Bianca membawa masuk kardus dan kantong kresek hitam itu ke dalam apartemen Zita. Membuat si pemilik apartemen yang baru saja tiba sehabis pulang kerja melongo.
“Apa-apaan itu, Bi? Banyak banget barang lo?” seru Zita tak percaya.
“Nggak usah protes dulu, bantuin gue, Zi!” Bianca balas berseru. Ia meletakkan kardus pertama di ruang tengah, masih tersisa satu kardus lagi dan satu kantong kresek hitam.
Zita mendengus, tapi tetap membantu sahabatnya.
Kini, ruang tengah apartemen Zita telah dipenuhi oleh barang-barang Bianca. “Gila lo, Bi, uang laki lo beneran dipake buat beli ginian doang?”
“Ini nggak doang, Zi. Ini hobi gue, ini cara gue memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, ini juga cara gue membunuh jenuh karena bosan di rumah doang. Lo tahu sendiri, meski status gue adalah istri direktur CYL cosmetics.” Bianca menyebut nama perusahaan milik keluarga mantan suaminya. “Tapi gue nggak pernah dibiarin bersosialisasi sama rekan kerja laki gue. Tiap ada acara perusahaan juga gue nggak pernah diajak, gue tuh … kayak disembunyiin tahu.” Ada nada sendu dalam kalimat Bianca.
“Serius lo? Gue kira lo di rumah tinggal ngangkang terus dapet duit deh dari laki lo.”
“Sembarangan!” Bianca menimpuk Zita dengan bantal sofa. Setelahnya, wajah wanita itu berubah muram. “Gue malah udah nggak disentuh sejak tiga bulanan sebelum cerai. Yah, tapi akhirnya gue sadar kenapa dia begitu. Ternyata ada hati yang harus dijaga,” ucapnya dengan nada tajam.
Tawa Zita meledak seketika. “Dan itu bukan hati lo. Sialan! b******k banget laki lo, Bi!”
“Udah mantan, Bu,” seru Bianca tak terima. Lalu mulai membongkar barang-barangnya. “Zi, bantuin gue sortir semua ini, ya? Yang udah expired masukin sini aja.” Ia menunjuk kantong kresek hitam yang sudah kosong, isinya ia hamburkan di lantai agar lebih mudah memilah.
Zita menurut. Ia mulai duduk lesehan di lantai, memilih dan memilah berbagai macam produk perawatan wajah dan make up yang berserakan di lantai. Melihat tanggal kadaluwarsanya lalu memasukkannya ke kantong kresek hitam jika tanggalnya sudah lewat.
“Eh, tapi, Bi, gue baru sadar. Produk sebanyak ini nggak ada satu pun merk dari CYL? Hobi lo ini ‘kan bisa jadi teknik pemasaran yang bagus loh buat perusahaan laki lo. Apalagi di akun sosmed, lo nyembunyiin identitas lo ‘kan? Jadi nggak bakal ketahuan kalau itu trik marketing.” Zita bertanya sembari terus menyortir barang-barang itu.
Bianca menghela nafas sebelum menjawab. “Gue udah nawarin. Yah, meski subscribers dan followers gue nggak banyak-banyak amat sampe jutaan, tapi ‘kan lumayan?”
Zita mengangguk setuju. Sepertinya ia satu-satunya orang yang mengetahui sosok di balik akun sosial media Glam Caca. Salah satu akun influencer yang namanya cukup terkenal di kalangan penikmat konten kecantikan.
“Tapi lo tahu apa kata laki gue?”
“Apa?”
“Katanya … gue justru bakal ngerugiin perusahaan karena gue pasti minta produknya gratisan.”
“Gila si Rey!” Zita berseru marah. “Wah, pengen gue sobek mulutnya!”
Bianca mengedikkan bahu. “Dan sekarang lo tahu kenapa gue nggak punya satu pun produk CYL. Ya karena laki gue nggak pernah ngasih dan gue juga ogah lah beli di luar. Kenapa harus beli kalau gue bisa dapat dari direkturnya langsung? Bego kali gue.” Ia memutar bola matanya malas.
“Bener bener, bagus lo nggak usah sentuh-sentuh itu produk. Pelit amat dah. Ke lo yang notabene istrinya aja sepelit itu, gimana sama karyawannya, Bi?”
“Wah, kalau sama karyawannya sih di dermawan banget,” sahut Bianca sarkas.
“Seriusan? Emang sedermawan apa?”
“Dermawan banget sampe rela ngasih benihnya buat karyawan kesayangan dia.”
“Hahaha!” Tawa Zita meledak seketika.
Saking kerasnya ia tertawa, Bianca sampai terkejut. Menatap sahabatnya tak percaya. Tapi ia hanya tersenyum dan kembali melanjutkan kegiatannya. Satu kantong beres, ia berpindah ke kardus pertama. Menumpahkan isinya di atas lantai.
