"Good job Shantie!" aku menunjukkan jempol ke arahnya.
Dia hendak menghampiriku tapi aku langsung mengangkat tangan agar dia berhenti membela diri, apa yang aku lihat sudah menjelaskan hubungan di antara mereka. Cemburukah aku? Tentu tidak. Aku tidak akan pernah cemburu kalau ada laki-laki lain di antara kami, aku akan dengan senang hati memberikan Shantie ke tangan Whisnu kalau itu yang dia mau.
"Kamu salah sangka, kami hanya..."
"Hanya sedang menikmati suasana romantis dengan berpelukan di tempat umum, good job Shantie," aku kembali mengangkat tanganku, Whisnu hanya menatap kami tanpa sedikitpun membela diri.
"Dengar dulu River, kamu salah sangka... aku hanya butuh teman berbagi, itu saja," sambungnya, aku tersenyum sinis dan menganggukkan kepalaku.
Teman berbagi? Entah apa saja yang telah mereka bagi di belakangku, apakah dia juga sudah membagi ranjang dengan adik iparnya? Wow... amazing.
"Ya ya ya, aku lebih mempercayai apa yang aku lihat daripada apa yang aku dengar, silakan lanjutkan. Aku tidak akan mengganggu waktu berbagi kalian, nikmati sampai puas," aku mempersilakan mereka melanjutkan drama penuh airmata seperti tadi, niatku untuk melihat kondisi Arga hilang seketika, aku memutuskan untuk pulang dan mengakhiri ini semua.
"Tidak bisakah kita bicara tanpa ada emosi, River? Tidak bisakah kali ini kamu dengar dulu alasanku? Tidak bisakah kamu sedikit membuka hati dan belajar kalau yang kamu lihat itu belum tentu kenyataan yang sebenarnya?"
"Sejak tadi aku tidak emosi. Aku tersenyum, tertawa bahkan memuji kamu, ayo tunjukkan bagian mana yang menunjukkan kalau aku emosi, marah dan cemburu saat melihat kamu berpelukan dengan Whisnu yang notabene adikku?"
"River, kalau elo jantan jangan pernah sakiti Shantie lagi, sudah cukup airmatanya tumpah untuk b******n tak tahu diri seperti elo, elo nggak pantas dicintai!" sela Whisnu, Shantie memutar tubuhnya.
"Diam! Ini urusan kami... lebih baik kamu pulang, dan terima kasih sudah menemaniku, tapi sekarang aku ingin bicara dengan suamiku berdua saja, please" pinta Shantie dengan nada mengiba, Whisnu membuang napasnya dan menatapku dengan tatapan penuh kebencian sambil melewatiku begitu saja.
Aku hanya bisa tertawa sinis sekali lagi, akting mereka memang mumpuni dan siapapun yang melihat pasti akan menganggap akulah yang salah.
"Bisa kita bicara dengan pikiran dan suasana tenang?" pintanya.
"Tidak ada yang harus dijelaskan, apa yang aku lihat sudah menjelaskan semuanya," balasku singkat, dia menatapku tanpa berkedip. Aura mukanya sangat terasa keras dan dingin.
"Apa ini yang kamu tunggu? Aku melakukan kesalahan kecil dan kamu ada alasan untuk menceraikan aku?" tebaknya dengan benar.
Rasanya aku ingin berteriak dan mengatakan 'ya, ini yang aku tunggu' tapi itu tidak mungkin aku lakukan, aku ingin dia yang pergi dan menggugat cerai bukannya aku.
"Aku tidak akan menceraikan kamu, kamu tahu bagaimana sifatku, Shantie."
"Ya, kamu memang tidak akan pernah menceraikan aku, tapi aku tahu hatimu selalu mengutukku River, mengutuk agar aku segera menyingkir dari hidupmu. Bahkan kamu mengutuk kedua anakmu," dia tertawa miris sambil menghapus airmatanya yang turun, "dan Tuhan sepertinya mengabulkan doa yang selalu kamu panjatkan. Arga kecelakaan dan dokter memvonisnya tidak akan bisa menggerakkan kakinya lagi, sebagai Ibu hatiku hancur. Aku butuh sandaran untuk kuat menjalani ini semua, punya suami tapi seperti hidup sendiri. Anak-anakku punya Ayah tapi seperti anak yatim," sambungnya dengan suara bergetar.
