5

1580 Words
Rianna meletakkan tas nya di samping pintu. Bu Hanum sudah menyambut kedatangannya dengan antusias. Rianna berterimakasih atas sambutan wanita paruh baya itu. perjalanan Surabaya-Jakarta dengan menggunakan pesawat terbang memang memberikan waktu perjalanan lebih singkat. Meskipun biaya yang dikeluarkan Rianna lebih mahal jika dibandingkan dia menggunakan kereta api tempo lalu. Namun ia tidak ingin membuat Raihanna lelah dengan perjalanan yang memakan waktu lama. Dan kini, Raihanna tampak sudah kembali segar setelah perjalanan dari bandara menuju kontrakan mereka. Meskipun bocah itu sempat merengek dan mengalami tantrum dalam perjalanan. "Anak kamu menggemaskan, ya." Bu Hanum melirik ke arah Hanna yang kini sedang mengunyah wafer coklat kesukaannya seraya menonton film kartun dari layar persegi di hadapannya. "Alhamdulillah, Bu." Jawab Rianna. Ia hanya tersenyum melihat kelakuan bocah cantik itu yang selalunya menepuk remahan wafer yang mengotori rok dan leggingnya."Tapi, Bu. Apa Ibu punya kenalan tempat penitipan anak yang bisa dipercaya? Saya sebenarnya sedikit was-was, tapi mau bagaimana lagi. Yang biasa saya titipin Hanna anaknya masih sekolah dan tinggal di Surabaya." Bu Hanum menepuk lengan Rianna. "Kamu gak usah nitipin Hanna ke day care. Biar dia sama ibu aja. Ibu juga kan kalau siang ditemenin sama Bi Nia. Nanti Bi Nia yang bantuin Ibu jagain Hanna. Biar kami para emak-emak tua ini ada kerjaan. Daripada nantinya malah nonton acara gossip yang gak mutu." Saran Bu Hanum. Rianna mengerutkan dahi. Dia sedikit bingung dan terlebih merasa malu akan kebaikan pemilik kontrakannya itu. meskipun tawarannya terdengar tulus, dan memang Rianna rasa tulus, tapi ia masih segan meminta bantuan induk semangnya itu. "Udah, gak usah mikir panjang-panjang. Biarin Hanna sama Ibu aja. Ibu jamin gak akan apa-apain dia." Saran Bu Hanum lagi. Rianna hanya tersenyum dan mengangguk pada akhirnya. Hari senin pun tiba. Pukul tujuh pagi Rianna sudah bersiap. Ia sudah mengenakan kemeja lengan panjang berwarna merah muda dan celana bahan berwarna hitam. Flatshoes senada dengan celananya dan tak lupa tas tangannya. Hanna sudah duduk di atas sofa dengan mata mengantuk. "Mama elja?" –Mama kerja?—tanyanya dengan mimic polosnya. Rianna mengangguk. "Mama pergi kerja dulu, Hanna nanti sama Oma Hanum disini. Nanti Oma Hanum bakal ngajak Hanna main. Jadi Hanna jangan nakal, Hanna harus baik kayak waktu Mama tinggalin Hanna sama Kak Ajeng, ya?" instruksinya. Hanna hanya mengangguk seolah ia mengerti. Namun yang namanya bocah tiga tahun, tetap saja bocah. Bu Hanum datang tak sampai lima menit kemudian. Ia menyapa Hanna dengan ceria. Bocah itu turut menyapanya. Turun dari sofa dan menyambut Bu Hanum dengan mencium punggung tangannya. "Kamu tenang aja, Ibu gak bakal apa-apain dia." Rianna hanya mengangguk saja. Dalam hati ia masih takut-takut. Tapi apa mau dikata. Ia harus pergi menyambung hidup bagi mereka bertiga. "Kalau ada apa-apa, Ibu telepon saya saja."? Rianna sudah memberikan nomor ponselnya sebelumnya.setelah pamit Rianna menaiki ojeg online pesanannya yang akan mengantarkannya menuju rumah sakit. Pergantian shift kerja pagi itu terjadi pukul delapan. Setengah delapan Rianna sudah sampai di area rumah sakit. Seperti yang Bu Asyifa katakan beberapa hari yang lalu bahwa aka nada dua belas perawat dan tiga orang dokter yang akan masuk bersaman dengannya. Saat ia sampai di depan ruang Bu Asyifa, tujuh diantara orang baru itu tampak sudah berada di sana. "Baru juga?" seorang pria tinggi kurus menyapa Rianna. Riannya tersenyum. "Saya Teguh, pindahan dari cabang Tasikmalaya." Pria itu mengulurkan tangannya pada Rianna. "Rianna, pindahan dari Surabaya." Mereka pun berkenalan dengan perawat lain yang ada disana. Sekitar pukul delapan malam, kesepuluh perawat sudah saling berkenalan. Dan tak lama kemudian Bu Asyifa datang. Ia menyapa kedua belas perawat yang ada dan membuka pintu ruangannya seraya meminta semua orang masuk. "Selamat datang di Rumah Sakit Pelita Medika. Saya perkenalkan diri saya secara resmi. Nama saya Asyifa Arief. Saya kebetulan baru menjabat sebagai kepala perawat selama dua tahun terakhir ini. Dan disini saya adalah atasan langsung kalian. Selama dua tahun masa kontrak kalian saya harap kalian bisa bekerjasama dengan baik. Bukan hanya dengan dua belas orang yang ada disini. Tapi juga dengan staff, perawat, dokter dan semua karyawan yang bernaung di Rumah Sakit ini." Ucapan bu Asyifa dijawab dengan anggukan rekan sesama perawatnya. "Pekerjaan kalian akan mendapatkan evaluasi. Jadi bekerja sebaik mungkin. Karena jika pekerjaan kalian selama dua tahun ini dianggap memuaskan. Maka kalian akan diangkat menjadi karyawan tetap dan akan ditempatkan di rumah sakit cabang yang kalian inginkan. Sampai sejauh ini kalian mengerti?" kedua belas orang itu serempak mengangguk. "Terima kasih." Jawab Bu Asyifa lagi. Silahkan kalian semua pergi ke bagian penyediaan. Disana ada Pak Ruslan. Beliau akan memberikan kalian kunci loker dan juga seragam untuk kalian. Setelah kalian mengenakan seragam, kalian kembali lagi kemari. Saya beri kalian waktu setengah jam untuk bersiap." Dan kedua belas orang itu pun meninggalkan ruangan Bu Asyifa dan mengikuti instruksi atasan mereka. Rianna menerima dua set seragam dinas, begitupun kesebelas orang lainnya. Beruntungnya setelan itu berupa atasan dan celana panjang. Karena sebenarnya Rianna sendiri sedikit kurang nyaman mengenakan rok. Dan rasanya kurang leluasa juga jika ada keadaan gawat darurat. Setelahnya Pak Ruslan menunjukkan dimana ruang ganti sekaligus ruang istirahat perawat. Mereka pergi kesana. Diantara dua belas orang perawat yang baru masuk itu, empat diantaranya perawat laki-laki. Dan mereka memasuki ruangan ganti yang terpisah. "Kalau Rumah Sakit elit memang segalanya berbeda, ya." Rianna mendengar salah seorang berkata. "Iya. Jelas beda banget. Gajinya aja beda. Fasilitasnya juga. Tapi kalian mau tinggal di asrama?" Perbincangan-perbincangan singkat memenuhi ruang ganti tersebut. Mereka keluar dari ruang ganti sekitar sepuluh menit kemudian. Rianna sudah dengan setelan putih-putihnya. Ke delapan orang itu keluar bersamaan. Di saat yang sama para perawat pria pun keluar dari ruang ganti. Mereka kembali ke ruangan Bu Asyifa. Perawat paruh baya itu tampak sedang berbincang dengan seorang perawat senior. "Perkenalkan, ini Suster Gina. Beliau akan menunjukkan kalian keseluruhan rumah sakit ini. Dan nanti beliau yang akan memberikan kalian job desc kalian masing-masing. Dan jika suatu saat kalian perlu sesuatu, kalian bisa meminta bantuan pada beliau." Ujar Bu Asyifa. Kedua belas perawat baru di ruangan itu mengangguk mengerti. "Selamat datang, Saya Gina. Panggil saja suster Gina. Maaf, seharusnya tempo lalu saya yang bertemu kalian. Namun karena urusan pribadi, terpaksa Kepala perawat kita yang baik hati ini menggantikan saya." Sapaan Suster Gina membuat bu Asyifa tersenyum. Suster Gina mengajak mereka berkeliling rumah sakit tujuh lantai itu. memberitahukan mereka ruangan apa saja yang mereka lewati dan dimana saja mereka bisa mendapatkan bantuan dalam keadaan darurat nanti. Mereka sampai di bagian depan unit keperawatan. Bu Gina mengambil map kulit. Membukanya dan memberikan satu lembar pada setiap orang bersadarkan nama. "Ini lembaran jadwal tugas kalian. Setiap bulannya jadwal akan dirubah dan bagi kalian yang memiliki kepentingan diantara jadwal kalian, kalian bisa saling bertukar shift. Tentu harus atas seijin saya. Kalian mengerti." "Mengerti, Bu." Serentak kedua belas perawat tersebut. Mereka kemudian mengisi form absensi, membuat data sidik jari dan hal lainnya sampai akhirnya mereka diijinkan pulang. Rianna kembali ke kontrakannya. Mengecek bagaimana keadaan Hanna ketika ia tinggal bekerja. Bu Hanum jelas mengatakan kalau bocah itu bersikap sangat baik selama ditinggal. Tidak memusingkan dan bahkan bisa mengerjakan segala sesuatunya sendiri. ya, memang untuk ukuran anak seusianya, Hanna terbilang cukup mandiri. Dia tahu apa yang dia mau dan dia bisa melakukan beberapa hal sendiri. ia bangga pada balita itu, dan begitu menyayanginya. Hanna kecil, merupakan duplikat kakaknya. Mengingat kakaknya membuat Rianna ingin memastikan kondisi kakaknya tersebut. Ia pamit pada Bu Hanum untuk menghubungi Bu Kinan yang ada di Surabaya. Tidak sampai deringan kedua, panggilannya sudah diterima dari jauh sana. "Assalamualaikum." Rianna menyapa. Bu Kinan menyapanya dengan suara lembutnya yang khas. "Waalaikumsalam. Sudah mulai bekerja?" tanyanya di seberang sana. Tanpa sadar Rianna mengangguk. "Sudah, Bu. Rian baru aja pulang." Jawabnya menggantikkan gelengan kepalanya yang jelas tak akan dilihat oleh atasannya itu. "Bagaimana? Suasana kerjanya bagus?" "Sampai saat ini belum ada keluhan, Bu." Jawab Rianna lagi. Di seberang sana Suster Kinan terkekeh. "Memangnya sejak kapan kamu mengeluhkan pekerjaan, An?" jawab wanita itu lagi. Rianna hanya mengusap tengkuknya. "Bagaimana Hanna? Dia betah disana?" "Alhamdulillah, Bu. Bu Asyifa mengenalkan saya pada seorang wanita baik disini. Beliau juga yang menjaga Hanna selama saya kerja." "Alhamdulillah kalau begitu. Semoga kalian baik-baik saja disana,ya." "InsyaAllah, Bu. Bagaimana kabarnya kak Raia?" pertanyaan itu akhirnya muncul juga. "Baik, tidak terjadi apapun hari ini. Kakak kamu sangat tenang. Kondisinya stabil." "Alhamdulillah" ujar Rianna penuh syukur. "Kamu sudah membicarakan tentang kakak kamu sama Bu Asyifa?" tanya Suster Kinan lagi. Rianna tanpa sadar kembali menggelengkan kepala. "Belum, Bu. Belum ada kesempatan. Mungkin besok, kalau Rian sudah benar-benar menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja Rian yang baru, Rian akan mencoba bicara pada Bu Asyifa." "Iya. Ibu harap kamu dan Hanna betah disana. Dua tahun tidak akan terasa. Setelah itu kamu bisa pindah lagi kesini dan kerja lagi bareng ibu. Untuk urusan kakak kamu, kamu gak usah khawatir. Ibu dan teman-teman kamu disini akan menjaganya bergiliran. Bahkan tadi, ibu panti sudah datang dan menengok kakak kamu." Jawab Suster Kinan lagi. Dalam diamnya airmata Rianna merebak. Dia merasakan penuh syukur atas perhatian orang-orang terhadapnya dan juga kakaknya yang sedang koma. Bahkan saat dirinya tidak ada di samping sang kakak, mereka masih bersedia untuk menengoknya, menggantikan posisi Rianna. "Terima kasih, Bu." Ucap Rianna lirih. "Tidak usah berterimakasih. Walau bagaimanapun, kita ini keluarga. Keluarga dalam iman. Kamu jaga diri kamu baik-baik disana. Tidak usah terlalu mencemaskan keadaan kakak kamu. Kami disini akan menjaganya. Dan jika ada sesuatu yang terjadi, kami akan menghubungi kamu disana." Jawab Suster Kinan lagi menenangkan. Rianna hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya. Semoga, tak lama lagi mereka semua bisa berkumpul bersama di Jakarta. Meskipun dalam hatinya, keinginan terbesar Rianna adalah melihat kakaknya itu bangun dan kembali bersamanya dalam keadaan sehat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD