Sementara itu di klinik.
Raffi berjalan memasuki ruang periksa. "Itu tadi pasien terakhir kita, Dok." Umumnya. Akara mendesah lega. Ia melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dan tubuhnya benar-benar terasa sangat lelah sekarang. Pria berusia tiga puluh tahun itu memilih menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi dan memijat pangkal hidungnya pelan.
Selain menjadi asistennya di rumah sakit, Akara juga meminta Raffi untuk bekerja bersamanya di klinik. Bonus untuk pria itu karena bisa mendapatkan pelajaran tambahan dari Akara. Sementara bagi Akara, itu menjadi keuntungannya karena ia sudah merasa nyaman bekerja sama dengan pria yang usianya beberapa tahun lebih muda itu. Jadi dia tidak ingin mendapatkan pengganti yang lain.
Pengganti? Mengingat kata itu, Akara langsung membuka mata dan melihat Raffi yang tengah sibuk membereskan berkas di ruangannya. "Bagaimana dengan para perawat baru. Kamu sudah ketemu sama pengganti Suster Selma?" tanyanya ingin tahu.
Raffi menghentikkan gerakannya dan seketika menggelengkan kepala. "Belum, Dok. Tadi rumah sakit cukup sibuk sampai saya tidak sempat melihat para perawat baru. Tapi saya sempat bertemu dengan para dokter baru. Ada salah satu dokter cantik yang baru bergabung dengan kita. Beuh, muka dan tubuhnya itu, secantik dan semolek bintang Israel, Gal Gadot. Dokter tahu gak siapa Gal Gadot? Itu loh yang jadi pemeran film Wonder Woman." Ucapnya dengan antusias.
Akara menatap Raffi tajam, membuat Raffi seketika terdiam. Ia jelas tahu kalau Akara tidak suka dengan pembicaraan semacam itu. Raffi memasukkan map terakhir ke dalam loker. Disaat bersamaan Akara melepas snelinya dan menggantungkannya pada gantungan pakaian dan menaruhnya dalam loker lain yang juga ada di ruangan itu.
Keduanya kemudian berjalan bersamaan keluar klinik. Raffi menyerahkan kunci ruangan Akara kepada satpam yang berjaga sebelum kemudian masuk ke dalam mobilnya sendiri. “Sampai jumpa besok, bos.” Ucapnya lantang yang hanya dijawab dengan gelengan oleh Akara.
Raffi, tindakannya dan impulsif dan bicaranya yang blak-blakan membuat orang menduga bahwa dia tidak pernah berpikiran panjang. Padahal, kalau orang-orang mengenalnya lebih dekat, Raffi itu adalah sosok pemikir yang bersembunyi dibalik watak ceplas-ceplos. Dan kenapa Akara menyukainya, karena memang dia nyaman dengan pria muda itu.
Dengan tubuh lelahnya, Akara melajukan mobilnya menuju kediaman orangtuanya. Bukan karena dia tidak punya rumah sendiri. Dia memiliki apartemen pribadi yang sudah ia tinggali selama lima tahun belakangan ini. Namun semenjak serangan jantung yang dialami neneknya setelah pemakaman sang kakek. Neneknya secara langsung meminta supaya Akara tinggal kembali di kediaman kedua orangtuanya yang dulu merupakan kediaman kakek neneknya yang juga tempat dimana Akara tumbuh besar sebelum keluarga mereka pindah ke Bandung beberapa waktu.
Ibunya sedikit kesal, karena sejak awal, ibunya meminta Akara untuk tinggal disana. Alasannya, ibunya merasa kesepian karena kakak kembarnya, Falisha, memilih untuk tinggal bersama suaminya, Gibran. Namun dulu, Akara selalu menolak. Dia sudah dewasa, bahkan menjelang tua. Apa yang akan orang katakan jika dia masih saja tinggal bersama kedua orangtuanya?
Dan sekarang, saat neneknya memintanya untuk kembali dengan alasan nostalgia, ia dengan mudah mengiyakan permintaannya. Itulah yang membuat ibunya kesal. Namun sekesal-kesalnya seorang ibu, itu tidak akan berlangsung lama. Buktinya, Ibunya setiap pagi dengan baik hatinya menyiapkan makanan kesukaannya. Dan bahkan, seringkali Akara dikirimi makan siang oleh ibunya. meskipun Raffi seringkali mengejeknya dengan sebutan ‘anak mami’ atau ‘anak TK’, tapi Akara tak bisa marah. Mana mungkin dia menolak apa yang sudah ibunya buat dengan sepenuh hati. Toh setiap kali ibunya mengirim makanan, orang pertama yang mencicipinya adalah Raffi sendiri.