Arga lumpuh? Aku mengepalkan kedua tanganku, b******n b******k! Aku berusaha bersikap tenang, aku tidak akan segan mengotori tangan ini dengan darah b******n tidak bertanggung jawab itu. Aku akan membuatnya bertekuk lutut di kaki Arga.
"Aku akan mencarikan dokter terbaik, Arga pasti bisa berjalan lagi," balasku datar dan tanpa ekpresi, menangis dan meratapi nasib tidak akan mengubah keadaan.
Shantie menatapku tajam lalu kembali tertawa miris, dia memukul dadanya beberapa kali sambil membuang napas, "Hanya itu reaksi kamu? Tidakkah kamu merasa sedih anak kamu hidupnya akan berakhir di kursi roda? Terbuat dari apa hati kamu!" suaranya mulai meninggi, "kamu tahu, penyesalan terbesar dalam hidupku cuma satu yaitu menikah, mencintai dan memberi anak-anakku Ayah seperti kamu, kamu memang berhasil menjalankan perusahaan tapi kamu gagal sebagai Ayah dan Suami. Kamu terlalu egois dan hanya memikirkan diri sendiri, aku muak!" dia kembali menghapus airmatanya dan meninggalkanku menuju ruang rawat Arga.
Aku lebih muak, aku muak menjalani apa yang tidak aku inginkan, aku muak mendengar rengekan kamu, aku muak melihat kenakalan anak-anak yang membuat kepalaku pusing, rutukku dalam hati.
****
Dua hari ini Shantie tidak pulang dan lebih memilih menjaga Arga di rumah sakit, hanya Pak Rustam sesekali datang untuk mengambil keperluannya dan juga anak-anak. Dua hari ini aku memutuskan cuti untuk menikmati kesendirianku, kapan lagi aku bisa hidup sendirian tanpa mereka.
Ting tong ting tong
Rasanya aku ingin memaki siapapun yang datang mengganggu waktu istirahatku, Pak Rustam tidak mungkin karena tadi dia sudah datang mengambil pakaian ganti untuk Shantie, aku berdecak kesal dan turun dari ranjang untuk melihat siapa tamu yang datang.
"Cari siapa?" tanyaku saat melihat melalui lubang kecil di pintu.
"Maaf saya tetangga sebelah, hanya ingin memberikan kue perkenalan," balasnya dengan ramah, aku membukakan pintu walau hanya sedikit dan melihat laki-laki seumuran Whisnu sedang berdiri sambil memegang sebuah kotak bermerek toko kue terkenal di kota ini.
Ah mungkin tetangga sebelah dan berniat menyapaku saja. Aku membuka pintu lebih lebar dan mencoba bersikap ramah.
"Oh tetangga apartemen sebelah?" aku menunjuk apartemen yang hampir enam bulan ini kosong, laki-laki itu mengangguk dan menyerahkan kotak kue itu kepadaku.
"Saya, Haykal dan ah ini istri saya, Rubi," aku melihat seorang wanita mendekati laki-laki bernama Haykal itu dan tersenyum kepadaku, sepertinya mereka pasangan yang baru menikah.
Wanita bernama Rubi itu menjulurkan tangannya kepadaku, akupun membalas untuk menghormati mereka.
"Saya River, silakan masuk dan kita bisa cicipi kue ini bersama-sama. Kue sebanyak ini tidak akan habis kalau saya makan sendirian," ajakku agar terlihat sopan, mereka menggeleng dan menolak ajakanku.
"Tidak perlu, kami hanya ingin berkenalan dengan tetangga baru, kami permisi dulu Pak River. Senang berkenalan dengan anda," dia kembali menjulurkan tangannya dan akupun membalas julurannya.
Saat aku akan menutup pintu aku mendengar teriakan Angel memanggilku, "Daddy..." Haykal dan Rubi menoleh begitupun aku, aku melihat Angel datang bersama Pak Rustam, wajah Pak Rustam sedikit tidak enak melihat ke arahku.
"Ah itu putri Bapak?" tanya Haykal, aku mengangguk. Angel menghambur kepelukanku dan melirik Haykal serta Rubi.
"Iya, anak kedua saya," balasku singkat, setelah basa basi Haykal dan Rubi kembali masuk ke apartemen mereka.
"Kenapa Angel bisa di sini?" tanyaku kepada Pak Rustam, Pak Rustam menggaruk kepalanya. Mungkin dia takut aku marah atau membentaknya.
"Itu Pak... aduh saya bingung mau ngomong apa."
"Aku pulang karena nggak ada yang jaga di sana Dad, Kak Arga masih belum sadar sedangkan Mommy lagi sakit, Mommy kenapa nangis mulu ya Dad. Bahkan sudah dua hari ini Mommy nggak mau makan."
"Ibu pingsan tadi Pak, dokter menyuruh Ibu untuk di rawat saja, Non Angel nggak ada yang jaga makanya saya antar pulang saja, kasihan," ujar Pak Rustam memberitahuku kenapa Angel bisa berada di sini, aku membuang napas dan menyuruh Pak Rustam untuk pulang dan membiarkan Angel bersamaku.
"Mommy sakit apa?" tanyaku. Angel mengangkat bahunya dan masuk ke dalam.
Shantie pingsan? Selama kami menikah hanya dua kali aku melihat Shantie pingsan, pertama saat hamil Arga dan kedua saat hamil Angel. Ah tidak mungkin pingsannya kali ini karena hamil lagi, tidak! Mempunyai anak lagi tidak pernah masuk dalam daftar rencana masa depanku. Memiliki anak lagi akan semakin menghambat langkahku untuk hidup bebas.
****
"Dad, bangun... aku lapar," rengekan Angel membuatku menutup telinga dengan bantal.
Dia kembali menggoyang-goyangkan kakiku dengan tangannya agar aku segera bangun, aku mengacuhkan rengekannya dan memilih melanjutkan tidurku.
"Dad! aku lapar huhuhuhu."
"Arghhhh kamu bisa makan kue yang diberi tetangga tadi, Daddy lagi tidur jangan diganggu!" makiku dengan keras, wajahnya menunduk ketakutan dan memilih keluar dari kamarku.
"Dasar pengganggu!" aku kembali mencoba memejamkan mata, baru akan memejamkan mata samar-samar aku mendengar teriakan dan isak tangis Angel.
Aku kembali membuka mata dan berdecak kesal. Ada saja gangguan yang membuat emosiku naik turun dan kali entah ulah apa lagi yang dia lakukan untuk mengganggu ketenanganku.
Aku bergegas mencari Angel, isak tangis Angel semakin jelas terdengar di dapur. Mataku langsung melotot saat melihat sebuah pisau tertancap di kaki Angel.
"Astaga! Kamu kenapa?" tanyaku sedikit keras, dia menatapku ketakutan.
"Aku lapar hikssss, aku mau ambil pisau untuk potong kue itu tapi... tapi pisaunya tinggi, saat aku mau ambil pisau itu jatuh dan menusuk kakiku, Dad, sakitttttt.... Hikssss," ujarnya menjelaskan kenapa pisau tertancap di kakinya, aku langsung menggendongnya dan membawanya menuju rumah sakit.
"Diam, jangan banyak bergerak. Sebentar lagi Daddy akan membawa kamu ke rumah sakit," rasanya Tuhan kembali mengujiku dengan cobaan kecil, awalnya Arga dan sekarang Angel.
Apa mungkin ucapan Shantie ada benarnya, Tuhan menghukumku dengan menyakiti anak-anak? Tidak! Dalam doaku tidak pernah terbersit sedikitpun doa untuk mencelakakan mereka, aku hanya ingin mereka pergi bukan terluka.
"Sakittttt, Mommy hiksss," aku memeluk tubuhnya erat, mungkin sejak dia lahir baru kali ini aku memeluknya seerat ini, dia semakin menenggelamkan wajahnya di dadaku, isak tangis mulai menghilang.
"Daddy, Angel love you so much... jangan benci Angel ya," bisiknya pelan, aku tidak membalas dan hanya fokus menghentikan pendarahan di kakinya.
Aku membawa Angel ke rumah sakit yang sama di mana Arga dan Shantie di rawat, aku membaringkan Angel di ranjang UGD.
"Jangan pergi Dad, Angel takut," rengeknya saat dokter ingin membersihkan luka di kakinya. Aku melepaskan pegangannya, aku tidak boleh mengikuti kemauannya, semakin aku dekat dengannya akan semakin sulit untuk lepas darinya.
"Dad! Angel takut! Jangan pergi hiksss... Jahat... Daddy Jahat!" teriaknya saat aku selangkah demi selangkah meninggalkan ruang UGD dan menyerahkan semuanya kepada dokter yang merawat, teriakan Angel terdengar sampai keluar. Aku menutup mata dan menganggap itu hanya teriakan anak kecil ketakutan.
****