Sejak menikah dengan Indira, Bara mulai berubah dan berusaha untuk lebih menikmati hidup. Bara tidak lagi menjadi laki-laki yang gila bekerja. Lelaki itu lebih banyak menghabiskan waktunya bersama sang istri yang dicintainya.
Di tiga bulan awal pernikahan mereka, Bara dan Indira menghabiskan waktu mereka untuk berkeliling ke seluruh benua yang ada di dunia. Well, tidak semua negara sih memang yang mereka kunjungi, tetapi yang jelas ada total kurang lebih sepuluh negara yang mereka datangi dalam waktu tiga bulan tersebut.
Dan di bulan ke empat, ketika mereka baru saja dua hari berada di tanah air, Tuhan mempercayakan mereka berdua untuk menjadi orang tua. Indira hamil anak pertama mereka di usia pernikahan mereka yang menginjak empat bulan.
Sejak itu, Indira pun resmi berhenti dari pekerjaannya sebagai awak kabin dan sepenuhnya menjadi seorang istri serta calon ibu. Tetapi meski demikian, Bara tidak membiarkan istri tercintanya tersebut mengerjakan pekerjaan rumah. Semuanya dilakukan oleh asisten rumah tangga, istrinya hanya perlu mengatur dan melakukan apapun yang diinginkannya. Termasuk membelanjakan uang Bara untuk berbagai jenis tas dan sepatu brandednya untuk koleksi.
Di trimester awal kehamilan, Indira berubah menjadi sangat moody. Morning sickness yang nyaris setiap hari melandanya membuat Indira sulit menyantap makanannya dengan benar. Dengan sabar dan penuh perhatian, Bara berusaha memenuhi setiap hal yang diinginkan Indira tanpa terkecuali meski tidak jarang Indira pun menjadikan Bara pelampiasan moodnya yang naik-turun.
Bara sepenuhnya menyerahkan pekerjaannya pada pegawainya, mulai jarang ke kantor bahkan nyaris tidak pernah semenjak kehamilan Indira menginjak trimester kedua. Bara hanya mengatur pekerjaannya lewat internet atau telepon. Bahkan ketika satu persatu laporan mengenai artis-artisnya yang terlibat skandal, kontrak kerja sama dengan brand yang tiba-tiba dibatalkan, jadwal project film yang meminta diatur ulang dan berbagai kekacauan lainnya dari kantor meminta perhatian Bara, lelaki itu tidak memberikannya.
Semuanya hanya milik Indira dan calon bayinya saat ini.
Tidak ada lagi hal lain yang Bara inginkan selain kesehatan dan kesalamatan istri serta bayinya. Bara mulai tidak peduli dengan perusahaannya bahkan dirinya sendiri.
Semua berawal ketika Indira terjatuh di kamar mandi suatu pagi. Hal itu membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit karena khawatir terjadi sesuatu pada kandungannya. Untungnya tidak ada hal serius yang terjadi pada Indira maupun calon bayi mereka. Tetapi semenjak kejadian tersebut, perlahan Bara berubah menjadi lelaki yang terlalu posesif dan protektif terhadap istri dan calon bayinya.
Indira tidak sama sekali diberikan ruang untuk dirinya sendiri. Bara selalu ada di sisinya, mengaturnya, memperhatikannya, mengekangnya hingga akhirnya Indira merasa seperti tercekik oleh tali yang Bara anggap adalah bentuk cinta.
“Aku mau sendiri dulu hari ini. Sebaiknya kamu ke kantor.”
“Nggak, sayang, apapun alasannya aku nggak akan ke mana-mana. I’ll stay beside you.” Bara menatap istrinya serius. “Aku nggak mau sesuatu terjadi lagi sama kamu dan anak kita.”
Indira meremas ujung bajunya. “Mas, demi Tuhan, kamu sudah memperkerjakan tiga orang untuk membantu menjaga dan merawat aku. Itu sudah lebih dari cukup! Kamu nggak perlu dua puluh empat jam di samping aku.”
“Terakhir kali aku ke kantor dan kamu jatuh, sayang. Aku nggak akan mau hal itu sampai kejadian lagi.” Bara masih tetap pada pendiriannya. “Saat itu kita beruntung karena kamu dan calon bayi kita baik-baik saja. Tetapi ingat kata dokter, sekali lagi saja kamu jatuh, kamu dan bayi kita bisa dalam bahaya!”
“Aku akan hati-hati!”
“Nggak, sayang. Lagipula urusan kantor sudah dihandle pegawaiku. Aku bisa sepenuhnya jagain kamu, jangan khawatir.”
Indira ingin sekali mengatakan kalau apa yang Bara lakukan benar-benar membuatnya seperti tercekik. Tetapi pada akhirnya, Indira tidak mengatakan apa-apa dan hanya bisa menerima kehadiran suaminya di sisinya.
Hingga akhirnya sembilan bulan lebih dua belas hari, Rayn putra mereka akhirnya terlahir ke dunia. Indira pikir, dengan lahirnya Rayn ke dunia, hubungan mereka kembali seperti sedia kala.
