Bab 5

1548 Words
Aku membuka kaca mata hitam saat melihat sepasang kaki jenjang berdiri di depanku, Jasmine melambaikan tangannya ke arahku. Aku berdecak kesal melihat penampilannya siang ini, sangat berlebihan seakan kepergian kami kali ini untuk liburan atau tamasya.     “River… upsss sorry maksud saya Pak River,” sapanya dengan centil, aku kembali memasang kacamata hitam agar mataku tidak silau dan sakit melihat penampilannya, bulu-bulu memenuhi lehernya apakah dia lupa di Jepang saat ini sudah tidak musim dingin lagi?     “Pak, ih disapa juga,” dia sengaja duduk di sampingku dan sengaja mendekatkan tubuhnya, dia pikir aku akan tergoda atau suka melihat kelakuannya, aku kembali berdecak dan sedikit menjauh darinya.     “Kamu kenal saya?” ujarku dengan mimik wajah serius, dia memanyunkan bibirnya dan melepaskan bulu-bulu aneh tadi dari lehernya lalu memasukkan bulu itu ke dalam tas tangannya.     “Ya kenal lah, Bapak kok nggak peka sih. Saya dandan secantik ini karena hari ini kita akan pergi ke Jepang berdua untuk pertama kalinya, ya saya harus manfaatkan situasi ini agar hubungan kita yang sedikit kaku bisa mencair, gitu loh pak.”     “Cantik? Kamu punya kaca nggak di rumah? Sejujurnya lebih cantik istri saya saat memakai daster buluk daripada penampilan kamu siang ini, paham!”     Entah kenapa aku malah membandingkan Shantie dan Jasmine siang ini, sepertinya mimpi semalam membuatku kacau. Tidak! Jasmine tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan Shantie sampai kapanpun, aku kembali mencoba fokus dan memeriksa kembali dokumen-dokumen yang aku butuhkan saat bertemu Mr. Nakatomo besok.     “Hmmm saya boleh tanya satu hal nggak Pak?” lagi-lagi Jasmine merecokiku dengan pertanyaan tidak pentingnya.     “Kalau pertanyaan seputar pekerjaan ya silakan tapi kalau tidak berhubungan lebih baik kamu tutup mulut dan fokus memeriksa apakah perjanjian yang akan kita tanda tangani besok sudah sempurna atau belum,” kataku dengan tegas.     “Saya jadi penasaran bagaimana bentuk dan rupa istri Bapak, kok bisa tahan sih hidup bersama Bapak yang kaku, dingin dan aneh meski ganteng sih, sayang nggak punya selera humor yang baik. Hidup Bapak selalu perfectsionis dan itu sangat membosankan, come on Pak sekali-kali jangan tunjukkan wajah serius. Relaksssss dan tersenyumlah. Bapak pasti tambah ganteng kalau tersenyum walau sedikit,” aku memilih memasang earphone di telinga daripada mendengar ocehan Jasmine yang tidak ada henti-hentinya, sepertinya aku salah membawanya ikut ke Jepang.     Untungnya suara panggilan yang mepinta para penumpang untuk segera naik ke pesawat terdengar, aku meninggalkan Jasmine dan memilih masuk ke dalam pesawat terlebih dahulu. Aku bersyukur Aura sengaja memisahkan tempat dudukku dengan Jasmine, aku mengambil kelas bisnis sedangkan Jasmine kelas ekonomi, jadi sepanjang perjalanan selama delapan jam menuju Jepang aku tidak perlu mendengar ocehan Jasmine.     Drttt drttt     Baru akan menon aktifkan ponsel aku melihat nama Shantie muncul di layar ponselku, h aku bahkan tidak memberitahunya tentang kepergianku ini, aku ingin mengangkatnya tapi salah satu pramugari memberi kode agar aku segera mematikan ponsel, setelah ponsel mati akupun mencoba untuk tidur sejenak. Agar sesampainya di Jepang tenagaku bisa segera pulih. ****     Kami langsung menuju hotel sesampainya di Tokyo, Jepang, aku mengacuhkan teriakan Jasmine yang memintidaku untuk menunggunya yang kesusahan membawa koper yang jumlahnya tidak sedikit, sedangkan aku hanya membawa baju yang melekat di badan ini saja. Buat apa susah payah membawa koper kalau kami pergi hanya untuk dua hari, aku bisa membeli baju di sini dan tidak perlu kesusahan menenteng barang yang bisa saja menghambat gerakku selama di Jepang.     “Pak, aduh bisa nggak sih langkahnya jangan terlalu cepat. Kakiku pegal nih,” rengeknya manja, aku masih acuh dan masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu kedatangan kami. Aku kembali memasang earphone agar tidak mendengar ocehan Jasmine yang tidak ada henti-hentinya.     Aku mengeluarkan ponsel dari saku jas dan kembali mengaktifkannya untuk memeriksa apakah ada email dari Aura selama aku pergi, bukannya email yang aku terima tapi puluhan SMS dari Shantie.       From : Shantie     River, kamu di mana… tolong hubungi aku segera, penting.     From : Shantie     River, ponsel kamu kenapa tidak aktif. Aku hubungi kantor untuk bertanya tentang kamu, Aura bilang kamu sedang keluar, kamu ke mana? Tolong segera hubungi aku, ada hal penting.     Berbagai SMS lainnya yang datang secara bertubi-tubi, sudah cukup sepanjang perjalanan aku direcoki Jasmine dan sekarang dia juga merecokiku dengan SMS sebanyak ini, entah kapan hidupku bisa tenang dan terbebas dari gangguan wanita-wanita ini.     Drttt drttt     Lagi-lagi aku melihat nama Shantie di layar ponselku, kita lihat sepenting apa kabar yang dia ingin sampaikan kepadaku.     “Halo”     “Thank God! akhirnya kamu angkat telepon aku”     “Ada apa”     “Kamu di mana? kenapa ponsel kamu tidak aktif. Aku sudah hampir putus asa mencari kamu, River”     “Aku di Jepang ada pertemuan dengan klien besok.”     “Jepang? Bahkan kamu tidak memberitahuku tentang kepergian kamu ke sana, ternyata aku hanya buang-buang waktu kuatir dan kalut memikirkan kamu”     “Jangan mulai Shantie, aku akan matikan ponsel ini kalau kamu masih bersikap seperti itu. Berita penting apa yang mau kamu sampaikan, ayo buruan sebentar lagi aku akan tiba di hotel”     “Tidak jadi. Apa yang aku sampaikan ini belum tentu penting untuk kamu, selesaikan saja urusan kamu di sana”     “Shantie!”     “Apa kamu akan kembali ke Jakarta saat aku beritahu Arga mengalami kecelakaan? Tidakkan! Jadi kita sudahi saja perbincangan tidak penting ini, bukannya rapat dan kerjasama di sana lebih penting dari apapun bahkan lebih penting dari nyawa anak kamu sendiri”     “Aku yakin kondisinya tidak parah, kamu pasti bisa menanggulanginya tanpa aku”     “Ya, kondisinya tidak parah hanya luka-luka kecil yang aku yakin akan sembuh seiring berjalannya waktu. Luka itu tidak separah luka yang ayahnya beri, luka bathin yang aku yakin entah kapan akan sembuh”     “Jangan mendramatisir keadaan, lebih baik kita sudahi perbincangan ini”     Aku mematikan ponselku dan menyimpannya kembali ke dalam kantong jas, berbicara dengan Shantie tentang apapun selalu diakhir dengan pertengkaran dan pertengkaran.     “Ternyata sama saja, tidak sama saya ataupun istri sendiri sikap Bapak pun tetap sama, dingin dan terkadang tanpa perasaan, saya yakin istri Bapak memberi kabar tentang hal penting tapi kenapa reaksi Bapak datar dan tanpa ekspresi, Bapak memang tidak punya hati,” sindir Jasmine dengan wajah penuh sindiran.     “Bukan urusan kamu,” balasku tidak kalah dingin.     “Ya ya ya memang bukan urusan saya, tapi ada saatnya nanti Bapak menyesal pernah bersikap seperti ini saat semuanya berbalik, saat keluarga Bapak bosan meladeni sikap Bapak dan memutuskan meninggalkan Bapak.”     “Stop Jasmine! Berhenti ikut campur dalam urusan pribadi saya, kita hanya sebatas partner kerja!” ancamku sambil menunjuk wajahnya dengan jariku.     “Okay, sepertinya saya salah menilai orang. Baiklah, mulai sekarang saya tidak akan pernah mau ikut campur dengan urusan pribadi Bapak, saya cukup tahu Bapak termasuk orang seperti apa, Bapak terlalu egois dan keras kepala,” sambungnya lagi dengan tatapan kecewa.     “Ya bagus, inilah saya dan saya tidak peduli dengan pandangan kamu tentang diri saya,” balasku tidak mau kalah, ****     Mr. Nakatomo menyerahkan salinan perjanjian yang sudah sama-sama kami tanda tangani, kerjasama ini akan semakin memperkuat jaringan Gautama Group di bidang pertambangan, memiliki Partnert kerja di Jepang akan semakin memantapkan posisiku sebagai CEO dari pihak-pihak yang ingin menjegalku, termasuk Whisnu.     “Saya senang berkenalan dan bekerjasama dengan anda, Mr. Gautama,” ujar Mr Nakatomo sambil menjulurkan tangannya kepadaku, aku membalas dengan senyum sumringah. 3 tahun aku berusaha mati-matian mengikat Mr. Nakatomo untuk menjalin kerjasama dengan perusahaanku dan kini akhirnya mimpiku menjadi kenyataan.     “Saya harap anda bersedia datang ke acara ulang tahun Gautama Group minggu depan, saya akan menjamu anda dengan makanan khas Indonesia dan juga memperkenalkan anda kepada para pemegang saham.”     “Tentu… tentu saja saya akan datang, saya sangat ingin melihat bagaimana Mr. Gautama menjalankan perusahaan itu, saya pasti akan datang ke pesta itu. Saya yakin pesta itu akan didatangi tamu-tamu penting dan tentu saja wanita-wanita cantik dan indah dipandang mata, seindah perjanjian di antara kita,” aku membalas ucapannya dengan senyum, sebelum berpisah aku dan Mr. Nakatomo sekali lagi bersulang untuk memantapkan kerjasama yang akan segera kami mulai.     Setelah menyelesaikan semua urusan di Jepang, akupun memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta, dengan memegang surat perjanjian kerjasama ini aku bisa memulai langkah berikutnya. Aku yakin posisiku akan semakin sulit digeser saat aku bisa meyakinkan Mr. Tan dari China untuk menanamkan sahamnya di perusahaan. Whisnu akan mati langkah untuk menjatuhkanku.       Jasmine benar-benar menepati ucapannya, dia tidak berusaha menggodaku dan hanya bicara saat aku bertanya tentang pekerjaan, bahkan dia memilih pergi menggunakan tidaksi saat kami ingin ke bandara.     “Ah iya saya mengajukan cuti satu minggu dan akan kembali ke Jakarta minggu depan, semua perjanjian sudah saya cek dan tidak ada masalah, kalau butuh bantuan hukum selama saya cuti lebih baik Bapak mencari pengganti saya,” ujarnya saat kami tiba di bandara.     “Baiklah,” balasku singkat sebelum masuk ke ruang tunggu bandara sambil menunggu waktu keberangkatanku ke Jakarta. ****     Seperti biasa Pak Rustam selalu menunggu kedatanganku dengan setia, dia langsung mengambil barang-barang yang aku bawa dan memasukkannya ke dalam mobil. Rasanya seluruh sendi tubuhku mau copot, tidur dan merebahkan diri di ranjang adalah hal penting yang akan aku lakukan sesampainya di rumah.     “Bagaimana kondisi Arga?” tanyaku kepada Pak Rustam, Pak Rustam melirikku melalui kaca spion.     “Den Arga masih di rumah sakit Tuan, maaf saya lalai dan membiarkan orang yang menabraknya melarikan diri, saya hanya ingat plat mobil b******n tidak bertanggung jawab itu. Cih bisa-bisanya mengemudikan mobil sekencang itu di depan sekolah yang banyak anak-anaknya, saya yakin kalau b******n itu sedang mabuk karena terlihat jelas mobil itu memang mengincar Den Arga.”     “Antar saya ke sana, saya mau lihat kondisi Arga,” pintaku, Pak Rustam mengangguk dan mulai melajukan mobil menuju rumah sakit tempat Arga dirawat.     Sesampainya di rumah sakit Pak Rustam langsung menunjukkan jalan menuju ruang rawat Arga, aku masih sibuk memeriksa email dari Aura, ada beberapa email penting yang harus aku jawab sesegara mungkin.     “Pak…” langkah Pak Rustam berhenti, akupun ikut berhenti lalu melihat pemandangan luar biasa di depanku, Pak Rustam langsung membalikkan badan dan meninggalkanku begitu saja.      Aku menyimpan kembali ponselku dan langsung bertepuk tangan. Dua insan yang sedang berpelukan itu langsung melihat ke arahku, wajah mereka shock bercampur kaget.     “Ri…River.”     “Good job Shantie!” aku menunjukkan jempol ke arahnya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD