Aku sengaja pulang ke rumah setelah jarum jam menunjukkan angka dua dini hari, aku malas berdebat atau membahas masalah yang sama dengan Shantie dan ujung-ujungnya kami pasti bertengkar hebat. Aku merasa lelah setelah menyelesaikan pekerjaan yang sempat tertunda, meladeni Shantie dengan segala kebawelannya akan membuat sakit kepalaku semakin parah.
“Akhirnya kamu pulang, kamu sudah makan?” aku kaget saat menyalakan lampu mendengar suara Shantie, dia masih duduk di depan meja rias dengan penampilan seperti biasa.
Daster buluk kebesarannya, sungguh pemandangan yang menyebalkan. Tidak bisakah dia menyambut kepulanganku dengan penampilan wow atau minimal jangan pernah memakai daster buluk itu.
“Aku lelah Shantie, kalau ingin membahas itu lagi itu lagi lebih baik kamu simpan saja, aku ingin tidur dan kepalaku sakit.”
“Aku tidak pernah membahas apapun River, aku hanya bertanya. Tidak bolehkah seorang istri bertanya apakah suaminya sudah makan atau belum, kenapa kamu selalu marah setiap kita bertemu. Tidak bisakah kamu sedikit lembut seperti suami-suami lainnya, aku…” suaranya kian meninggi, “aku juga manusia yang punya batas kesabaran, aku manusia yang punya hati dan aku berusaha menafikkan kenyataan meski kita sudah menikah 10 tahun, rasa cinta itu tidak pernah ada untukku, kenapa River? Apa pengorbananku tidak cukup untuk kamu?” sambungnya masih dengan nada tinggi.
“Sudah? aku lelah… L E L A H, sudah cukup kamu recoki di kantor dan sekarang di rumah, kamu tahu? semakin kamu recoki aku dengan masalah itu lagi itu lagi maka aku semakin malas untuk pulang! Jadi berhentilah sebelum kesabaranku habis,” aku melewatinya begitu saja dan langsung menghempaskan tubuhku keatas ranjang.
Sampai kapan Engkau siksa aku Tuhan, aku muak! Aku benar-benar muak dengan rengekan, enyahkan wanita ini dari hidupku sesegera mungkin! Aku mohon Tuhan, aku mohon kabulkan doaku kali ini saja.
Aku tidak mendengar suara apapun termasuk tangisan seperti biasanya kalau kami selesai bertengkar. Aku mendengar derap langkah mendekati ranjang dan tidak lama aku merasakan Shantie ikut berbaring di sampingku.
“Maaf, maaf aku sudah membuat kamu marah dan marah setiap kita bertemu. Aku janji tidak akan membuat kamu marah lagi,” dia mendekatiku tapi aku langsung membalas dengan tidur membelakanginya.
“Sudah, lebih baik kita tidur,” aku mendengar helaan napas serta gerakannya menjauhiku. Ya, jauhi aku kalau tidak ingin menderita lagi, jauhi aku sejauh mungkin dan jangan pernah dekati aku lagi.
****
Aku tersenyum saat tidak menemukan Shantie dan anak-anak saat bangun keesokan harinya, apakah Tuhan sudah mendengar doa-doa yang setiap malam aku panjatkan dan mengabulkannya. Tidak pernah selama 10 tahun ini Shantie dan anak-anak hilang sepagi ini. Aku menyusuri tiap ruang yang ada di apartemen ini untuk memastikan sekali lagi apakah mereka benar-benar sudah pergi.
“Arga… Angel… helowwwwww,” teriakku sekeras mungkin, tidak ada sahutan dari siapapun. Hanya gema suara yang terdengar di telingaku, aku menghirup udara kebebasan. Ini yang aku tunggu selama 10 tahun, akhirnya! Akhirnya aku menjadi manusia bebas tanpa ikatan.
Tanpa rengekan Shantie mepinta cinta dariku, tidak ada rengekan Angel agar aku hadir ke sekolahnya, tidak ada tatapan sinis Arga setiap aku memandangnya.
“Aku bebaaassssssssssss,” teriakku dengan suara lantang. Aku bersiul dan berdendang riang gembira sambil membuka kulkas, rasanya aku ingin menghabiskan hari ini dengan menghabiskan waktu di rumah, menikmati setuap detik kebebasanku tanpa adanya gangguan.
Aku menghidupkan musik lalu kembali berdendang riang sambil menyiapkan sarapan untukku sendiri, hal yang selalu hanya akan menjadi impian belaka kalau Shantie dan anak-anak masih berada di rumah ini.
Ah lupa.
Aku harus memvideokan saat-saat ini, aku mematikan kompor dan berlari menuju kamarku sambil bersiul. Aku membuka lemari dan anehnya baju Shantie masih tersusun rapi bahkan koper yang biasa dibawanya kalau pergi masih tetap tersimpan rapi di ujung lemari.
“Ah mungkin dia enggan membawa apapun yang berhubungan dengan diriku,” aku kembali mencari kamera di dalam lemari tapi sampai aku bongkar kamera itu tidak juga aku dapatkan.
“Apa mungkin di kamar Arga, biasanya anak itu yang selalu memainkannya,” aku kembali menutup lemari dan bergegas ke kamar Arga, kamar itu sedikit terbuka. Aku mendorong pelan kamar itu dan mataku langsung melotot saat melihat pemandangan sangat mengerikan di dalam kamar ini.
Shantie terbaring di ranjang dengan tubuh berlumuran darah, wajahnya pucat sedangkan Arga juga bersimbah darah dengan posisi duduk di depan komputer dengan Earphone masih terpasang di telinganya.
Perutku mual, mataku berkunang-kunang. Ada apa ini! Aku hendak keluar dan berniat mepinta pertolongan tapi sebuah tangan menghentikan langkahku. Aku melirik ke bawah dan melihat Angel sedang menatapku berurai airmata, mulutnya mengeluarkan darah segar dan tubuhnya masih tertancap pisau dapur.
Ya Tuhan!
“Ampun Daddy... berhenti! sakit! Jangan tusuk lagi, sakit hiksss."
Tidak! Tidak!
Suara rintihan Angel membuatku membuka mata dengan napas tersengal-sengal. Peluh membasahi seluruh tubuhku. Astaga! Mmimpi apa itu, kenapa terasa sangat nyata, aku melirik ranjang di sampingku. Shantie masih terlelap nyenyak, aku membuang napas dan bersyukur tadi itu hanya sebuah mimpi buruk, mimpi paling buruk yang pernah singgah saat aku tidur.
"Argh mimpi sialan, bisa-bisanya aku bermimpi seburuk ini," aku bermimpi menemukan Shantie dan anak-anak berlumuran darah.
Aku membuang napas lega karena itu semua hanya mimpi, aku memang membenci mereka dan ingin mereka pergi dari hidupku tapi tidak dengan cara sesadis itu, aku ingin mereka lenyap dari hidupku tapi aku tidak akan sekejam itu membunuh dan menghilangkan nyawa mereka.
****
Tawa mereka masih kembali aku dengar pagi ini, Arga dan Angel sibuk berbicara tentang film kesukaan mereka. Shantie sibuk menyiapkan bekal yang akan mereka bawa ke sekolah, doaku kali ini tidak didengarkan oleh Tuhan.
“Mom, aku sudah pinta Uncle Whisnu untuk datang ke pertunjukanku besok, dan dia setuju. Uncle bilang aku lebih penting daripada pekerjaan sepenting apapun,” aku acuh dan sedikitpun tidak marah mendengar Angel menyindirku dengan ucapannya tadi, aku lebih memilih fokus membaca koran pagi ini terutama headline yang memberitakan kabar tentang seorang ayah membunuh anak serta istrinya.
“Kamu mau s**u?” tawar Shantie sambil menyerahkan segelas s**u putih, aku mengambil gelas itu dari tangannya lalu kembali melanjutkan beberapa paragraf berita yang belum selesai aku baca.
“Bagus deh Uncel Whisnu mau datang, kamu harus menunjukkan semua keahlian kamu, Mommy percaya kamu pasti bisa.”
“Yeeeaahhhh aku pasti bisa, karena aku Angel Putri Gautama, anaknya Mommy,” balasnya dengan nada bangga, aku melipat koran dan meletakkan gelas s**u tadi ke atas meja. Aku membersihkan mulut dengan serbet sebelum mengambil jas lalu memasangnya di tubuhku.
“Kalian diantar Pak Rustam saja, Daddy harus segera ke kantor.”
“Ya, kapan sih Daddy peduli kami pergi atau pulang dengan siapa.”
“Arga Nggak boleh ngomong seperti itu. Ayo pinta maaf sama Daddy, Mommy nggak pernah ngajarin kamu tidak sopan seperti itu!” bentakan Shantie membuatku enggan memaki Arga, anak itu tetap menantangku dan tidak mengikuti keinginan Shantie.
“Nggak! Aku nggak salah Mom, kenapa harus pinta maaf!” tolaknya, Shantie mendekati Arga dan memukulnya pelan.
“Pinta maaf! Sejak kapan kamu jadi anak pembangkang seperti ini, Mommy nggak suka! Ayo pinta maaf,” paksa Shantie, aku masih memandangnya. Aku tidak akan pergi sebelum dia pinta maaf karena bersikap kurang ajar.
“Nggak! Arga berusaha sabar tapi Daddy sudah kelewatan, kenapa Mommy bertahan hah! Kenapa Mommy tidak menikah saja dengan Uncle Whisnu yang jelas-jelas menyayangi dan memberikan kami perhatian, bukan hidup dengan Daddy yang hanya bisa menatap kami dengan tatapan benci dan muak. Pernahkah dia memeluk kami? Pernahkah dia mengucapkan selamat saat kami menjadi juara kelas, pernahkah dia peduli saat kami sakit, tidak! Sekalipun tidak pernah! Aku muak dengan Daddy!”
Plakkkkk
Aku membesarkan bola mata saat melihat Shantie menampar pipi Arga dengan tangannya, matanya berkaca-kaca, setelah itu dia pergi begitu saja ke dalam kamar. Tidak lama aku mendengar isak tangis kencang.
Arga masih memegang pipinya saat menyambar tas serta bekal yang disiapkan Shantie tadi, “Kak, tunggu Angel… jangan marah lagi kak, maafin Daddy ya,” bujuk Angel sambil mengikuti Arga keluar dari Apartemen, aku mengambil air dingin yang ada di kulkas, kepalaku panas dengan drama yang barusan terjadi.
Pagiku dirusak hal tidak penting seperti tadi, Tuhan! sampai kapan Engkau membuat hidup seperti ini, aku bisa gila! Apa perlu aku menyembahMu agar doaku Engkau kabulkan?
****
Meeting siang ini membahas rencana kerjasama dengan klien baru dari Jepang, Aura menyerahkan proposal yang diberikan perwakilan mereka kepadaku, proposal yang menarik dan menggiurkan. Aku yakin kalau kerjasama ini terjadi banyak keuntungan yang akan perusahaan ini dapatkan, tidak saja uang tapi juga nama Gautama Group akan semakin terkenal di mancanegara.
“Saya setuju isi proposal ini, sangat menguntungkan kedua belah pihak.”
“Yeah, Mr. Nakatomo berpesan agar saya menyampaikan ini kepada Tuan,” perwakilan Mr. Nakatomo menyerahkan sebuah amplop kepada Aura, Aura lalu menyerahkan amplop itu kepadaku.
“Apa ini?” aku membuka amplop itu dan melihat sebuah kertas bertuliskan sebuah undangan.
“Mr. Nakatomo ingin mengundang Tuan untuk minum teh, mohon Tuan menerima undangannya,” aku kembali membaca isi undangan ini, undangan untuk datang ke Tokyo, Jepang.
“Baiklah saya akan datang memenuhi undangan Mr. Nakamoto, sampaikan jawaban saya kepada beliau. Besok saya akan datang sekaligus menandatangani perjanjian kerjasama perusahaan kita,” balasku, perwakilan itu menjulurkan tangannya, akupun membalas dan tersenyum bahagia akhirnya aku bisa melakukan kerjasama dengan perusahaan milik Mr. Nakatomo, tidak mudah menjadi partnert bisnis dia. Butuh kesabaran dan keahlian untuk menaklukkan hatinya.
Setelah perwakilan itu pergi aku langsung menyuruh Aura menyiapkan tiket pesawat, undangan ini akan menjadi tiket agar aku bisa menghindar dari rengekan dan kebawelan Shantie untuk beberapa hari ke depan.
“Oh iya, Mbak Jasmine ikut Pak?” tanya Aura, ya tentu saja dia harus ikut.
Dia yang akan menemaniku menemui Mr. Nakatomo sekaligus menjadi lawyer yang akan mengurus kelegalan surat perjanjian yang besok akan aku tanda tangani, meski sebenarnya sangat riskan membawa w*************a itu bersamaku.
****