“Eh, bentar, deh.” Zita bersuara setelah tawanya reda. Ia mengusap ujung matanya yang basah karena tertawa.
“Hm?”
“Lo tahu ‘kan kalau Andara, tempat lo ngelamar kerja ini salah satu pesaing terkuat CYL?” tanya Zita serius.
Bianca mengangguk tanpa mengangkat wajahnya dari puluhan produk kecantikan yang berserakan di lantai.
“Bahkan kalau Andara ngeluarin produk baru, CYL suka ikut-ikutan ngeluarin produk dengan spesifikasi yang mirip buat nyaingin Andara?”
Kali ini Bianca mendongak, ia mengangguk lagi.
“Lo tahu, tapi lo—“ Kalimat Zita terhenti. Ia ternganga, melotot menatap sahabatnya. “Jangan bilang lo sengaja?”
Bianca tersenyum. “Gue nggak terima diperlakukan sejahat itu, Zi. Setelah bertahun-tahun gue ngelayanin Rey sepenuh hati sebagai istri, lo nggak bakal bisa bayangin sesakit apa hati gue pas tahu mereka selingkuh sampe si cewek hamil. Gue bener-bener nggak terima, Zi, jadi … ini langkah awal gue buat ngebales sakit hati gue ke pasangan pengkhianat itu.”
Zita semakin ternganga, tapi tatapan matanya berbinar. “Hahaha, gue suka gaya lo!” serunya senang. “Terus terus, apa rencana lo selanjutnya?”
Bianca terdiam, tangannya yang memegang salah satu produk kecantikan itu terkulai. “Gue belum bisa bilang karena gue belum pasti lolos ‘kan? Aaaakh, gue keinget lagi muka sinis bos lo, Zita!” keluhnya kesal.
“Hahaha, nggak usah dipikirin. Gue yakin lo lolos, kok.”
“Yah, semoga aja,” ucap Bianca pasrah.
***
Kelab Harmoni, pukul 21.30.
Kalandra mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja. Wajahnya merengut kesal, dengusan kasar terdengar berkali-kali darinya, bersamaan dengan pengunjung baru memasuki pintu masuk Harmoni.
“Malam ini dia juga nggak datang?” tanya Ruben yang sejak tadi memperhatikan Kala.
Bukannya menjawab, Kala justru meneguk minuman kerasnya hingga tandas.
“Berarti dia bener-bener udah nggak mau ketemu lo, Kal!” Ruben tertawa di akhir kalimatnya. Tak memedulikan ekspresi Kala yang terlihat semakin masam.
“Ck, diem lo!” sembur Kala kemudian.
“Ya udah sih, Kal. What happened on the bed just stay on the bed, berarti dia emang nganggep lo sebagai pasangan one night stand doang. Nggak ngarep lebih kayak cewek-cewek lo sebelumnya. Lo tinggal ngelupain aja kayak sebelum-sebelumnya.”
“Enak aja lo! Yang ini beda.”
“Oh ya? Apa bedanya?” Ruben mencondongkan tubuhnya ke arah Kala, penasaran. “Karena dia cantik, karena servisnya bagus? Kayaknya kalo cuma itu lo bisa nyari dari perempuan lain, deh,” lanjutnya enteng.
Kala segera melempar tatapan tajam ke arah Ruben. Ia tak suka Ruben meremehkan Bianca seperti itu. Apalagi sampai menyamakannya dengan perempuan lain. Ia beranjak dari duduknya. Memperingati Ruben dengan telunjuk teracung.
“Dengerin ini baik-baik, Ben. Jangan pernah lagi lo nyamain dia sama cewek lain. Dia beda, dan nggak akan pernah ada cewek yang bisa nyamain dia!”
Ruben menelan ludah gentar. Ia belum pernah melihat Kala marah karena seorang wanita. Maka siapapun wanita ini, pastilah telah menempati tempat spesial di hati pria itu.
Kala mendengus kasar kemudian berbalik, meninggalkan balkon lantai dua dengan langkah lebar. Ia mengeluarkan ponselnya, menelepon seseorang.
“Halo? Peserta interview kemarin yang bernama Bianca Cornelia, saya mau dia masuk ke tim saya,” ucapnya mantap.
Sementara itu, Ruben yang masih tertegun karena sikap Kala, seketika tergeragap begitu sebuah tepukan ringan mendarat di bahunya.
“Eh, ya? Ada apa?” Ia menoleh ke arah wanita yang sudah berdiri di sampingnya, matanya membulat seketika. “Vanya, ya? Yang kemarin juga ke sini?”
Wanita cantik itu tersenyum. “Bener banget.”
“Ngapain ke sini? Nyari Kala lagi?”
“Iya. Dia nggak ke sini malam ini?”
Ruben menggaruk pipinya. “Dia … udah pergi barusan.”