7. Begitu Lebih Baik!

1211 Words
"Jadi, siapa namamu? Aku harus tahu siapa perempuan yang telah menolongku." Mata tua Nyonya Faris menatap lurus pada Fira. Ada kelembutan seorang ibu terlihat di sana. Fira tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. "Nama saya Fira, Nyonya." "Jangan memanggilku Nyonya. Itu untuk orang lain. Panggil saja Liliana. Namamu cantik, seperti orangnya." Liliana tidak membual. Di matanya, Fira tampak cantik dengan dandanan yang sama sekali tidak menor. Di saat banyak perempuan memakai lipstik berwarna merah, Fira memilih warna nude yang lembut. Rambutnya bahkan hanya diikat separuh dan dibiarkan separuhnya tergerai indah dengan hiasan permata-permata kecil. Sederhana, tapi tetap terlihat manis dan lembut. "Nyonya sendiri juga terlihat cantik." "Eits, jangan memanggilku Nyonya! Ingat, panggil aku Liliana!" Wajah Liliana berubah tegas. Fira tersentak dan merasakan tenggorokannya mengering tanpa sebab. "Ba-baik, Bu Liliana." Fira tidak memiliki pilihan lain selain setuju. Liliana menghela nafas. Wajahnya melembut. "Begitu 'kan, enak." Hati Fira juga tidak kalah lega. Berhadapan dengan wanita berkelas memang terkadang cukup mencekik. Melihat wajah tegang Fira, Liliana sontak tertawa. "Jangan tegang begitu! Aku hanya tidak ingin dianggap orang asing oleh orang yang baru saja menyelamatkanku." Percakapan merek terpotong karena kedatangan pelayan membawakan makanan penutup. Setelah menata makanan di meja, pelayan pergi setelah mendapat ucapan terima kasih dari Fira. Liliana melirik wanita muda di depannya. Senyum tipis tersungging di bibirnya. "Saya hanya refleks menolong. Tidak ada maksud lain. Kebetulan dia berlari ke arahku," ucap Fira sambil memotong keik di depannya, lalu menyendoknya ke dalam mulut. Lidahnya menari-nari merasakan kelezatan makanan penutup ini. "Ya, zaman sekarang memang cukup sulit mencari pekerjaan. Beberapa orang hanya bisa mengambil milik orang lain." "Tapi, beberapa juga terlalu malas mencari potensi diri. Sibuk menyalahkan keadaan dan nasib," sahut Fira setelah menghabiskan isi mulutnya. "Benar sekali!" Mata Liliana berbinar. Dia sangat setuju dengan kalimat Fira. Saling setujunya, dia bahkan belum memasukkan satu suap pun ke dalam mulutnya. "Apakah kamu sudah bekerja?" Tiba-tiba saja, Liliana berpikir jika wanita muda, sederhana, dan cerdas ini cocok menjadi seorang asisten. Fira tersenyum ragu. "Saya....." Fira tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Dia tidak bekerja di manapun. Hanya ingin melukis sepanjang waktu sambil menikmati musik dan kopi hangat. "Begini," sahut Liliana dengan cepat. "Putraku memiliki sebuah kantor. Dan sepertinya, dia membutuhkan seseorang untuk membantunya. Kamu hanya perlu mengirimkan CV dan salinan identitas diri, juga foto. Aku jamin kamu bisa langsung bekerja besok pagi. Bagaimana?" Mulut Fira terbuka, tapi tidak ada satupun kata yang keluar. "Maaf, saya..." "Putraku bisa memberimu gaji tujuh juta awalnya. Setelah cocok, dia akan menaikkannya. Tidak, tidak! Aku bisa memberimu sepuluh juta di awal." Liliana masih terus berusaha membujuk Fira. Wanita itu menatap Fira penuh harap. Sangat disayangkan jika perempuan sebaik Fira dilewatkan begitu saja. "Maaf, tapi saya sungguh tidak bisa, Bu." Akhirnya, Fira bisa mengatakannya. "Kenapa?" Kening Liliana berkerut. Tidak disangka jika tawarannya akan ditolak. "Apakah gajinya kurang besar?" Fira menghela nafas. Diletakkannya sendok kue yang tadi dipegangnya, menatap lurus pada Liliana, lalu berkata dengan lembut, "Bu, bukan masalah gaji. Sungguh, itu cukup besar bagi saya. Tapi, saya baru saja terlepas dari beban berat. Jadi, untuk sekarang saya masih ingin sedikit menikmati hidup." Liliana mengangguk meskipun dia tidak mengerti perkataan Fira. Dia hanya ingin menghormati keputusannya. "Baik, tapi kita masih bisa bertukar nomor telepon, 'kan?" "Tentu saja!" jawab Fira sambil tersenyum lebar. "Mama!" Seorang pria tiba-tiba mendatangi meja mereka dengan raut gusar yang kentara. "Ma, kenapa tidak meneleponku? Apa mama baik-baik saja?" Pria itu berdiri menatap Fira sekilas sebelum memusatkan seluruh perhatiannya pada Liliana. "Tidak apa-apa. Tidak ada yang menyakiti mama. Hanya seorang wanita yang hendak mengambil dompetku. Untung ada Fira." Fira menatap pria yang tengah berbicara dengan Liliana. Sepertinya, dia adalah putranya. Tubuhnya cukup tinggi. Meskipun ditutup oleh jaket kulit, tapi Fira masih bisa melihat bahunya yang lebar. Wajahnya tampan dengan rahang yang dihiasi bulu-bulu halus. Hidungnya tinggi dan lancip di ujungnya. Bibirnya tidak tipis dan sedikit berwarna cokelat. Fira menebak jika dia seorang perokok. Namun, yang paling menarik perhatian Fira adalah sorot matanya yang tegas. Auranya kuat dan mendominasi. Sayangnya, di benak Fira, tidak ada kamus pria. Dia masih ingin menikmati hidup tanpa perlu direpotkan dengan hal-hal remeh seperti ini. Sebuah sentuhan di tangannya membuat Fira terkejut dan menoleh. "Fira, ini adalah putraku, Satria." Fira menampilkan senyum ramah, tapi pria yang dipanggil Satria itu hanya mendengkus dan sama sekali tidak menoleh padanya. Perlahan, senyum Fira memudar dan atmosfer berubah canggung. Tidak mau berkenalan dengannya? Baik, Fira juga tidak akan mengemis dan memaksa. Dia juga tidak sedang ingin berkenalan dengan pria manapun. "Satria, jadilah sopan! Fira telah menolong mama. Jika bukan karena dia, mama tidak yakin dompet mama akan kembali." Liliana melotot pada putranya. Tidak ingin semakin terjebak dalam suasana tidak nyaman, Fira akhirnya berkata, "Bu, tidak apa-apa. Kebetulan, saya juga ada urusan lain. Jadi, saya akan pamit sekarang." "Tapi..." Liliana memegang tangan Fira, tidak ingin melepasnya begitu saja. Bagaimanapun, dia berhutang padanya. Dan putranya yang bodoh justru mengabaikannya dan tidak berterima kasih. "Biarkan saja, Ma. Dia mungkin memiliki hak lain untuk dilakukan. Mama juga harus pulang. Sudah terlalu lama di sini." Mata Liliana semakin melotot. Bagaimana bisa dia memiliki putra yang sama sekali tidak berperasaan seperti ini?? Fira tersenyum kecut. Wajah ramahnya berubah karena ada Satria. "Fira, berjanjilah kita bisa bertemu lagi kapan-kapan." Liliana sangat tidak ingin melepaskan Fira, tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Fira tersenyum pada Liliana lalu mengangguk. "Tentu saja! Kita bisa bertemu lagi." Setelah berpamitan, Fira akhirnya melangkah keluar. Liliana terus menatap punggung Fira yang menjauh. Setelah sepenuhnya menghilang, Liliana tidak sabar untuk mengomeli Satria. "Lihat apa yang kamu lakukan? Kamu mengusir orang yang sudah menyelamatkan mama! Kenapa kamu sungguh kasar seperti itu? Setidaknya, ucapkan terima kasih padanya." Satria memutar matanya malas. "Ma, apa mama yakin dia tidak memiliki niat buruk? Bisa saja dia yang menyewa pencopet itu lalu bertindak seperti pahlawan. Jaman sekarang kita harus berhati-hati." "Kamu!!" Liliana menatap putranya tidak percaya. Kalimat Satria sungguh pedas dan kejam. "Atau, bisa juga dia memang sengaja mendekati mama karena niat buruk. Apapun itu, tolong mama jangan terlalu ramah." "Tapi, Fira benar-benar menolong mama. Dia memukul wanita pencopet itu tanpa berpikir panjang. Matanya juga lembur. Tidak ada niat buruk di sana." "Ma, please. Ingat apa yang terjadi dengan Pak Niko? Kita mengenalnya lama. Dia juga sangat sopan dan ramah. Tapi, itu karena dia menyimpan niat busuk di hatinya. Dengan tega, dia menggelapkan dana perusahaan sampai ratusan juta dan hampir menyentuh angka milyar padahal kita sudah begitu baik padanya." Liliana terdiam. Ya, dia jelas mengenal siapa Niko, pria yang sudah menghancurkan kepercayaan keluarga Faris. Suaminya telah mengenal Faris sejak dia baru lulus kuliah. Karena sikapnya yang rajin dan ramah, dengan mudah karirnya menanjak. Perlahan, suaminya mulai menaruh kepercayaan lebih padanya untuk mengurus beberapa proyek. Saat Niko menikah, dirinya juga hadir dan memberikan hadiah yang tidak murah. Bonus yang dia dapat juga dilebihkan. Siapa sangka jika semua itu menjadi sarana untuk mengambil keuntungan pribadi. Hanya dalam waktu lima tahun, Niko berhasil mendapatkan lebih dari sembilan ratus juta!! "Sudahlah, Ma. Ayo kita pulang." Satria membantu sang mama berdiri dan menuntunnya keluar. Pikiran Liliana masih linglung. Entah kenapa dia merasa Fira tidak seperti Niko. "Setidaknya, ucapkan terima kasih pada Fira jika kalian bertemu. Bagaimanapun juga, dia sudah menyelamatkan mama." Satria menghela nafas sambil memijat pelipisnya. Sepertinya pembahasan Fira tidak akan berakhir begitu saja. "Baik, Ma. Aku akan berterima kasih padanya." "Begitu 'kan, enak." Liliana tersenyum lebar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD