5 tahun lalu
Dubai, At.Mosphere Burj Khalifa
Enam bulan berselang sejak pertemuan pertamanya dengan Indira di penerbangan Jakarta-Milan. Bara jatuh cinta pada sosok Indira Putri Gautama di atas ketinggian tiga puluh lima ribu kaki.
Kini, pada ketinggian 442 meter dari tanah, tepatnya di sebuah restaurant paling tinggi di dunia yang terletak di salah satu landmark kota Dubai, Bara menyatakan cintanya pada Indira dan keinginannya untuk berhubungan serius dengan perempuan yang berprofesi sebagai pramugari tersebut.
Tidak waktu lama sejak Bara meminta tolong pada temannya untuk bisa dikenalkan dengan Indira, meski awalnya Yohan tidak bersedia, akhirnya Bara berhasil membujuk temannya tersebut hingga akhirnya secara resmi Bara dan Indira pun bertemu. Tentu saja tidak di pesawat dan di luar jam terbang Indira.
Sebagai lelaki dewasa yang sudah menginjak usia tiga puluh tahun, Bara tentu tidak lagi mendekati Indira seperti anak remaja yang baru jatuh cinta. Meski kalau Bara pikir-pikir lagi ke belakang, dirinya bahkan sudah tidak ingat lagi kapan terakhir kali dirinya jatuh cinta sebelum akhirnya bertemu Indira.
Bara terlalu sibuk bekerja sehingga tidak memiliki waktu untuk dapat memikirkan percintaan. Apalagi ketika ayahnya mulai jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia dan meninggalkan Bara dengan bisnisnya yang harus diteruskan. Belum lagi Bara juga tengah membangun perusahaannya yang bergerak di industri hiburan, waktu Bara untuk dirinya sendiri bahkan terkuras habis.
Tetapi kalau bukan karena pekerjaannya, tentu saja saat ini Bara tidak mungkin berada di salah satu meja di restaurant yang berada di lantai 122 gedung Burj Khalifa tersebut, di hadapan perempuan yang sebentar lagi akan ia lamar untuk menjadi istrinya.
Aduh, rasanya Bara gugup sekali.
“Indira,” Bara mengucapkan nama perempuan cantik di hadapannya dengan lembut. Berusaha untuk tidak terdengar bergetar dan gugup meski sesungguhnya jantungnya siap meledak kapan saja. “Sebenarnya tujuan saya ajak kamu ke sini malam ini, jelas bukan hanya untuk sekadar makan malam saja. Saya...ingin bertanya sama kamu.”
Indira yang sedang mengiris steak di atas piringnya berhenti bergerak. Tentu saja, sebagai perempuan normal pada umumnya, Indira menyadari maksud lelaki di hadapannya saat ini jelas lebih dari sekadar undangan makan malam.
Lelaki ini bahkan rela terbang dari Jakarta ke Dubai yang merupakan home basenya untuk menemuinya dan mengajaknya makan malam di restaurant tertinggi di dunia. Indira tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari kalau lelaki di hadapannya saat ini ingin melamarnya.
Katakan saja Indira terlalu percaya diri, tetapi dirinya tidak menghabiskan hampir 150 dirham dan mengenakan pakaian terbaiknya malam ini untuk sesuatu yang bukan berarti apa-apa. Indira tahu malam ini akan menjadi salah satu malam yang spesial untuknya.
“Saya tahu kita bahkan baru saling mengenal dekat kurang lebih enam bulan, tetapi dalam waktu enam bulan ini—” Bara menggeleng, lalu mengoreksi ucapannya, “Tidak, bahkan sejak pertama kali saya bertemu kamu dan sadar kalau saya telah jatuh cinta sama kamu. Tidak ada hari di mana saya tidak memikirkan kamu untuk kelak menjadi pendamping saya.”
Meski sudah menduganya, entah kenapa Indira tetap kehilangan kekuatan pada tangannya yang sedang menggenggam pisau dan garpu. Kedua benda stainless tersebut jatuh dan beradu dengan piring steaknya yang masih tersisa setengahnya.
Sebelah tangan Indira bergerak untuk menutup mulutnya sendiri ketika Bara kemudian mengulurkan sebuah kotak berwarna biru pucat dengan sesuatu yang berkilau di dalamnya.
