung tergeletak sambil mengaum kesakitan. Fira hanya berdiri melihatnya tanpa bermaksud menolongnya.
Teriakan itu membuat dua petugas keamanan datang dengan cepat dan mendatangi Fira.
"Jangan! Lepaskan dia!" Wanita tua itu berteriak saat sekuriti hendak menangkap Fira.
"Dia bukan copet. Dia yang copet." Dia menunjuk pada wanita yang meringis kesakitan di atas lantai.
"Apakah ini dompet ibu?" Seorang petugas keamanan mengambil dompet hitam yang tampak berkilau dan mewah dan menyerahkannya pada wanita tua tersebut.
"Benar, itu dompetku. Dia mengambilnya saat aku sedang berkaca di dalam. Mungkin dia sengaja mengambil barang dari nenek tua seperti aku karena tahu aku tidak bisa berlari. Untungnya, ada wanita muda yang pemberani ini. Terima kasih banyak."
Fira tersenyum tulus. "Sama-sama, Nyonya."
Seorang pria dengan name tag manager melangkah cepat ke depan wanita tua tersebut dengan wajah tegang. "Nyonya Faris, saya mohon maaf atas kejadian memalukan seperti ini. Saya berjanji akan memberikan keamanan lebih" ucapnya sambil membungkuk.
"Proses dia! Saya tidak ingin lagi ada hal seperti ini. Ini adalah kriminal." Wanita itu yang dipanggil Nyonya Faris itu menatap memberi perintah mutlak.
"Tentu saja, Nyonya. Sebagai ungkapan maaf kami, kami berharap Anda bersedia menerima voucher dan makanan penutup terbaik yang kami miliki," sambung si manager.
Nyonya tidak langsung menjawab. Dia menoleh pada Fira, lalu bertanya dengan lembut, "Apakah kamu sibuk? Mereka menyiapkan sesuatu untukmu."
Fira tentu saja terkejut. "Tidak, Nyonya. Anda lah yang menjadi korban. Voucher dan makanan penutup itu untuk Anda," tolaknya.
Bukannya Fira tidak menyukai makanan penutup, tapi tadi sang manajer jelas-jelas berkata padanya.
"Tapi kamu lah yang menolongku. Kamu juga bisa mendapatkannya." Nyonya Faris bersikeras.
Lalu, dia menoleh pada manajer. "Apakah yang aku katakan salah?"
"Tidak, Nyonya." Manajer tersebut menggelengkan kepalanya dengan kuat. Tampak jelas jika dia semakin ketakutan.
Fira jadi menebak kola nyonya Fira memang bukan orang sembarangan. Tidak ingin membuat manager dalam masalah, Fira akhirnya setuju.
Nyonya Faris tersenyum lebar, tampak puas dengan jawaban Fira. "Baik, kami berdua akan menerima kebaikanmu," ucapnya pada manajer.
"Terima kasih banyak, Nyonya. Mari!" Manajer itu sendiri mengantar Fira dan nyonya Faris menuju meja yang tadi ditempati Nyonya Faris.
"Ini adalah meja terbaik yang kami miliki. Silakan." Manajer yang wajahnya sedikit lebih baik itu menggeser sebuah kursi untuk nyonya Faris.
Dan Fira pun menggeser kursinya sendiri, duduk tepat di depannya, membuatnya bisa dengan leluasa memperhatikan gaya nyonya Faris yang elegan. Fira memang belum mengerti benar tentang brand-brand baju untuk orang kaya, tapi dia bisa melihat jika kain dan jahitan baju Nyonya Faris memang dibuat dengan detail yang indah. Mungkin dia harus banyak bertanya tentang fashion padanya.
Fira bergumam dalam hati. Dia memuji kejelian mata Nyonya Faris. Dia semakin yakin jika Nyonya di depannya ini sungguh luar biasa.