Akara menyalakan lampu mobil sebagai kode kepada satpam yang menjaga rumahnya. Seketika pintu gerbang terbuka. Akara menyapa satpam dan memasukkan mobilnya ke pelataran parkir. Ia kemudian masuk melalui pintu garasi yang tersambung langsung ke ruang tengah keluarga. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi televisi di ruangan itu masih menyala. Dan ayahnya serta adik bungsunya tampak tengah asyik menonton pertandingan bola.
"Assalamualaikum." Salamnya. Keduanya menjawab salam Akara tanpa menoleh sedikitpun. Akara hanya bisa menggelengkan kepala.
Maaf, tapi bola bukanlah olahraga yang dia sukai. Dia lebih suka menonton MotoGp yang memacu adrenalin daripada menonton dua puluh dua orang merebutkan satu bola. Itu tidak masalah kan? Setiap orang punya kegemaran mereka masing-masing.
Akara berjalan menuju kamar orangtuanya. Dengan perlahan dan mencoba tanpa suara ia membuka pintunya. Ibunya, wanita berusia lima puluh enam tahun itu tampak tengah tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Akara tidak ingin mengganggunya, sebagai gantinya ia kembali menutup pintu kamar dengan perlahan. Namun sebelum pintu benar-benar tertutup, ibunya terbangun dan memanggil namanya.
Akara pada akhirnya masuk ke dalam kamar. Duduk di sisi ranjang ibunya dan menatap ibunya. "Kenapa Mama belum tidur?" tanyanya dengan lembut.
Ibunya bangkit duduk dan tersenyum. "Mama udah tidur tadi selesai isya. Aa udah sholat?" tanyanya. Akara menganggukkan kepala. "A.. Mama bisa minta tolong?" tanya ibunya dengan tatapan yang membuat Akara khawatir.
"Kenapa, Ma?"
"Ada yang salah sama Oma. Besok, tolong periksa Oma lagi, ya.” Pintanya yang dijawab anggukan Akara. “Mama udah bujuk Oma ke rumah sakit buat periksa, tapi Oma gak mau." Ujar ibunya dengan nada cemas. Akara mengusap tangan ibunya dengan lembut dan kembali menganggukan kepala.
Saat tersadar di ICU beberapa waktu lalu, neneknya langsung merengek meminta untuk pulang. Katanya, rumah sakit hanya akan membuatnya semakin sakit. Meskipun Akara tak setuju dengan permintaan neneknya, namun karena ayahnya sebagai wali menyetujui, maka mau tak mau Akara pun menurut saja.
Kondisi fisik neneknya memang semakin lama semakin melemah. Beliau menjadi lebih kurus dan tampak tidak bersemangat. Dan hal itu mau tak mau membuat semua orang yang ada di rumah khawatir. Meskipun mereka berusaha bersikap biasa saja.
"Besok Aka periksa." Janji Akara lagi. Ibunya menganggukkan kepala. Meremas tangan Akara perlahan. "Mama tidur lagi. Aka juga mau tidur. Capek." Ujar Akara jujur. Ibunya hanya mengangguk dan membaringkan tubuhnya kembali. Akara mendekat, menyelimuti tubuh ibunya dan mencium kening ibunya lembut sebelum keluar dari kamar dan menutupnya pelan.
Ia berjalan menuju lantai dua, dimana kamarnya dan Falisha dulu saat gadis itu belia berada. Akara membersihkan diri sebelum akhirnya dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Rasanya ia baru saja memejamkan mata saat kemudian tangannya meraba-raba ponselnya yang tak henti-hentinya berbunyi. Pukul lima, enam jam sudah dia tertidur. Lelap, tanpa mimpi apapun. Akara bangkit dari tidurannya. Menggerakkan kepalanya yang sedikit pegal karena tidur dengan posisi yang sama sepanjang malam. Ia kemudian berjalan menuju kamar mandi, membersihkan diri dan bersiap melakukan kewajibannya.
Setelah selesai sholat subuh, Akara yang merasa tubuhnya masih lelah kembali membaringkan diri. Sampai tanpa sadar ia kembali terlelap.
“Aku tidak bisa.” Suara seorang wanita membuat jantung Akara berdenyut sakit. “Kita gak akan pernah bisa bersama. Kamu, dan aku, kita gak bisa sama-sama.” Ucapan itu semakin membuat jantung Akara terasa sakit. seolah sesuatu tak kasat mata mencengkeramnya erat.
“Tapi…”
“Maafin aku, sejak awal, keberadaanku disini memang tak pantas.” Seiring dengan ucapan terakhirnya, gadis itu berlalu pergi. merubah sosok nyata menjadi sebuah bayangan yang tak bisa digapainya.