Cincin tipe tiffany embrace band dengan berlian seberat 2.86 CTW tersebut bersinar di bawah temaram cahaya restaurant yang mengelilingi mereka. Waltz in a minor mengalun dari grand piano di sudut restaurant yang tengah dimainkan oleh seorang pianis pria asal Scotlandia, menjadi musik pengiring yang melengkapi momen malam itu.
Bara berdeham, tenggorokannya tiba-tiba menjadi kering karena rasa gugupnya yang menunggu jawaban dan respon dari Indira yang masih saja diam termangu. “Indira, kalau menurut kamu semua ini terlalu cepat dan kamu belum siap, tidak apa-apa. Mas akan menungg—”
Indira mengangguk. Gerakan kepalanya berhasil membuat ucapan Bara terputus detik itu juga. “Aku mau, Mas, aku mau menikah dengan kamu.”
Kini tangan Bara yang bergetar. Padahal lelaki itu sudah susah mati menahan rasa gugupnya. Seharusnya ketika akhirnya ia mendapatkan jawaban yang diinginkannya, dirinya merasa lega bukannya justru gemetaran seperti pecundang saat ini.
“Oh my God, you’re shaking, Mas, kamu nggak apa-apa?” tanya Indira khawatir karena melihat kotak di tangan Bara bergetar. Tatapannya kini teralih pada wajah lelaki yang baru saja melamarnya tersebut, yang kini sudah bisa dibilang sebagai...calon suami?
Bara malu sekali. Tetapi lebih dari malu, ia benar-benar bahagia malam ini. Sambil berusaha meredakan gemetarnya, Bara perlahan menarik keluar cincin berlian dari kotak biru pucat tersebut untuk kemudian ia sematkan pada jari manis di tangan kiri Indira. Calon istrinya.
“Saya cinta kamu, Indira,” ucap Bara sebelum kemudian membawa tangan dengan cincin berlian yang melingkari jari manisnya itu ke bibirnya dan mengecup punggung tangannya lembut.
Indira tersenyum, sama berkilaunya seperti berlian di jari manisnya. “I love you too,” balasnya.
Sisa malam itu dilanjutkan dengan rencana Bara soal pernikahan mereka yang ingin Bara laksanakan sesegera mungkin mengingat pekerjaan calon istrinya yang tidak memungkinkannya untuk bisa cuti seenaknya.
Malam itu, Bara pikir ia sudah menjadi laki-laki paling bahagia di dunia. Sampai akhirnya beberapa bulan kemudian ia dan Indira duduk di kursi pelaminan, Bara tahu kalau malam ketika mereka makan malam di At.Mosphere Burj Khalifa waktu itu bukanlah malam di mana Bara menjadi laki-laki paling berbahagia.
Karena kini, ketika Indira berada di bawahnya. Melenguhkan namanya ketika Bara mengecup dan menjamah seluruh tubuh indahnya, lalu kemudian menyatukan tubuh mereka, Bara menemukan kebahagiaannya yang lain.
“Mmmh, Mas—” Indira terengah di bawahnya ketika dirinya dan Bara berhasil mencapai pelepasan merek untuk entah yang ke berapa kalinya malam itu. “Aku sayang kamu.”
Bara menundukkan kepalanya untuk mengecup bibir istrinya yang bengkak karena perbuatannya beberapa waktu yang lalu. “Mas juga sayang kamu, Indira, sayang sekali.”
Malam itu, Bara pikir ia sudah berada pada puncak kebahagiaannya.
Tetapi Bara salah. Karena ketika empat bulan kemudian sebuah benda mungil dengan dua buah garis Indira sodorkan padanya pada sebuah makan malam sederhana di rumah mereka, Bara lagi-lagi dibuat menjadi laki-laki paling bahagia di dunia.
Dan ketika akhirnya seorang bayi laki-laki dengan berat 3,2 kg lahir ke dunia di suatu pagi di penghujung Desember, sekali lagi Bara telah dibuat menjadi laki-laki paling berbahagia.
“Selamat datang di dunia, Raynald Aldian Prayudha.” Bara mengecup dahi bayi laki-lakinya dengan penuh sayang setelah selesai mengumandangkan adzan di telinga bayinya. Lelaki itu lalu berbisik penuh haru. “Daddy mencintai kamu, Nak.”