Bab 3

1664 Words
Shantie menghapus airmatanya, seharusnya dia membiarkan saja airmata itu agar Whisnu merasa iba dan semakin membenciku karena menyia-nyiakan wanita seperti Shantie. Shantie melewatiku tanpa banyak kata, akupun berhenti menatapnya dan memilih duduk di ranjang yang sudah lama tidak aku tiduri ini. "Ada apa Whisnu?" "Sh ... Shantie," balas Whisnu dengan nada gagap, ya selalu seperti itu kalau Shantie menyapanya. Aku mengeluarkan rokok dari saku celana dan mengambil sebatang rokok lalu menghisapnya. Aku tahu tujuan Whisnu mencariku dengan nada penuh amarah seperti tadi, aku yakin ini ada hubungannya dengan kontrak kerjasama yang aku batalkan tadi. "Ada apa Whisnu?" tanya Shantie sekali lagi. "Suruh dia masuk, kamu nggak perlu basa basi. Aku tahu kedatangannya untuk melabrakku," mereka terlalu lama berbasa basi dan itu membuatku muak, Shantie melirikku dan akhirnya membiarkan Whisnu masuk. "Silakan masuk Whisnu, aku bantuin Mami dulu nyiapin makan malam," ujar Shantie sambil melirikku sekali lagi, aku acuh dan kembali mengisap rokok agar rasa penat dan muak hilang setelah menghabiskan batang demi batang rokok yang ada. Whisnu mengangguk dan menatap kepergian Shantie dengan tatapan seolah-olah ingin menerkamnya, aku mematikan rokok lalu berdiri menghampiri Whisnu yang masih tanpa berkedip menatap punggung Shantie yang mulai hilang. "Sudah puas mengagumi istri gue?" sindirku tajam sambil meletakkan tangan di bahunya, Whisnu menatapku dengan tatapan benci dan menghalau tanganku dari bahunya. "Dia pantas untuk dikagumi, bukan disakiti," balasnya tidak mau kalah, aku mengangguk dan berdiri sambil menyandar di dinding kamar lalu bertepuk tangan seolah ucapannya adalah hal paling hebat di muka bumi ini. "Bravo... Bravo... Whisnu Gautama akhirnya bisa juga bertindak dewasa, sayang kedewasaannya tercoreng karena mengagumi dan menyukai istri gue, kakak ipar lo sendiri," sindirku sekali lagi, sejak kecil hubungan kami memang tidak pernah baik dan selalu bertentangan. Aku keras dan diapun keras, tidak ada satupun di antara kami yang mau mengalah, entah sudah berapa kali Mami menghukum dan menyatukan kami tapi sampai detik ini hanya ada amarah dan kebencian yang semakin subur tumbuh di hati masing-masing. "Jangan alihkan maksud dan tujuan gue mencari lo demi hal nggak penting itu, sekarang bukan waktunya kita membahas Shantie tapi membahas kerjasama yang elo batalkan sebelah pihak tanpa persetujuan gue, kerjasama itu gue yang bertanggung jawab! Kita sudah punya peran dan porsi masing-masing di perusahaan itu, lo jangan pernah berani masuk dan mengacaukan semua," ujarnya dengan berapi-api. "Ya, Papi memang sudah membagi perusahaan tapi ingat Whisnu sampai detik ini gue masih CEO sah dan lebih berhak memutuskan sebuah kerjasama itu layak atau tidak untuk dilanjutkan, entah setan apa yang merasuki lo sampai dengan mudahnya menyetujui kerjasama yang sangat merugikan perusahaan itu," sambungku dengan mimik serius, mata kami sama-sama tidak berkedip, tangannya mulai mengepal seakan ingin memukulku. "Lo memang manusia paling b******k di muka bumi ini, meski elo abang kandung gue tapi sedikitpun gue tidak pernah menaruh rasa hormat karena lo memang tidak pantas dihormati, suatu saat lo akan tahu rasanya diremehkan, dipecundangi dan yang terpenting dipermalukan. Oke kali ini lo bisa menang dan tertawalah sepuasnya. Semua hal yang gue senangi, sayangi dan cintai selalu elo rebut tanpa belas kasihan, suatu saat semua akan berbalik." Perkataannya sangat tajam sambil menunjukkan jarinya ke wajahku, aku hanya bisa membalas dengan mengangkat bahuku. Anak kecil seperti dia jangan pernah bermimpi mengambil apa yang sudah menjadi milik seorang River Rivanno, kecuali Shantie dan anak-anak. Silakan ambil kalau dia mau, aku akan dengan tangan terbuka akan menyerahkan mereka untuk dia, sayangnya Whisnu tidak akan punya keberanian mengambil Shantie, dia