Enam

1392 Words
Alinka tidak sadar sudah tertidur di atas sofa setelah memutar otak untuk mencari jawaban dari masalahnya. Dan semuanya jelas tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya dengan benar. Kalau tidak tindakan kriminal, ya menjual diri. Tetapi Alinka jelas tidak mungkin melakukan salah satunya. Maka pilihan terakhir adalah Alinka harus menjual salah satu dari koleksinya. Entah itu tas atau sepatunya.   Dan hal itu lebih tidak mungkin lagi. Alinka sangat menyayangi barang-barangnya, jadi perempuan itu tidak akan mampu menjual mereka.   Alinka masih tertidur pulas ketika merasakan sesuatu yang basah dan dingin menyentuh bibirnya. Dengan mata masih terpejam rapat, Alinka menyecapkan bibirnya, untuk kemudian menemukan rasa manis menyentuh lidahnya.   “Hmm?”   Sekali lagi, Alinka merasakan sesuatu yang basah dan dingin menyentuh bibirnya, kali ini lebih banyak sehingga secara otomatis mulut Alinka terbuka dan benda basah, lembek serta dingin itu masuk ke dalam mulutnya.   “Mmh?” Alinka menyecapkan lidahnya, mencoba merasakan apa yang baru saja masuk ke dalam mulutnya tersebut. Dan  rasa itu tidak asing. Terasa seperti ice cream. Hah, ada-ada saja mimpi di siang hari. Tetapi anehnya terasa begitu nyata.   Dan sekali lagi, sesuatu yang seperti ice cream itu menyapu bibirnya membuat Alinka kembali membuka mulut untuk menerima sendokan ice cream yang lebih banyak saat ini. Enak juga mimpi makan ice cream, pikirnya.   Alinka bergerak mengusap bibirnya dengan punggung tangan dan seketika tersadar kalau tangannya menyentuh sesuatu yang lengket di bibirnya. “Hah?” Alinka langsung terjaga dari tidurnya untuk kemudian menemukan bibir, dagu hingga lehernya belepotan ice cream strawberry. “Ini apaan sih?” tanyanya bingung melihat kekacauan tersebut. Lalu Alinka menoleh dan menemukan satu sosok yang kemungkinan besar telah menjadi pelaku dari kekacauan tersebut.   Seorang bocah laki-laki dengan mata bundar dan rambut berponi yang terlihat menggemaskan, lengkap dengan kedua pipi gembil yang merona kemerahan, sedang memegang sebuah cup ice cream di tangan, menatap Alinka sambil berkedip.   Alinka ikut berkedip, kepalanya miring ke kiri dan kanan untuk memastikan kalau sosok bocah kecil di hadapannya saat ini bukan halusinasi atau bagian dari mimpinya. “Kamu siapa?” tanyanya setelah yakin kalau sosok menggemaskan di hadapannya ini jelas-jelas manusia nyata.   Bocah itu berkedip sebelum kemudian menyodorkan sendok berisi ice cream strawberrynya yang sudah sedikit mencair. “Mo lagi?” tanyanya dengan suara yang sama menggemaskannya dengan parasnya.   “Hah?” Alinka menatap bocah itu bingung. “Apanya yang lagi?”   “Ekimnya, mo lagi?” tanya bocah itu lagi.   “Oh, maksudnya ice creamnya mau lagi?” Alinka yang baru bangun tidur biasanya lebih sulit mencerna sesuatu, tetapi entah mengapa kali ini Alinka justru seperti lebih mudah memahami apa yang dimaksud bocah tersebut.   Bocah itu mengangguk.   “Sebentar, kakak lihat di kulkas dulu masih ada apa nggak ice creamnya.” Alinka lalu mencoba bangkit dari atas sofa namun bocah itu dengan cepat menarik ujung kaosnya sehingga Alinka menghentikan gerakannya dan menatap bocah itu dengan sebelah alis naik. “Kenapa?”   “Kakaknya mau lagi?” tanya bocah itu kini dengan pengucapan yang sedikit lebih jelas. “Ini!” Bocah lelaki itu menyodorkan cup ice cream di tangannya ke arah Alinka.   Kini Alinka mengerti sekarang. Bocah itu bukan sedang meminta ice cream lagi tetapi justru menawarkan Alinka apakah perempuan itu mau disuapi lagi atau tidak. Ya ampun anak siapa sih ini menggemaskan sekali!   “Rayn, Oma bawa biskuit nih!”   Alinka menoleh ke arah ibunya yang muncul entah dari mana membawa beberapa bungkus biskuit di tangan. “Mam, ini anak siapa?” tanyanya pada sang mama.   Dewi menghampiri putrinya dan bocah laki-laki lucu tersebut sambil meletakkan biskuit dan snack yang dibawanya ke atas meja. “Ini anaknya Bara, tetangga sebrang rumah kita,” jawabnya sambil mengangkat tubuh bocah bernama Rayn itu untuk ia dudukkan di atas pangkuannya. “Tolong ambilin tissue sini.”   Alinka mengulurkan tangannya untuk mengambilkan tissue sesuai perintah sang mama. Tatapannya masih terfokus pada bocah menggemaskan di atas pangkuan mamanya tersebut. “Bara—oh Mas-mas yang jarang keluar rumah itu? Yang kalau keluar rumah bener-bener cuma di mobil aja? Aku baru tahu dia punya anak.”   Dewi berdecak, tangannya sibuk membersihkan sisa-sisa noda ice cream yang mengotori tangan mungil Rayn. “Kamu sendiri memangnya pernah keluar rumah? Kamu kerjaannya juga kalau nggak mendem di kamar, keluar ke mall. Memangnya kamu kenal sama tetangga yang lain? Kan nggak.”   Alinka mengerucutkan bibirnya, karena apa yang dikatakan ibunya tidak ada yang meleset. Sejak mereka pindah ke komplek perumahan ini beberapa tahun lalu, Alinka sama sekali tidak pernah bergaul dengan tetangganya. Well, di komplek perumahan ini memang warganya juga terkesan individualis. Mungkin hanya beberapa orang saja yang saling mengenal dengan tetangga sendiri, selebihnya yang hanya sekadar tahu saja, tidak lebih.   Tetapi untuk Rudi dan Dewi sendiri, mereka cukup bersosialisasi dengan tetangga mereka, bahkan tidak jarang Alinka melihat mama dan papanya itu berkunjung ke rumah tetangga mereka.   Soal Bara yang disebut-sebut sebagai ayah dari bocah menggemaskan bernama Rayn di pangkuan mamanya saat ini, Alinka pernah lihat sih beberapa kali. Kalau tidak salah saat Alinka masih kuliah dulu. Bara yang ada di ingatan Alinka sih seperti lelaki dewasa mapan yang cukup good looking. Hanya sebatas itu saja. Alinka bahkan tidak tahu lelaki itu sudah menikah atau belum saat itu karena ya untuk apa juga Alinka peduli.   Tatapan Alinka kini terpaku pada Rayn yang kini sedang menikmati biskuit coklat yang baru saja diberikan oleh mamanya. “Terus dia kenapa di sini, Ma? Ayah atau Ibunya ke mana?” tanya Alinka penasaran.   “Tadi Mama nggak sengaja papasan sama Nak Bara dan Rayn di luar, Nak Bara kelihatan bingung gitu. Pas Mama tanya, katanya dia habis dari rumah Nak Ares dan Jani yang rumahnya nomor lima belas itu. Mau titip Rayn di sana, tapi katanya mereka lagi nggak di rumah.” Dewi pun menjelaskan kronologi kejadian hingga akhirnya Rayn dititipkan padanya. “Terus karena Mama nggak tega lihat dia kebingungan gitu dan katanya sudah harus pergi tapi Raynnya nggak mau dititipin ke daycare, akhirnya Mama coba ajak ngobrol Raynnya. Terus Mama tanya mau nggak ikut ke sini, dianya mau. Yaudah deh, akhirnya Mama bawa.”   