Tetapi Indira salah. Di awal-awal harinya menjadi Ibu, Indira terkena baby blues yang begitu parah. Perempuan itu bahkan merasa muak hanya dengan melihat bayinya sendiri dan menolak untuk menggendong dan menyusuinya secara langsung. Untungnya Indira masih mau memompa ASInya untuk bisa diminum oleh Rayn sehingga bayi mereka tersebut tetap mendapatkan makanannya.
Untungnya kondisi baby blues yang diderita Indira hanya tiga minggu saja. Setelah dibantu dengan psikolog, Indira sudah bisa mengatasi baby bluesnya dan mulai mengurus bayinya dengan normal.
Psikolog yang membantu Indira pun memberitahu Bara jika istrinya itu mengalami depresi ringan selama masa kehamilan ditambah depresi pasca pensiun dininya yang pada akhirnya bertumpuk, lalu ditambah serangan baby blues yang sepertinya menjadi puncak dari segalanya.
Suatu hari, setelah Rayn berhasil tertidur setelah diberikan ASI oleh Indira, Bara mendekati istrinya itu dan memeluknya lembut dari belakang. Mungkin ini pertama kalinya lagi Bara memberikan pelukan hangat dan lembut tersebut kepada istrinya sejak Rayn terlahir ke dunia. “Kamu belum ngantuk, hm?” tanya Bara sambil memberikan kecupan lembut di puncak kepala istrinya.
Indira yang semula menegang perlahan rileks di pelukan suaminya. “Belum. Mas sendiri kenapa nggak tidur?” tanyanya sambil menikmati pelukan suaminya tersebut.
“Belum ngantuk juga. Terus nggak ada kamu di tempat tidur, rasanya dingin.”
Indira tertawa sebelum kemudian berbalik badan dan mengalungkan tangannya di leher Bara. “Tidur gih, kamu kan capek semalam cuma tidur dua jam karena gantian jaga Rayn.”
Bara menggeleng. “Maunya tidur sama kamu.”
Indira mencubit pipi suaminya. “Iya nanti aku nyusul. Kamu duluan aja. Aku mau cari makanan dulu di dapur, lapar.”
“Aku ambilin, ya?”
Indira menggeleng. “Nggak usah, kamu tidur aja. Nanti aku nyusul, cuma sebentar.”
Bara sudah siap membantah namun tatapan tajam Indira berhasil mengurungkan niatnya. Akhirnya dengan terpaksa, Bara membiarkan istrinya pergi ke dapur dan meninggalkannya untuk kembali ke tempat tidur.
Bara tidak sadar langsung terlelap begitu kepalanya menyentuh bantal. Tetapi lima belas kemudian Bara tersadar dan menemukan Indira yang belum juga kembali ke kamar mereka.
Suara tangis Rayn di atas ranjang bayinya membuat Bara buru-buru turun dari tempat tidur dan menghampiri putranya tersebut. Rayn terbangun dari tidurnya, akhirnya Bara pun mengangkat Rayn dalam gendongannya untuk diayun-ayunkan agar dapat kembali terlelap.
“Ssssh sayang, bobo ya Nak, kasihan Mommy kalau harus begadang lagi malam ini. Please, bobo ya sayang... tiga jam aja. Biarin Daddy tidur juga.” Bara mengecup lembut dahi Rayn yang perlahan kembali tenang dan akhirnya kembali terlelap. Setelah dirasanya bayinya itu tidak akan terbangun lagi, Bara meletakkan Rayn kembali ke tempat tidur bayinya.
Indira belum juga kembali. Akhirnya Bara memutuskan untuk menyusul Indira ke dapur.
Lantai bawah sudah terlihat temaram karena beberapa lampu sudah dipadamkan, hanya tersisa beberapa lampu berwarna warm white yang dibiarkan menyala di beberapa sudut saja. Terdengar suara samar dari ruang TV ketika Bara melangkah menuju dapur. Karena akhirnya hanya menemukan dapur dalam keadaan kosong, Bara pun pergi menuju ruang TV.
Di sana, Indira terlihat sedang duduk di atas sofa yang menghadap ke TV dan membelakangi posisi Bara saat ini. Bara baru ingin menegur sang istri ketika kemudian menyadari kalau istrinya tersebut sedang berbicara dengan seseorang di telepon.
“Gue kangen terbang. Kangen banget...”
Kaki Bara berhenti melangkah begitu dirinya hanya tinggal berjarak tiga langkah lagi dari istrinya yang tampaknya belum menyadari kehadirannya.
“Kalau aja waktu bisa diputar, gue memilih nggak menikah sama Mas Bara waktu itu. Sekarang gue nyesal.”
Rasanya, bukan saja hati Bara yang hancur menjadi kepingan. Tetapi langit dan dunia Bara ikut runtuh menimpanya. Bukan lagi menjadi puing-puing tidak berharga, tetapi hancur melebur menjadi debu yang kemudian terbang ditiup angin pertengahan Januari ketika ia kembali mendengar kata-kata yang dilontarkan Indira.
“Andai aja Rayn nggak lahir, gue pasti masih bisa balik lagi ke dunia gue yang dulu.”
Malam itu, Indira menghancurkan hati Bara untuk pertama kalinya sejak ia jatuh cinta pada perempuan itu.