hanya akan tetap menjadi pengagum rahasia Shantie seumur hidupnya. **** Seharusnya makan malam ini terasa nikmat karena Mami khusus menyiapkan masakan kesukaanku, tapi entah kenapa napsu makanku hilang saat melihat Shantie dengan antusias menceritakan perkembangan kedua anaknya kepada Mami dan Whisnu yang terlihat antusias. "Wah kamu hebat ya, kecil-kecil sudah dapat juara tari. Cucu Oma memang harus pintar," Mami mengangkat jempolnya, Angel tersipu malu sambil menutup wajahnya. Apa sih hebatnya juara tari, seharusnya juara kelas bukan tari. "Daddy, lusa datang ya ke sekolah aku ... ada pertunjukan tari di sekolah, aku ingin Mommy dan Daddy datang," rengekan Angel semakin membuat napsu makanku hilang, aku meletakkan kembali sendok dan garpu lalu meminum air putih yang ada. "Daddy sibuk Angel banyak kerja di kantor, jadi berhentilah merengek." Angel langsung menundukkan wajahnya, semua mata memandangku dengan tatapan marah termasuk Arga. Anak itu menatapku sinis sambil berusaha membujuk Angel agar tidak menangis. "Sesibuk apa sih kamu sampai meluangkan waktu untuk hadir setengah jam saja di sekolah Angel saja tidak bisa, lebih penting pekerjaan atau anak sih. River River... Mami pikir dengan menikah dan punya anak kamu bisa sedikit bersikap dewasa tapi nyatanya kamu tetaplah manusia paling egois yang ada di muka bumi ini." "Mi, River, sudah hentikan, tadi itu hanya rengekan Angel. Jangan dipermasalahkan," Shantie berusaha menenangkan Mami dengan bujukannya, muak dengan intimidasi untuk hal yang tidak aku suka membuatku memilih untuk meninggalkan meja makan, rasa laparku hilang seketika. "River..." panggil Shantie, dia mencoba menghentikan niatku untuk pergi. "Lebih baik makan malam ini kalian lakukan tanpa manusia egois seperti aku yang lebih mementingkan pekerjaan dan tanggung jawab menjaga ribuan karyawan daripada datang ke acara sekolah anaknya." "RIVER!" teriak Whisnu, aku melemparkan serbet ke atas meja dan menyambar jaket yang tergeletak di sofa, lama-lama berada di sini bisa-bisa aku mati muda. Mami, Whisnu dan Shantie mereka bertiga hanya bisa merecokiku dengan hal-hal tidak penting. **** Ketukan pintu membuatku mengerjapkan mata, sinar matahari menyinari ruang kerjaku. Ah tanpa sadar aku tertidur di sini setelah semalam menghabiskan waktu menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda. "Masuk," aku merapikan penampilanku, jangan sampai Aura tahu kalau sejak semalam aku tidak pulang. "Pagi Pak River," sapa Jasmine sepagi ini, aku melirik jam yang ada di tanganku, jarum jam masih berada di angka tujuh. Buat apa wanita ini datang sepagi ini ke kantor, jangan bilang dia mengawasiku dan datang hanya untuk menggodaku karena kantor masih sangat sepi sepagi ini. "Pagi, ada apa?" tanyaku to the point, Jasmine berdecak sambil duduk di sofa, penampilannya lebih baik dibandingkan kemarin. Tidak ada lagi dress mini yang menonjolkan lekuk tubuhnya, kali ini dia memakai kemeja satin berwarna cream dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam, make up-nya terlihat minimalis dan untaian rambut ikal semakin membuat penampilannya sangat sempurna. "Jutek banget sih Pak, pagi itu seharusnya diawali dengan senyum... seperti ini," dia menunjukkan senyum di mulutnya, aku acuh dan kembali membaca dokumen yang belum selesai aku periksa tadi malam, "yaelah, Bapak kok kaku amat ya. Lagi perang dingin ya sama istri? Kok tumben baju semalam belum diganti, jangan-jangan Bapak tidak pulang ya," aku meletidakkan pena dengan sangat keras agar dia menghentikan basa basi busuk ini. Keberadaannya menggangguku dan membuatku muak mendengar ocehannya. "Sorry," dia membuat gerakan tutup mulut. "Jangan pernah bahas hal selain pekerjaan di sini, paham!" "Belum jam kerja Pak, jadi ya wajar saya bertanya... Bapak terlalu egois," aku menatapnya dengan tajam, dia kembali membuat gerakan tutup mulut dengan tangannya, "ya maaf, maklum saya termasuk orang yang suka ceplas ceplos dan terkadang lupa kalau sekarang saya sedang berbincang dengan atasan, baiklah kali ini tolong maafkan kelancangan saya," dia berdiri dan memberi tanda hormat dengan tangannya. "Sebaiknya kamu tolong patuhi tata tertib kantor ini, masih banyak diluaran sana yang membutuhkan pekerjaan. Kalau kamu masih seenaknya, bersiaplah kehilangan posisi di perusahaan ini," ancamku. "Siap Bos! Lapor Bos... nanti jam 8 Pak Whisnu meminta saya menemuinya untuk membahas pembatalan kerjasama kemarin," sikapnya sangat kekanakan, aku bingung bagaimana cara mengubah sikapnya itu. Jasmine memang berkompeten dalam pekerjaan tapi sikapnya sangat tidak aku sukai, dia terlalu berani dan lancang. Tok tok tok "Apa lagi!" aku kembali menghardik Jasmine yang kembali menggangguku. "Maaf River," ternyata bukan Jasmine yang mengetuk pintu tapi Shantie dengan membawa sebuah paper bag, tenagaku habis untuk memakinya. Ribuan kali aku memberitahunya untuk tidak datang ke kantor tanpa aku minta dan kali ini dia kembali mengacuhkan ucapanku, "maaf aku datang tanpa seizin kamu, tapi semalam kamu tidak pulang dan aku datang khusus membawakan baju ganti untuk kamu," sambungnya sambil menunjukkan paper bag, aku menghela napas dan menyuruhnya untuk mendekat. Aku butuh baju ganti dan mengganti baju yang sejak semalam tidak sempat aku ganti. Aku masuk ke ruang khusus yang biasanya aku gunakan untuk beristirahat, Shantie mengikutiku dari belakang. "Kamu tunggu di sini, aku mandi dulu," ujarku memberi perintah, dia mengangguk dan aku pun masuk ke dalam kamar mandi, sangat menyegarkan mandi di bawah pancuran seperti ini. Saat aku membilas badan samar-samar aku mendengar suara Shantie sedang menghubungi seseorang. Aku mengambil handuk dan menguping pembicaraannya. "Aku nggak bisa! Tolong berhenti campuri urusan rumah tanggaku, aku tidak akan pernah meminta cerai atau meninggalkan River kecuali maut! Kecuali aku mati!" Mendengar ucapannya membuat emosiku kembali tersulut, kenapa dia masih bertahan di sampingku. Apa perlu aku mengotori tangan ini dengan darahnya agar dia bisa pergi dari hidupku. "Shantie," panggilku. "Ah River, kamu sudah selesai mandinya?" tanyanya dengan gugup seolah tidak aku mendengar perbincangannya. "Kenapa gugup? Siapa yang menghubungi kamu?" aku merampas ponselnya dan melihat nama Whisnu di daftar panggilnya, "Whisnu... sejak kapan ada adik ipar menyuruh wanita yang berstatus istri kakaknya untuk menggugat cerai suaminya?" sambungku lagi. "Bukan begitu River, Whisnu hanya merasa aku tidak bahagia dengan pernikahan ini tapi itu tidak benar, aku sangat bahagia memiliki kamu dan anak-anak. Aku mohon berhentilah bertikai dengan Whisnu, bukankah lebih baik saudara kandung itu bersatu dan berhubungan baik." Wah ternyata dia bisa membaca pikiran manusia, kenapa dia bisa tahu aku tidak bahagia dengan pernikahan ini, aku sangat sangat tidak bahagia, aku muak! Aku muak! Tuhan kapan doaku Engkau kabulkan, setiap tidur aku selalu memintamu menyingkirkan Shantie dan anak-anak itu dari hidupku tapi kenapa sampai saat ini mereka masih ada, rutukku dalam hati. "Hentikan omong kosong ini dan pulanglah, aku banyak pekerjaan," aku melewatinya dan mengambil baju yang tadi sudah dipersiapkan untukku. "River, masalah pertunjukan di sekolah Angel, tidak bisakah kali ini kamu melakukan tugas seorang ayah untuk anaknya, sekali ini saja." "Astaga, sejak kapan kamu bawel seperti sekarang hah! Kamu pikir aku kerja itu untuk siapa! Untuk kalian, untuk memberi kalian makan. Tugas ayah tidak saja datang ke sekolah dan bertepuk tangan setelah melihat anaknya selesai menari, tapi ada tanggung jawab lain. Yaitu memberi mereka makan dan hidup berkecukupan, aku pusing dengan pekerjaan jangan tambah dengan keribetan kamu dan anak-anak, paham!" aku melewatinya begitu saja, pagiku harus berakhir dengan emosi dan amarah. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD