"Oma Karin, dokter Akara sudah menunggu di ruangannya." Ucapnya sesopan mungkin.
Tangan keriput Nyonya Karin yang sejak tadi tak lepas memegang tangan menantunya kini terulur ke arah Rianna. "Bisa bantu Oma jalan." Pintanya dengan tatapan memohon. Rianna hanya tersenyum dan mengangguk. Ia mengulurkan tangan kanannya yang kemudian dijadikan penopang tangan kanan Nyonya Karin, sementara tangan kirinya ia rangkulkan ke pinggang lebar wanita lanjut usia tersebut. Rianna memapah wanita itu dengan perlahan sementara sang menantu mengikuti mereka dari belakang.
"Oma baru lihat kamu, kamu perawat baru?" Tanya Nyonya Karin penasaran. Sekilas kepalanya mendongak untuk melihat wajah Rianna yang memang posturnya lebih tinggi dari Nyonya Karin.
Rianna tersenyum seraya menganggukkan kepala. "Iya, Oma. Saya baru hari ini bekerja sama Dokter Akara." Ucapnya sopan.
"Pantas.” Ucap Nyonya Karin dengan senyum di wajahnya. “Kamu harus tahan ya sama Aa. Dia itu memang wajahnya jutek. Trus kelihatannya aja dia itu galak. Padahal aslinya enggak. Akara itu malah anak yang cengeng waktu kecil. Sekarang aja so-so’an galak." Rianna yang mendengarnya hanya menganggukkan kepala. "Namanya siapa?" Tanya Nyonya Karin lagi.
"Rianna, Oma.” Jawab Rianna dengan sabar. “Disini saya biasa disapa Rian." Lanjutnya.
"Rian. Rianna. Nama yang bagus. Sudah menikah?" tanya Nyonya Karin antusias.
Namun sebelum pertanyaan itu terjawab, mereka sudah sampai di ruangan Akara.
"Oma? Mama?" Akara yang duduk di mejanya bangkit dan mendekat pada dua orang pengunjung yang baru saja datang itu. Pria itu menciumi kedua tangan wanita yang ada di hadapannya dengan khidmat. "Lama nunggu diluar?" Tanyanya lebih pada ibunya. Sementara itu ia mengambil alih posisi Rianna dan membimbing sang nenek menuju ranjang periksa.
"Gak juga." Jawab ibunya yang memilih duduk di kursi di depan meja kerja putranya itu. Sementara Rianna mulai memasangkan tensimeter, atau yang lebih tepatnya disebut sfigmomanometer ke tangan kanan Nyonya Karin.
"Oma keasyikan ngobrol. Sampai lupa kalo kesini mau ketemu kamu." Ucap Nyonya Karin langsung pada Akara.
Sekali lagi, Rianna melihat pria itu tersenyum sangat lembut. "Padahal Aka udah nungguin Oma daritadi." Ucap pria itu lagi.
"Tekanan 130/90, Dok." Rianna memberitahu. Akara mengangguk dan Raffi mencatat data itu dalam data yang ada di atas clip board nya.
"Kita coba lakukan EKG ya Oma." Ucap Akara yang dijawab anggukan neneknya.
Rianna membantu Nyonya Karin melepas pakaiannya dan memasangkan elektroda di bagian dalam pakaian dalam yang dikenakan Nyonya Karin. Sesaat sebelum rekam dimulai Rianna memberikan instruksi supaya Nyonya Karin melakukan pernapasan dengan teratur. Tak butuh waktu lama sampai hasil cetaknya keluar. Tanpa membaca hasilnya, Rianna menyerahkan hasil rekam jantung kepada Akara sementar ia kembali membantu Nyonya Karin melepaskan elektroda dan kembali berpakaian.
Akara sudah kembali duduk di kursinya, sementara Raffi berdiri di belakangnya masih dengan clip board berisi data Nyonya Karin di tangannya. Sementara Rianna kini membantu Nyonya Karin untuk duduk di samping menantunya.
Akara mulai memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan keluhan yang mungkin dialami neneknya.
"Hasil jantung Oma berada dalam kisaran normal. Apa yang sebenernya Oma rasakan? Apa Oma mengalami insomnia belakangan ini?" Tanya Akara dengan cemas.
Nyonya Karin memandang cucunya, ia tersenyum lantas kemudian mengangguk. "Kenapa? Memangnya apa yang membuat Oma kesulitan tidur? Kita harus memecahkan masalah itu, karena sebenarnya obat tidur tidak akan membantu. Ditambah dengan faktor usia, obat tidur hanya akan membuat Oma tidak sehat."
"Oma tidak bisa ridur karena Oma kesepian." Ucap wanita lanjut usia itu dengan suara lirih.
Rianna mengernyit. Ia menoleh ke arah Akara dan melihat ekspresi sedih di wajah atasannya itu.
"Aka tahu. Kita juga semua merasa kehilangan, Oma." Ucapnya dengan tangan terulur meraih tangan sang nenek. Sementara itu Rianna melihat tangan Nyonya Agisna merangkul bahu mertuanya lembut. "Kita semua juga merindukan Abba."
Rianna melihat tangan Nyonya Karin menepuk lengan menantu dan cucunya. Tapi kepala wanita lanjut usia itu menggeleng. "Oma bukan merindukan Abba.” Ucapnya dengan tegas. “Oma sudah sepenuhnya rela dengan kepergian Abba. Karena itu sudah takdir bagi Abba untuk pergi lebih dulu menghadap Allah. Tapi Oma kesepian karena tidak ada suara anak-anak di rumah."
Akara mengernyitkan dahi. Memandang neneknya dan ibunya bergantian. Sementara Raffi, yang memperhatikan ketiga orang itu tampak sekali sedang berusaha menahan tawa. Dan Rianna. Dia hanya bisa berdiri di tempatnya tanpa mengerti arah tujuan pembicaraan yang dilakukan keluarga di hadapannya itu.
"Setiap malam, yang ada di pikiran Oma itu kamu, A. Oma selalu bertanya-tanya, kapan kamu nikah. Apa Oma akan punya kesempatan buat lihat kamu berumah tangga? Apa Oma masih dikasih kesempatan buat gendong buyut dari Aa."
"Oma..." Lirih Akara.
"Amma..." Suara Nyonya Agisna yang lembut tak sekuat rangkulannya di bahu mertuanya.
“Kamu juga ngeluh gitu, Na.” tegur Nyonya Karin pada menantunya. “Kamu bilang, rumah sepi. Apalagi Falisha milih tinggal sama Gibran di bandung, jadi kamu gak bisa lihat cucu kamu sesering yang kamu mau.” Lanjutnya lagi. "Oma bersyukur, Alhamdulillah Oma bisa lihat Fali nikah dan punya anak." Ucapnya dengan tatapan yang ditujukan pada Akara. "Dan Oma mungkin gak seharusnya berharap sama Aa. Sejak dulu Oma tahu kalau pernikahan gak ada dalam urutan pertama hidup Aa. Jadi sekarang Oma tinggal berharap Rayyan nikah dan ngasih Oma buyut lagi."
"Oma, tapi Rayyan bahkan belum lulus kuliah." Raffi menyanggah.
Nyonya Karin terlihat mengedikkan bahu. "Gak apa-apa. Toh dia udah cukup umur buat nikah. Lagian nikah muda kan lagi trend saat ini." Jawab Nyonya Karin sekenanya. Raffi kembali tampak menahan tawa.
Akara terdengar mendesah berat. "Oma." Ucapnya. "Apa kita memang perlu membahas masalah ini disini?" Tanyanya memandang neneknya dengan sendu.
Nyonya Karin menggelengkan kepala. "Oma gak mau bahas ini, kan tadi Aa yang nanya lebih dulu. Ya Oma jawab apa adanya." Ucapnya tanpa basa-basi.
Akara mengangguk dan menggumamkan kata maaf.
“Kalo Aa emang tulus minta maaf, ya segera bawa calon Aa ke depan Oma. Masa iya Aa kalah sama Ilker. Ilker aja udah siap-siap mau nikahan sebentar lagi. Aa siap dilangkahin?” ujar Nyonya Karin dengan kesal. Raffi yang berdiri di samping Akara berusaha menyembunyikan tawanya dengan batuk dan menutupi mulutnya dengan clipboard di tangannya.
Akara tampak menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan. Pria itu dengan sengaja mengalihkan pembicaraan pada topik awal. "Karena hasil pemeriksaan Oma baik-baik saja, jadi Mama gak usah terlalu khawatir. Masalah yang ada di pikiran Oma, nanti kita bicarakan di rumah, ya. Hari ini Aa masih ada beberapa pasien lagi yang harus diperiksa."
Jelas itu sebuah usiran halus. Namun baik ibu ataupun nenek Akara jelas tak tampak tersinggung. Kedua wanita itu malah bangkit berdiri tanpa harus diminta dua kali. Dan lagi, Nyonya Karin mengulurkan tangannya pada Rianna. Meminta pertolongan tanpa suara.
Rianna membimbing Nyonya Karin keluar dari ruangan Akara, sementara di belakangnya Akara merangkul bahu ibunya.
"Oma suka kalau Oma bisa kenal dekat sama teman kerja Akara. Kalau kamu ada waktu senggang, kapan-kapan main ke rumah ya." Ajak wanita lanjut usia itu yang hanya dijawab senyuman oleh Rianna.
Ia tidak bisa menolak secara langsung, namun juga tak mau mengiyakan. Baginya, hubungan pekerjaan cukup sampai di tempat kerja. Ia tidak mau mencampurkannya dengan kehidupan pribadi.
Rianna berbalik dan melihat Akara masih memperhatikan kedua wanita yang berjalan menjauh dari mereka. "Pasien selanjutnya, Dok?" Tanyanya yang dijawab anggukan Akara.
_______________________________________________
Sampai jumpa lagi
TBC