Alinka menatap mamanya takjub. Selain mamanya adalah orang yang senang bersosialisasi, mamanya ini memang memiliki sifat yang tidak tegaan dengan orang lain. Kalau Alinka yang ada di posisi mamanya saat itu, tentu saja mana peduli. Hehe.   Tetapi Alinka lebih takjub dengan bocah lelaki yang sedang fokus dengan biskuitnya itu. Tidak semua anak kecil bisa ditinggal pergi oleh orang tuanya, apalagi dititipkan dengan orang yang asing untuknya. Bagaimana cara mamanya membujuk bocah itu? Bahkan tadi dari yang Alinka dengar, bocah itu bahkan menolak dibawa ke daycare atau tempat penitipan. Bagaimana bisa bocah itu justru mau ikut dengan mamanya?   “Terus kok dia mau ikut sama Mama?” tanya Alinka penasaran.   “Ya Mama ajak ngobrol aja, coba bujuk pakai kue sama ice cream, terus dianya mau.” Dewi menatap putrinya sambil mengusap lembut rambut Rayn yang duduk dengan nyaman di pangkuannya. “Papanya juga tadi sampai bingung, tapi karena buru-buru banget jadi nggak punya pilihan terus yaudah deh. Lagian cuma sebentar katanya, sejam lagi juga balik.”   Alinka mengangguk-angguk. Tatapannya kembali terpaku pada Rayn. Tangan Alinka pun terulur untuk mengelus lembut pipi gembilnya yang kemerahan. Duh, ingin Alinka cubit gemas rasanya.   “Aku mau gendong juga dong, Ma!” Alinka tiba-tiba menyuarakan keinginannya. Tidak tahan karena rasa gemasnya pada bocah itu.   “Nih, coba tanya dulu mau apa nggak.”   Alinka mencolek bahu Rayn, mencoba menarik perhatian bocah berusia tiga tahun itu dari biskuitnya. “Rayn, mau digendong sama kakak Alin, nggak?” tanyanya bersemangat.   Rayn berkedip, menatap Alinka sebentar sebelum kemudian menggeleng. “Nggak ah,” jawabnya singkat lalu kembali pada biskuitnya.   Alinka mencebikkan bibir. Tolakkan pertama. “Kenapa? Nanti sama Kakak Alinka diajak lihat jerapah. Mau?”   Rayn kembali menoleh ke arah Alinka. Mata bundarnya menatap Alinka dengan penasaran. “Ada jerapah?” tanyanya polos.   Yes, pancingannya sepertinya berhasil. Alinka mengangguk antusias. “Iya jerapah! Gede, tinggi! Mau nggak?” tanyanya lagi dengan dua tangan yang terbuka, seolah meminta Rayn untuk berpindah pada gendongannya.   “Ada beruang sama kura-kura juga! Pokoknya banyak, deh! Mau?”   “Dinosaurus ada?” tanya Rayn yang sepertinya sudah berhasil tertangkap oleh pancingan Alinka.   Alinka tampak berpikir sejenak, mengingat-ingat apakah dirinya punya boneka dinosaurus atau tidak. “Hmm, nggak tahu ada atau nggak tapi nanti Kakak coba panggilin, deh, gimana?” tanya Alinka sekali lagi.   Rayn akhirnya mengangguk, lalu kedua tangannya terulur ke arah Alinka seolah memberikan perempuan itu izin untuk menggendongnya.   Alinka terpekik senang dan buru-buru mengambil bocah itu dari pangkuan mamanya. “Yeay, yuk kita ketemu jerapah sama beruang!” serunya bersemangat. Alinka suka sekali anak kecil, apalagi anak kecil yang tidak rewel seperti Rayn. “Mam aku ajak Rayn ke kamar, ya?” tanyanya pada sang mama.   Dewi hanya mengangguk sambil membereskan bekas ice cream yang dimakan Rayn dan bungkusan biskuitnya. “Iya, nanti kalau semisal dia laper atau apa kamu bawa aja ke bawah ya.”   Alinka mengangguk, lalu dengan Rayn di gendongannya ia pun membawa bocah itu menuju kamarnya di lantai atas. Seketika lupa bahwa masih ada masalah cicilan kartu kredit yang perlu dibayarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD